Penangkapan lima terduga teroris, termasuk pemimpin kelompok Neo Jamaah Islamiyah, yaitu Parawijayanto, akhir pekan lalu, menunjukkan adanya evolusi dalam pendanaan kelompok teroris. Di tengah evolusi yang terus dilakukan kelompok teroris untuk tetap bertahan, diperlukan langkah-langkah penyesuaian yang harus dilakukan negara.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar
·5 menit baca
Penangkapan lima terduga teroris, termasuk pemimpin kelompok Neo Jamaah Islamiyah, yaitu Parawijayanto, akhir pekan lalu, menunjukkan adanya evolusi dalam pendanaan kelompok teroris. Secara bertahap kelompok teroris memiliki cara pengumpulan dana melalui sebuah bisnis yang terencana.
Parawijayanto, yang telah aktif di kelompok Jamaah Islamiyah (JI) sejak awal 2000, mengembangkan pola pendanaan baru melalui bisnis perkebunan sawit di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Dari bisnis itu, kelompok Neo JI itu bisa memenuhi ”kebutuhan dasar” para anggotanya dengan gaji Rp 10 juta-Rp 15 juta per bulan.
Selain itu, dalam periode 2013-2018, Parawijayanto dan anggota jaringannya telah memberangkatkan enam gelombang warga Indonesia ke pusat kegiatan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Suriah. Sejumlah orang itu merupakan hasil perekrutan yang dilakukan Parawijayanto.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menuturkan, Parawijayanto telah mengembangkan Neo JI melalui perkebunan sawit itu. Tujuannya agar keberadaan kelompok itu bisa bertahan lama, sebab uang dari usaha perkebunan itu digunakan untuk perekrutan anggota baru, pelatihan paramiliter, dan membayar petinggi kelompok itu.
”Mereka berupaya membangun fondasi ekonomi melalui usaha perkebunan,” ujar Dedi.
Mereka berupaya membangun fondasi ekonomi melalui usaha perkebunan.
Namun, berbeda dengan pengikut kelompok NIIS lain, Neo JI pimpinan Parawijayanto masih fokus untuk memperkuat basis kelompok itu melalui kegiatan kaderisasi. Oleh karena itu, mereka belum merencanakan aksi teror.
Pada 2016, tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap empat anggota jaringan teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Majalengka, Jawa Barat. Mereka telah menyiapkan sebuah laboratorium untuk memproduksi narkoba. Uang hasil penjualan barang haram itu direncanakan untuk membiayai perencanaan aksi teror dan pembuatan bahan peledak.
Jaringan teroris yang dipimpin Rio Priatna Wibawa itu berencana menjual bahan peledak hasil rakitan mereka. Tak hanya itu, Rio bersama tiga temannya yang berkomunikasi melalui media sosial juga telah mengatur rencana aksi teror di sejumlah tempat pada akhir 2016.
Konvensional
Kedua cara kelompok teroris merencanakan dan menjalankan bisnis terencana itu jelas berbeda dibandingkan dengan sejumlah cara konvensional yang umumnya telah diketahui publik. Di antaranya melalui fa’i atau perampokan dan sumbangan dana dari pihak ketiga.
Melalui penangkapan sekitar 20 terduga teroris, pada April lalu, jaringan teroris JAD diketahui masih pula mempertahankan cara-cara lama, seperti fa’i. Aksi perampokan untuk pendanaan aksi teror telah dilaksanakan anggota JAD Jawa Barat, JAD Lampung, JAD Jawa Timur, dan kelompok Abu Hamzah di Sibolga, Sumatera Utara. Mereka telah mengatur rencana aksi perampokan mobil bank yang membawa uang untuk anjungan transaksi mandiri di Jawa Timur.
Mereka merencanakan aksi teror, terutama menyerang anggota dan fasilitas kepolisian, pada bulan Ramadhan lalu. Sebelumnya, aksi perampokan untuk pendanaan aksi teror dikenal setelah sejumlah anggota kelompok teroris merampok salah satu bank swasta di Medan, Sumut, 2011.
