Malaysia melarang ekspor pasir laut ke Singapura yang tengah membangun pulau reklamasi. Salah satu pulau reklamasi akan dijadikan pelabuhan terminal kontainer terbesar di dunia.
Oleh
·4 menit baca
Malaysia melarang ekspor pasir laut ke Singapura yang tengah membangun pulau reklamasi. Salah satu pulau reklamasi akan dijadikan pelabuhan terminal kontainer terbesar di dunia.
KUALA LUMPUR, RABU — Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad memberlakukan pelarangan seluruh aktivitas ekspor pasir laut dari negaranya ke Singapura. Pelarangan itu berlaku sejak 3 Oktober 2018 atau sekitar lima bulan setelah dirinya dilantik kembali menjadi perdana menteri. Mahathir disebut marah karena tanah asal Malaysia dimanfaatkan untuk memperluas wilayah negara tetangga yang lebih kaya.
Endie Shazlie Akbar, sekretaris pers Mahathir, di Kuala Lumpur, Rabu (3/7/2019), mengonfirmasi bahwa Pemerintah Malaysia memang telah menghentikan ekspor pasir ke Singapura tahun lalu. Namun, ia membantah bahwa hal itu bertujuan untuk mengekang rencana Singapura membangun pulau reklamasi. Kebijakan itu, lanjut Endie, diambil sebagai langkah untuk menekan penyelundupan pasir ilegal.
Sejumlah sumber dari otoritas Malaysia menyebutkan, Mahathir juga khawatir pejabat Malaysia yang korup mendapat keuntungan dari kegiatan ekspor pasir laut yang masuk dalam kategori kegiatan bisnis rahasia itu. Pelarangan ekspor pasir ke Singapura selama ini tidak dipublikasikan karena dikhawatirkan mengganggu hubungan diplomatik kedua negara.
Pemerintah Singapura belum membuat komentar publik tentang pelarangan tersebut. Namun, sejumlah sumber dari kalangan pebisnis penjual pasir laut mengakui, kebijakan Malaysia itu dapat dapat memperumit rencana ekspansi ambisius Singapura sebagai negara yang bergantung pada tanah reklamasi.
Ambisi Singapura
Rencana itu, antara lain, mencakup pengembangan Pelabuhan Tuas yang digadang-gadang menjadi terminal peti kemas terbesar di dunia. Singapura telah meningkatkan luas daratannya seperempat kali lebih luas dibandingkan dengan luas daratannya saat negara itu memproklamasikan kemerdekaan—dengan memisahkan diri dari Malaysia—pada 1965. Sebagian besar langkah Singapura memperluas wilayah daratan dilakukan melalui reklamasi wilayah pesisir dengan pasir.
Setelah berpisah pada tahun 1965, Singapura dan Malaysia mengalami dinamika dalam hubungan, termasuk perselisihan mengenai wilayah dan sumber daya bersama, seperti air.
Kementerian Pembangunan Nasional Singapura, otoritas yang mengawasi impor pasir, tidak secara langsung menanggapi pertanyaan tentang pelarangan ekspor pasir oleh Malaysia. Kementerian itu mengatakan, Singapura memiliki banyak sumber pasir dan dalam proses mengurangi penggunaan komoditas tersebut.
”Pasir diimpor secara komersial dari sejumlah negara untuk memastikan ketahanan pasokan pasir kami,” kata kementerian itu kepada kantor berita Reuters. ”Pemerintah juga telah mendorong industri untuk mengurangi ketergantungan pada pasir.”
Dua pengimpor pasir ke Singapura, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengungkapkan bahwa komoditas pasir kini semakin langka dan mendorong Singapura untuk mencari pasir dari India. Hal itu diakui bakal mendongkrak biaya pengiriman. Ongkos pengiriman merupakan biaya terbesar dalam memperoleh pasir dari luar negeri.
Namun, sejumlah pedagang pasir laut menambahkan bahwa Singapura telah menimbun pasir dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu diharapkan dapat menjadi penyangga terhadap kemungkinan hambatan pasokan, minimal dalam waktu pendek hingga menengah.
Cukup sulit mengukur dampak keekonomian dari kebijakan Malaysia itu bagi Singapura. Sebab, nilai industri pasir tidak jelas karena tidak memiliki indeks harga internasional sebagai panduan. Yang pasti, komoditas pasir laut banyak digunakan untuk reklamasi. Di sisi lain, ada komoditas pasir sungai, komponen inti bahan konstruksi, seperti semen.
Berdasarkan data dari Pusat Data Statistik Perdagangan Komoditas Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Comtrade), Singapura mengimpor 59 juta ton pasir dari Malaysia pada tahun 2018. Besarnya biaya pengiriman yang dihitung dari kantor kepabeanan kedua negara itu mencapai 347 juta dollar AS.
Dari sisi volume pasir, jumlah itu sekitar 97 persen dari total impor pasir yang dilakukan Singapura. Sebaliknya, dari sisi Malaysia, volume itu mencakup sekitar 95 persen dari total penjualan pasir negara itu secara global.
Kebutuhan reklamasi
CM Wang, profesor penasihat proyek-proyek di Singapura, mengatakan bahwa negara itu telah mengklaim kembali landas kontinennya. Itu artinya, kedalaman laut yang perlu diisi dengan pasir untuk reklamasi meningkat signifikan. Ia memastikan Singapura butuh pasir lebih banyak.
Kebijakan larangan ekspor pasir laut oleh Malaysia ini adalah kebijakan ulangan, khususnya bagi Mahathir. Saat menjadi PM pada era tahun 1990-an, Mahathir juga pernah memberlakukan larangan ekspor pasir laut. Kali ini, ia memperketat peraturan tentang ekspor pasir sungai dan pasir.
Ketika Indonesia mulai melarang ekspor pasir laut ke Singapura pada 2007 dengan alasan masalah lingkungan, dampaknya langsung dirasakan Singapura. Negara kota itu mengalami krisis pasir dan membuat aktivitas pembangunan hampir terhenti. Sejak saat itu, Singapura diberitakan berupaya meningkatkan cadangan pasirnya.
Pengerukan pasir menjadi ancaman serius bagi lingkungan hidup. Aktivitas pengerukan yang tidak berkelanjutan mengganggu aliran sedimen dan daerah penangkapan ikan, menghancurkan mata pencarian, dan mencemari sumber air, termasuk di beberapa komunitas termiskin di Asia.
Saat itu, Singapura mengkritik larangan ekspor pasir itu sebagai strategi Jakarta meningkatkan posisi negosiasi dalam perjanjian ekstradisi dan perbatasan. Hassan Wirajuda, Menlu RI saat itu, menepis kritik tersebut dan menyatakan bahwa pelarangan ekspor pasir dipicu masalah lingkungan, bukan negosiasi dengan Singapura. (REUTERS)