JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang direncanakan rampung pada Juli 2019 menghadapi kendala sejumlah isu krusial yang alot diperdebatkan. Salah satu isu yang masih memancing pro dan kontra di kalangan internal Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah adalah isu terkait pemberlakuan hukum adat sebagai dasar pemidanaan.
Pemberlakuan hukum yang hidup di tengah masyarakat atau hukum adat itu dinilai akan memunculkan kerancuan dalam penerapannya. Ketidakjelasan penerapan hukum adat sebagai dasar pemidanaan juga berpotensi memicu kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum.
Dalam draf RUU KUHP versi 25 Juni 2019, ketentuan mengenai hukum yang hidup di tengah masyarakat atau hukum adat tersebut diatur dalam Pasal 618. Bunyinya, ”setiap orang yang melakukan perbuatan, yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana. Pidana yang dimaksud berupa pemenuhan kewajiban adat”.
Sementara Pasal 2 menyatakan, ”hukum yang hidup dalam masyarakat berlaku dalam tempat hukum itu hidup, dan sepanjang tidak diatur dalam KUHP dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab”.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Ranik, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/7/2019), mengatakan, isu pemberlakuan hukum adat sebagai dasar pemidanaan itu masih memicu perdebatan tidak hanya di antara fraksi-fraksi di DPR, tetapi juga di pemerintah. ”Ada yang mau itu dimasukkan sebagai dasar untuk pemidanaan, ada juga yang tidak,” katanya.
Dalam KUHP yang berlaku saat ini, asas pemidanaan yang berlaku adalah asas legalitas murni. Artinya, seseorang baru bisa dipidana jika melanggar peraturan yang memang diatur dalam undang-undang. Kendati demikian, dalam RKUHP yang baru, pemerintah mengusulkan agar pelanggaran terhadap hukum adat juga bisa dijadikan dasar pemidanaan.
Anggota Panitia Kerja RKUHP Komisi III dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengatakan, payung hukum untuk penerapan hukum adat itu adalah peraturan daerah setempat. Hukuman yang dijatuhkan untuk seseorang yang melanggar hukum adat juga bukan hukuman pidana pada umumnya, melainkan hukum adat.
Ketentuan itu, menurut Erma, berpotensi memunculkan persoalan dan konflik pada penerapannya. Itu karena pemberlakuan hukum adat di suatu daerah bisa saja bertentangan dengan hukum agama dari pelanggar hukum adat tersebut.
”Misalnya, bagaimana mengukur penerapan saksi adat untuk orang Aceh yang melakukan pelanggaran adat di Papua? Karena hukuman adatnya bisa saja bertentangan dengan hukum agama orang yang bersangkutan,” ujarnya.
Saat ini, menurut dia, fraksi-fraksi di DPR masih mengkaji isu hukum adat itu serta berbagai isu krusial yang mengganjal dalam pembahasan RKUHP. Ada tujuh isu krusial yang belum disepakati dalam rapat konsinyering, antara tim perumus dan tim sinkronisasi DPR dan pemerintah pada 25-26 Juni 2019. Ketujuh isu itu akan dilanjutkan dalam pembahasan tingkat panitia kerja antara DPR dan pemerintah pada Juli ini.
Pemberlakuan hukum adat sebagai asas pemidanaan termasuk dalam isu-isu krusial yang tersisa itu. Atas pertimbangan itu, menurut Erma, pembahasan RKUHP tidak perlu terburu-buru dirampungkan pada Juli ini.
”Semua masih mengkaji, tetapi pada intinya harus berhati-hati karena undang-undang ini akan berlaku di seluruh Indonesia, sementara disparitas antardaerah ini kan jauh,” ucap Erma.
Secara terpisah, Direktur Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara berpandangan, ketentuan hukum adat sebagai asas legalitas pemidanaan dapat berujung pada kesewenangan aparat.
”Polisi dan jaksa bisa memproses pidana semua perbuatan yang dianggap masuk kategori hukum yang hidup dalam masyarakat, tanpa perlu dituliskan dalam aturan atau ketentuan rumusan yang tegas dan jelas,” katanya.
Asas legalitas adalah asas utama dalam hukum pidana yang pada dasarnya memberi batasan terhadap kekuasaan negara dalam menentukan suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana.
Asas legalitas adalah asas utama dalam hukum pidana yang pada dasarnya memberi batasan terhadap kekuasaan negara dalam menentukan suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana. Asas legalitas dalam hukum pidana harus bersifat tertulis, dengan rumusan delik pidana yang jelas, dimaknai tegas tanpa analogi, serta tidak berlaku surut.
Pemberlakuan hukum adat sebagai dasar pemidanaan di luar asas legalitas, menurut Anggara, akan problematik karena tidak diiringi penjelasan lebih jelas.
”Siapa yang akan menegakkan hukum adat itu? Apakah masyarakat adat atau polisi dan jaksa? Ini berbahaya karena memberi ruang kesewenang-wenangan. Asas legalitas tidak dapat disematkan dalam kondisi keragu-raguan,” tutur Anggara.