Sejumlah kementerian dan lembaga tersebut memiliki catatan yang lebih detail karena memiliki wewenang terhadap pelanggaran netralitas ASN. Adapun rekapitulasi dilaksanakan untuk mengintegrasikan data yang ada dari berbagai sumber dengan basis data kepegawaian BKN.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Kepegawaian Negara atau BKN berkolaborasi dengan empat instansi untuk merekapitulasi data kasus pelanggaran netralitas aparatur sipil negara. Berdasarkan data BKN periode Januari 2018—Maret 2019, terdapat 990 kasus pelanggaran yang 99,5 persennya dilakukan oleh aparatur sipil negara (ASN) pemerintahan daerah.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat BKN Mohammad Ridwan di Jakarta, Jumat (5/7/2019), menjelaskan, pelanggaran netralitas ASN dinilai selama Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2018 dan Pemilu Serentak 2019. Bentuk pelanggaran terbanyak adalah memasang konten yang menunjukkan preferensi politik di media sosial dan memberikan dukungan langsung pada pasangan calon (paslon) pemimpin, baik di daerah maupun negara.
“Data itu masih akan bergerak seiring dengan berjalannya rekapitulasi,” kata Ridwan. Ia menambahkan, rekapitulasi dilaksanakan BKN bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Aparatur Sipil Negara, serta Badan Pengawas Pemilu.
Sejumlah kementerian dan lembaga tersebut memiliki catatan yang lebih detail karena memiliki wewenang terhadap pelanggaran netralitas ASN. Adapun rekapitulasi dilaksanakan untuk mengintegrasikan data yang ada dari berbagai sumber dengan basis data kepegawaian BKN. Integrasi data juga memudahkan tindak lanjut pemberian sanksi terhadap pelanggar.
ASN nakal tersebut melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dalam Pasal 4 angka (12), (13), (14), dan (15), ASN dilarang memberikan dukungan politik kepada calon presiden, wakil presiden, DPR, DPRD, DPD, kepala daerah, dan wakil kepala daerah dengan berbagai cara. Pelanggaran tersebut akan diganjar sanksi berupa hukuman disiplin mulai dari sedang sampai berat.
Pada Pasal 7 angka (3) dan (4) dijelaskan bahwa hukuman disiplin sedang dilaksanakan dengan penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun, penundaan kenaikan gaji berkala, dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama setahun. Adapun hukuman disiplin berat dilakukan dengan pembebasan jabatan, penurunan pangkat selama tiga tahun, dan pemberhentian.
Dilematik
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, pelanggaran netralitas ASN merupakan kasus yang dilematik. ASN memang memiliki hak politik untuk memilih calon presiden, wakil presiden, DPR, DPD, DPRD, kepala daerah, dan wakil kepala daerah, yang diatur oleh undang-undang. Namun pada saat bersamaan, mereka juga dilarang mengekspresikan hak politiknya secara terbuka.
Pada periode Februari—Juni 2018, KPPOD juga melaksanakan pemantauan dan studi terhadap netralitas ASN di Sumatera Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Maluku Utara. Senada dengan catatan BKN, KPPOD pun menemukan bahwa sebagian besar ASN di daerah-daerah tersebut tidak netral. Mereka mengekspresikan preferensi politiknya melalui media sosial.
“Larangan ini sangat berat bagi ASN karena mereka hanya bisa mengekspresikan hak politiknya di bilik suara. Mereka berbeda dengan anggota TNI dan Polri yang benar-benar sudah tidak memiliki hak politik, baik untuk memilih maupun dipilih,” ujar Robert.
Ia menambahkan, dari studi tersebut, pihaknya juga merekomendasikan dua hal untuk pemerintah. “Pertama, jika memang peraturan tidak bisa ditegakkan, maka lebih baik mencabut hak politik ASN sehingga menjadi sama seperti anggota TNI dan Polri. Kedua, mengganti posisi pejabat pembina kepegawaian (PPK) di daerah dari kepala daerah menjadi ASN berkedudukan tertinggi, yaitu sekretaris daerah,” ujar Robert.
Ketergantungan
Menurut Robert, ASN di daerah terkungkung pada situasi yang secara tidak langsung memaksanya untuk tidak netral. Salah satunya, ketergantungan mereka pada kepala daerah yang menentukan nasib mereka sejak perekrutan, promosi dan demosi, kenaikan pangkat, pemecatan, dan pensiun. Keengganan untuk mendukung kepala daerah atau calon pemimpin yang berafiliasi dengan kepala daerah, dapat berakibat fatal pada kariernya.
Posisi ASN tersebut, tambah Robert, dapat berakibat fatal karena mereka bisa menyalahgunakan wewenang demi dukungan politik. Di luar demonstrasi ekspresi di media sosial, persoalan netralitas aparatur sipil juga bisa terjadi di antaranya dengan menyediakan data sebagai bahan penyusunan visi dan misi calon pemimpin, fasilitas kunjungan kerja, dan mengalokasikan dana untuk kampanye.
Lebih dari itu, kata dia, netralitas ASN juga bisa mempengaruhi kualitas pelayanan publik. Berdasarkan studinya, ditemukan pula perlakuan tidak menguntungkan yang diterima warga dengan preferensi politik berbeda dengan pegawai pemerintha. “Sejumlah narasumber yang kami temui mengaku sangat terganggu dengan diskriminasi pelayanan publik tersebut,” tutur Robert.