JAKARTA, KOMPAS -- China mengingatkan, ada kerugian yang harus ditanggung Amerika Serikat jika terus melancarkan perang dagang dan bertindak unilateral. Hubungan dagang Beijing-Washington selama ini dinilai menguntungkan AS.
”Perusahaan-perusahaan AS memegang merek, paten-paten teknologi dari produk yang diekspor. AS mengendalikan ekspor (produk) teknologi tinggi. AS diuntungkan dari perdagangan AS-China,” kata Yang Yanyi, mantan Duta Besar China untuk Uni Eropa dan kini anggota Komite Kebijakan Luar Negeri pada Lembaga Konsultasi Politik Rakyat China, dalam seminar tentang Hubungan AS-China yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rabu (3/7/2019), di Jakarta.
Seminar yang dipandu ekonom CSIS, Mari Elka Pangestu, itu juga menghadirkan Zhu Feng, Direktur Lembaga Kajian Internasional pada Universitas Nanjing.
Yang Yanyi mengutip ekonom AS, Jeffrey Sach, yang menyebut masalah ekonomi yang dihadapi AS adalah dampak dari struktur domestik negara itu, bukan karena defisit neraca dagang. AS dinilai kurang menginvestasikan uangnya untuk peningkatan infrastruktur dan belanja publik.
Nilai perdagangan AS-China pada 2018 mencapai 737,1 miliar dollar AS. Dari volume itu, sebesar 557,9 miliar dollar AS merupakan ekspor China ke AS. Sebagian ekspor itu adalah produk yang merek dan patennya dimiliki perusahaan AS. Biaya produksi di China yang lebih murah membuat perusahaan-perusahaan AS membuat produk mereka di China, lalu dikirim balik ke AS. Produk-produk itu tetap dihitung sebagai impor AS dari China.
Sementara ekspor AS ke China didominasi oleh pesawat terbang, mobil, dan komputer. Pada 2015, produksi aneka ekspor AS ke China menyerap 911.000 pekerja.
China bukan hanya mitra dagang terbesar AS, melainkan juga sekaligus kreditur terbesar AS. Sebab, Beijing kini memegang surat utang senilai 1,1 triliun dollar AS terbitan Kementerian Keuangan AS. Nilai itu setara 27 persen dari keseluruhan utang pemerintah AS.
Beijing kini memegang surat utang senilai 1,1 triliun dollar AS terbitan Kementerian Keuangan AS. Nilai itu setara 27 persen dari keseluruhan utang pemerintah AS.
Yang yakin, hubungan AS-China yang harmonis akan lebih menguntungkan kedua belah pihak dan komunitas internasional. Ia juga menyebut China tidak berniat menggeser posisi AS sebagai negara terkuat. Beijing hanya berharap semua pihak mau beradaptasi dengan perkembangan global dan senantiasa mengedepankan multilateralisme.
“Beijing sangat mendukung tatanan internasional yang berpusat pada Perserikatan Bangsa-Bangsa,” ujar Yang.
Karena itu, Beijing sangat menyesalkan kecenderungan unilateralisme Washington. Dampaknya harus ditanggung, antara lain, oleh perusahaan-perusahaan AS. Perusahaan-perusahaan itu menanggung biaya produksi lebih tinggi karena harus beraktivitas di AS atas nama slogan ”mengutamakan Amerika (America first)”.
“AS keluar dari Kesepakatan Paris (tentang perubahan iklim), Unesco, dan sejumlah mekanisme multilateral lain,” kata Yang. "Unilateralisme mengganggu tatanan global.”
Kecemasan AS
Zhu Feng mengatakan, China ingin mengubah industrinya dari berbasis manufaktur dasar dan nilai tambah rendah menjadi industri teknologi tinggi. Pengalaman Jepang dan Korea Selatan menunjukkan hanya dengan transformasi itu saja status negara berpendapatan tinggi bisa dicapai. AS, lanjut Zhu, berusaha mencegah transformasi industri China.
Zhu Feng mengatakan, AS cemas dengan perkembangan kemajuan China. “Jujur saja, AS ingin China berlutut dan tunduk. Sangat tidak adil bagi China,” ujarnya.
Zhu menambahkan, meski ada harapan atas proses perundingan dagang AS-China, Washington dinilai tidak tulus. Hal itu berkaca dari perundingan beberapa bulan terakhir. ”Di tengah proses perundingan, AS menaikkan tarif (bea masuk impor produk China ke AS),” ujarnya.
Kebijakan itu membuat perundingan dagang AS-China terhenti. Di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Osaka, Jepang, pada akhir Juni 2019, AS-China sepakat untuk melanjutkan lagi perundingan itu.