Orientasi Pencegahan Jangan Sampai Abaikan Penindakan
JAKARTA, KOMPAS — Pencegahan korupsi diharapkan menjadi orientasi bagi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023. Meski begitu, penindakan terhadap pelaku korupsi tetap tak dapat diabaikan. Keduanya tetap harus berjalan beriringan.
Hal itu disampaikan anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel Capim KPK) Hendardi, pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan, dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti. Pernyataan tersebut terkait proses seleksi capim KPK yang kini memasuki tahapan seleksi administrasi.
Hendardi mengatakan, orientasi pencegahan korupsi menjadi fokus penilaian dari Pansel Capim KPK. Hal itu karena kompleksitas kasus korupsi terus meningkat dan signifikansi pada perilaku korupsi belum banyak berubah.
”Penilaian salah satunya akan tecermin dari pembuatan makalah yang berorientasi pada isu pencegahan. Para pendaftar kami harapkan bisa membuat suatu konsepsi bagaimana pencegahan menjadi orientasi ke depan,” kata Hendardi saat dihubungi Kompas, Jumat (5/7/2019).
Penilaian salah satunya akan tecermin dari pembuatan makalah yang berorientasi pada isu pencegahan. Pendaftar kami harapkan bisa membuat suatu konsepsi bagaimana pencegahan menjadi orientasi ke depan.
Hasil Penelitian Evaluasi Kinerja KPK 2019 oleh Transparency International Indonesia menunjukkan, dimensi pencegahan, pendidikan, dan penjangkauan memperoleh nilai tertinggi, yaitu 88 persen. Meski begitu, masih ada beberapa catatan terkait dimensi ini.
Beberapa catatan terkait pencegahan antara lain kurangnya kepatuhan atas rekomendasi koordinasi dan supervisi di daerah serta belum efektifnya strategi deteksi terhadap komitmen laporan hasil kekayaan pejabat negara dan unit pengendalian gratifikasi. Selain itu, sosialisasi strategi nasional pencegahan korupsi ke publik masih minim.
Meski pencegahan memang lebih baik daripada penindakan, Agustinus Pohan mengingatkan, tidak berarti penindakan pemenjaraan dapat diabaikan dan diserahkan kepada institusi penegak hukum lainnya.
”KPK harus tetap menjadi pemimpin dalam urusan penegakan hukum atas kasus korupsi. Hal itu karena institusi penegak hukum lain belum dapat diandalkan sepenuhnya,” ujarnya.
Terkait pencegahan, menurut Agustinus, diperlukan kesadaran kolektif dari semua lapisan masyarakat untuk memerangi korupsi. Di lingkungan tetangga, misalnya, menegur mereka yang melakukan praktik korupsi; di lingkungan sekolah ataupun universitas dengan tidak membeli soal ujian; hingga di lingkungan kerja dengan tidak menyuap untuk membeli jabatan.
Bivitri Susanti juga menyerukan hal senada. Menurut dia, pencegahan dan penindakan adalah dua hal yang harus berjalan beriringan dalam memberantas korupsi.
”Upaya pencegahan yang dilakukan KPK selama ini sebenarnya sudah banyak, hanya kurang terekam oleh media. Salah satunya terkait nota kesepahaman atas penguatan dan pemanfaatan basis data pemilik manfaat guna mencegah terjadinya tindak pidana korporasi,” ujar Bivitri.
Pencegahan dan penindakan adalah dua hal yang harus berjalan beriringan dalam memberantas korupsi.
Bivitri menambahkan, nota kesepahaman yang telah ditandatangani Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia beserta lima kementerian lain dan juga KPK membuat para pemilik utama dari suatu korporasi akan lebih jelas sehingga pengelabuan informasi pemilik manfaat dapat dicegah.
384 pendaftar
Hingga Kamis (4/7/2019) pukul 23.59 WIB, jumlah pendaftar capim KPK, baik secara langsung maupun melalui e-mail, mencapai 384 orang dengan catatan belum diverifiksai dan dicek kebenarannya. Capim KPK yang lolos seleksi administrasi akan diumumkan pada 11 Juli 2019.
”Mulai hari ini hingga sebelum 11 Juli 2019, kami akan melakukan seleksi administrasi terhadap para capim KPK. Kalau ada yang kurang, akan kami minta lengkapi sampai batas 9 Juli 2019. Tetapi, kalau tetap tidak melengkapi, akan kami gugurkan,” tutur Hendardi.
Para pendaftar berasal dari latar belakang yang beragam. Berdasarkan data pendaftaran secara langsung, sebanyak 65 pendaftar merupakan akademisi, 60 advokat atau konsultan hukum, 32 orang dari korporasi, 18 jaksa atau hakim, 1 anggota TNI, 12 anggota Polri, 8 auditor, 16 komisioner atau pegawai KPK, serta sisanya berlatar belakang lain.
Hendardi mengemukakan, setelah seleksi administrasi selesai, uji publik akan dilakukan. Mekanisme uji publik itu masih disempurnakan. Dalam uji publik, pansel memberikan kesempatan bagi masyarakat dan media untuk terlibat memberikan masukan, khususnya mengenai rekam jejak para capim KPK.
Dalam proses seleksi capim KPK kali ini, Hendardi menyebutkan, proses seleksi lebih ketat. Selain ada tambahan tes psikotes, lembaga pemerintahan yang diajak kerja sama juga lebih banyak.
”Misalnya kerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme terkait isu radikalisme dan intoleransi. Ada juga Badan Narkotika Nasional terkait isu narkoba dan Mahkamah Agung untuk melihat perkara praperadilan,” katanya.
Baca juga: Agenda Penting Menanti Pimpinan Baru KPK
Pencucian uang
Agustinus menyampaikan, selain berfokus pada pencegahan dan penindakan, KPK ke depan juga harus berkonsentrasi dan memaksimalkan upaya pemulihan aset. Sejauh ini upaya pemulihan aset oleh KPK sudah cukup baik.
”Upaya pemulihan aset sudah lumayan, tapi harus didukung sistem administrasi yang baik. Misalnya, dengan lebih memperkuat kerja sama dengan perbankan agar aliran dana korupsi semakin terlacak dengan baik,” kata Agustinus.
Baca juga: Enam Kementerian Siapkan Regulasi Keterbukaan Data
Bivitri menambahkan, pembenahan tindak pidana pencucian uang (TPPU) bukan hal yang tidak mungkin, tetapi memang butuh waktu. Dalam hal ini, perlu adanya perbaikan dalam Undang-Undang TPPU.
Dalam United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC), ketentuan tentang pencucian hasil kejahatan diatur dalam Pasal 23 dan 24. Di Indonesia, hal itu terdapat dalam UU TPPU. Sementara dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), aturan terkait dengan pencucian hasil kejahatan diatur dalam Pasal 697 tentang TPPU.
Dengan begitu, perlu dirumuskan hukum acara yang komprehensif dalam penanganan perkara korupsi yang sekaligus dikaitkan dengan TPPU. ”Catatannya, agar ada kepastian bahwa beberapa jenis delik dalam UNCAC nantinya akan diatur dalam aturan hukum Indonesia,” ujarnya.