Selain usaha yang dilakukan langsung anggota kelompok teroris, sejumlah jaringan teroris juga tetap menerima sumbangan dana, terutama untuk merakit bahan peledak. Sebagai contoh, kelompok JAD Bekasi menerima suntikan dana dari EY alias Rafli. Seperti diketahui, JAD Bekasi telah merencanakan aksi teror pada bulan Ramadhan dan jelang Idul Fitri, Mei lalu.
Dari hasil penyidikan tim Densus 88 Antiteror, Rafli juga terlibat dalam pendanaan peristiwa bom Thamrin, 2016. Dalam kesehariannya, Rafli memiliki usaha jual-beli telepon seluler.
Selain sumbangan dari individu di dalam negeri, jaringan teroris di Indonesia juga menerima sumbangan dari pihak tertentu di luar negeri. Misalnya, kelompok Katibah Gonggong Rebus asal Batam, Kepulauan Riau, yang ditangkap Agustus 2016, diketahui menerima suntikan dana dari pihak asing untuk menyiapkan logistik aksi teror.
Dalam jurnal bertajuk ”Uyghur Militancy in and Beyond Southeast Asia: An Assessment (2017)”, Nodirbek Soliev menyebutkan, Katibah Gonggong Rebus menerima suntikan dana dari Partai Islam Turkistan (TIP), sebuah kelompok teroris etnis Uighur yang berafiliasi dengan Al Qaeda. Dalam kesepakatannya, Katibah Gonggong Rebus menyelundupkan dua orang Uighur untuk bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso pada 2015.
Untuk menindak hukum peredaran dana kegiatan terorisme, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Namun, pengungkapan kasus itu tidak mudah.
Sumber dana
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin mengungkapkan, sumber dana kelompok teroris berasal dari dana luar negeri, dana hasil kejahatan, dan penyimpangan dana melalui kegiatan organisasi atau yayasan tertentu. Selain itu, kelompok teroris juga menggunakan media sosial untuk melakukan penggalangan dana melalui pembuatan iklan.
Kiagus menuturkan, pendanaan terorisme saat ini lebih banyak digunakan untuk pembiayaan logistik, seperti senjata dan bahan peledak. Untuk mengungkap kasus pendanaan terorisme, kata dia, PPATK perlu mengamati secara teliti setiap rekening milik anggota kelompok teroris tanpa membatasi jumlah nominal, sebab aliran dana untuk kegiatan teror terkadang nominalnya tidak terlalu besar, tetapi dikumpulkan secara konsisten.
Peneliti Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Garnadi Dharmaputra, menjelaskan, kelompok teroris menggunakan metode bisnis yang berizin (licit) sekaligus cara terlarang (illicit) untuk mengumpulkan dana. Menurut dia, perkebunan sawit merupakan metode pengumpulan dana yang dilakukan melalui jenis usaha sah.
”Upaya itu untuk menyamarkan kegiatan mereka mengumpulkan dana dari aparat penegak hukum sekaligus cara mereka mengumpulkan dana yang besar untuk jangka panjang,” ujar Garnadi.
Lebih lanjut, Garnadi menilai, kelompok teroris memiliki koneksi dengan individu tertentu di perkebunan sawit itu sehingga bisa memanfaatkan dana jenis usaha itu untuk kepentingan mereka. Cara itu, katanya, telah dilakukan ketika kelompok teroris memanfaatkan badan zakat atau pondok pesantren resmi untuk pendanaan aksi teror.
Ia mengungkapkan, kelompok teroris memerlukan dana yang besar bukan hanya untuk perencanaan aksi, melainkan diperlukan pula dana untuk ”merawat” keluarga para teroris yang ditangkap atau tewas agar mereka tetap di dalam kelompok itu.
Akhirnya, di tengah evolusi yang terus dilakukan kelompok teroris untuk tetap bertahan, diperlukan langkah-langkah penyesuaian yang harus dilakukan negara untuk menutup celah peredaran dana itu. Yang jelas, upaya pemberantasan terorisme belum akan menemui garis akhir.