Sekian tahun orang dimanjakan konten gratis ketika internet muncul, baik berupa berita, foto, video, maupun suara. Tren ini telah berubah. Orang mau membayar konten. Ada syarat agar bisnis konten berbayar sukses dan mendapatkan perhatian konsumen.
Para pembuat konten, seperti industri media, yang bertahun-tahun menikmati kue bisnis, tergagap ketika internet muncul karena semua orang bisa membuat,meluncurkan, dan membuat bisnis yang mudah diakses publik dan gratis. Hak kekayaan intelektual pun tak sedikit dilanggar dan penghargaan terhadap karya seseorang makin kabur.
Kini konten berbayar mulai dilirik dan mendapatkan tempat di kalangan konsumen. Menilik sejarahnya, konten berbayar sebenarnya bukan dilakukan oleh perusahaan baru dengan model bisnis baru, melainkan oleh perusahaan lama (petahana) yang bertransformasi, seperti Netflix, New York Times, dan Sony Music. Mereka adalah pemain lama yang pernah diramalkan hancur karena disrupsi, tetapi bisa bertahan karena mengubah model bisnis.
Ambil contoh Netflix. Perusahaan ini semula menjual dan menyewakan DVD yang melayani permintaan konsumen dengan menggunakan surat. Ketika internet muncul, mereka menggunakan teknologi ini. Namun, karena kecepatan internet pada tahun 2000 awal masih lamban, cara pengaliran konten (streaming) belum mendapat perhatian konsumen.
Netflix terus berinovasi, tetapi belum bisa mengangkat bisnis. Bisnis penyewaan DVD terus merosot sejak 2006 hingga 2011. Di sela-sela tertimpa masalah, mereka mengembangkan bisnis video berbasis permintaan (video on demand ) pada 2007. Perkembangan selanjutnya sangat mengejutkan. Tak hanya jadi platform pengaliran konten, Netflix juga membuat konten dan bekerja sama dengan pembuat konten. Bisnis ini jadi bentuk transformasi. Laporan terakhir, mereka memiliki pelanggan 148 juta di seluruh dunia.
Di industri media cetak, New York Times mengawali bisnis konten berbayar tahun 2011. Tahun lalu, jumlah pelanggannya 2,8 juta, tetapi tahun ini sudah naik menjadi 3,3 juta pelanggan. Boleh dibilang media ini adalah pelopor dalam bisnis konten berbayar di media cetak. Saat itu mungkin strategi ini dicibir di tengah konten gratis yang berseliweran di internet. Wall Street Journal menyusul dan kini telah mendapat sekitar 1,4 juta pelanggan.
Di dunia industri musik, petahana seperti Sony Music telah menjadi pemegang utama platform pengaliran konten musik Spotify. Konten berbayar di industri musik telah mendapat tempat yang signifikan. Di Amerika Serikat, pendapatan platform pengaliran musik mencapai 65 persen dibandingkan platform fisik dan pengunduhan. Tak mengherankan jika penawaran saham perdana Spotify pada April tahun lalu sekitar 24 miliar dollar AS.
Optimisme
Tren global ini memunculkan optimisme di kalangan pebisnis konten lama yang nyaris hancur karena disrupsi digital. Sejak tahun lalu bermunculan berbagai analisis tentang masa depan bisnis ini. Salah satu analis mengatakan, saat ini mulai tampak penyelesaian masalah disrupsi yang menimpa pemain-pemain lama di bisnis konten.
Teknologi diakui menjadi faktor kunci dalam dunia digital, tetapi cara mencapai skala bisnis lebih penting. Dengan teknologi, seharusnya pengelola mampu menjangkau lebih banyak pelanggan. Namun, meski telah menggunakan teknologi, sejumlah perusahaan di bisnis ini tidak berkembang. Dalam konteks ini, strategi harga sangat menentukan masa depan bisnis ini.
Kita bisa membayangkan, ketika Netflix tengah berjaya, tiba-tiba Disney bakal meluncurkan platform Disney+. Persaingan bisnis di konten berbayar bakal sangat ketat. Inovasi setiap hari yang bisa menyelamatkan bisnis. Inovasi yang penting adalah kemampuan menekan biaya sehingga menghasilkan produk yang harganya bisa rendah di pasar. Kunci lainnya adalah pengalaman pengguna. Kenyamanan pengguna jadi faktor penentu.
Pertanyaan paling esensial adalah mengapa konten berbayar kembali muncul? Seorang analis mengatakan, tidak ada ”makan siang gratis” dalam mengonsumsi konten. Apabila selama ini ada platform gratis, sejatinya hanya menunda hingga saat berbayar tiba.
Konten berbayar juga merupakan antitesis dari konten gratis yang membuat lelah dan gangguan konsumen dengan konten kontroversial yang mengejar jumlah klik dan kunjungan. Keinginan untuk mendapatkan konten bermutu meski berbayar telah kembali. Selamat tinggal konten gratisan! (ANDREAS MARYOTO)