Menjaga Keseimbangan Politik
Penetapan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai calon presiden dan calon wakil presiden terpilih periode 2019-2024 menandai akhir tahapan pemilihan presiden di Pemilu 2019. Namun, bagi elite politik, ini adalah awal bagi negosiasi untuk menentukan arah sikap politik, yakni berkuasa atau menjadi oposisi.
”…I say, that power must never be trusted without a check.”
John Adams dalam The Adams-Jefferson Letters (1959)
Lima partai politik pendukung Jokowi-Amin, yang lolos ambang batas parlemen, tentu sudah memantapkan langkah menyusun pemerintahan. Tak hanya itu, dengan jumlah persentase perolehan kursi di DPR yang mencapai sekitar 60 persen, partai Koalisi Indonesia Kerja siap bersekutu membantu pemerintah di lembaga legislatif.
Di sisi lain, partai pendukung capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mulai melunak. Pembubaran Koalisi Indonesia Adil Makmur, akhir pekan lalu, seakan memberi keleluasaan bagi partai lain, terutama Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional, untuk bergabung dengan koalisi parpol pendukung Jokowi-Amin.
Partai Demokrat melalui Komandan Komando Satuan Tugas Bersama Agus Harimurti Yudhoyono sudah dua kali bertemu Presiden Jokowi. Kemudian, sejumlah elite PAN secara tersirat juga menyatakan keinginan untuk bergabung kembali dengan Presiden Jokowi.
Selain itu, Partai Gerindra juga disebut-sebut akan ditawari posisi menteri di kabinet pemerintahan Jokowi-Amin. Namun, isu kader Gerindra mengisi jabatan menteri di pemerintahan Jokowi juga sudah pernah muncul seusai Pemilu 2014 serta di sejumlah momen pergantian kabinet, misalnya pada 2017.
Dalam acara talkshow Satu Meja The Forum di Kompas TV, Rabu (3/7/2019), politisi Gerindra, Miftah Nur Sabri, menekankan, tawaran posisi menteri belum pernah disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi yang berwenang memilih para pembantunya. Ia mengatakan, ”godaan” agar Gerindra masuk kabinet hanya berasal dari partai koalisi Jokowi-Amin.
”Pak Prabowo akan memutuskan (tawaran menteri), tetapi hal itu diawali dengan mendengar pandangan partai dan konstituen,” kata Miftah dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Dalam kesempatan itu, hadir pula sebagai pembicara yaitu politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Budiman Sudjatmiko; Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud; pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mochtar Pabottingi; Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid; serta budayawan Mohamad Sobary.
Budiman Sudjatmiko memastikan, penyusunan kabinet merupakan hak prerogatif Presiden Jokowi. Meski begitu, pemilihan calon menteri, katanya, akan disesuaikan dengan nilai- nilai kebangsaan yang diperjuangkan PDI-P.
Rekonsiliasi
Sebelum jauh membahas kabinet Jokowi-Amin, pertemuan antara Jokowi dan Prabowo dianggap lebih penting untuk dilakukan. Hal itu diperlukan untuk rekonsiliasi kekuatan elite dan akar rumput yang terpolarisasi selama pemilihan presiden di Pemilu 2019.
Mochtar menilai, pertemuan Jokowi-Prabowo bertujuan menurunkan tensi politik. Secara umum, Mochtar mengingatkan, selain pertemuan kedua tokoh itu, seluruh elite politik harus tunduk pada konstitusi.
”Ketika pertandingan sudah selesai, tugas para elite untuk meredam konstituen agar tidak ada lagi pertandingan,” ujarnya.
Menurut Usman, ajakan Presiden Jokowi untuk bertemu dengan Prabowo bukan hanya bentuk rekonsiliasi seusai pemilu, melainkan berpotensi menghadirkan konsensus politik. Utamanya untuk mengurangi kekuatan oposisi.
”Demokrasi perlu pertentangan. Saya mendorong agar Partai Gerindra tidak merapat ke pemerintah karena itu akan mempersempit ruang kritik,” katanya.
Namun, jika terjadi kesepahaman dan kesepakatan yang mengakibatkan makin banyak partai bergabung dengan kubu pemerintah, Marsudi menyatakan, tidak perlu ada kekhawatiran akan berkurangnya pengawasan dan keseimbangan (check and balance) terhadap pemerintah. Sebab, katanya, kekuatan demokrasi Indonesia bukan semata milik partai atau elite politik, melainkan pada organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang konsisten mengawal pemerintah.
”Check and balance disebut juga amar ma’ruf nahi munkar. Membangun bangsa yang kuat perlu pengawasan dan keseimbangan yang tidak hanya dilakukan oleh partai politik,” kata Marsudi.
Terkait manuver sejumlah partai yang condong ke kubu pemerintah, Sobary menyatakan, hal itu menunjukkan bahwa politik hanya dianggap sebagai sarana untuk merebut dan berbagi kekuasaan oleh para elite. Padahal, katanya, politik memiliki tujuan mulia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dapat dilakukan, baik di dalam pemerintah maupun ketika menjalankan fungsi kontrol sebagai oposisi.
Antonio Gramsci dalam Selection from The Prison Notebooks of Antonio Gramsci (1987) menuturkan, partai mewakili sebuah kelompok sosial dalam menjalankan fungsi penyeimbang untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya dan kelompok lain. Selain itu, unsur-unsur di dalam partai politik, di antaranya karakter, kehormatan, dan harga diri, merupakan nilai yang seharusnya menjadi tempat pendidikan bagi kehidupan bernegara.
Atas dasar itu, sudah sepantasnya elite dan partai politik menjauhi sifat oportunistis dengan menjadikan momentum rekonsiliasi sebagai kesempatan meraih kekuasaan. Sebab, seperti imbauan John Adams (1735-1826), Presiden kedua Amerika Serikat, yang dikutip di awal tulisan bahwa kekuasaan dapat berjalan baik jika ada pengawasan.