Tradisi pemuliaan air di Bali yang sudah berlangsung lebih dari 1.000 tahun tetap berlanjut hingga kini. Kearifan lokal ini mesti menjadi acuan dalam pengembangan wisata di Bali.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Tradisi pemuliaan air di Bali yang sudah berlangsung lebih dari 1.000 tahun tetap berlanjut hingga kini. Kearifan lokal ini mesti menjadi acuan dalam pengembangan wisata di Bali.
Hal tersebut dikatakan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) I Made Geria, Kamis (4/7/2019), di sela-sela penelitian arkeologi ”Peradaban Bali dalam Pengelolaan Sumber Daya Air” yang digelar Puslit Arkenas di Bali.
”Setiap pengusaha atau investor yang datang ke Bali mesti mendukung petani dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Mereka harus mendasarkan diri pada aturan-aturan konservasi yang masih dipertahankan masyarakat setempat,” katanya.
Menurut Made, yang dijual Bali selama ini adalah lanskap alamnya. Meski demikian, sekarang di beberapa tempat terjadi degradasi, mulai dari alih fungsi lahan, pembuangan sampah plastik yang tak terkendali, hingga menciutnya lahan persawahan petani rata-rata hanya 0,30 hektar per orang.
Saat ini, total luas lahan sawah di Bali mencapai 76.000 hektar, yang dikelola oleh 1.602 organisasi subak. Dari luasan tersebut, setiap tahun 700-750 hektar area sawah beralih fungsi.
Dengan mengecilnya lahan persawahan milik petani, otomatis pendapatan mereka dari hasil bercocok tanam makin sedikit. Ke depan, persoalan-persoalan seperti ini perlu diantisipasi secara serius untuk mewujudkan keberlanjutan ekonomi masyarakat sekaligus kelestarian alam Bali.
”Perlu dikembangkan eco culture tourism (wisata berbasis ekologi dan budaya). Sebagai contoh, sebaiknya awig-awig (aturan adat) dalam pengelolaan subak dikuatkan secara hukum sehingga setiap alih fungsi lahan mesti melibatkan organisasi subak yang ada,” katanya.
Sebaiknya awig-awig (aturan adat) dalam pengelolaan subak dikuatkan secara hukum sehingga setiap alih fungsi lahan mesti melibatkan organisasi subak yang ada.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kesetiaan masyarakat Bali dalam menjalankan ritual upacara adat masih sangat kuat. Bahkan, meski di beberapa daerah sudah terjadi peralihan lahan, ritual-ritual itu masih tetap dilakukan.
Masih eksis
Pakar subak dari Universitas Udayana, Bali, I Wayan Windia, mengatakan, Bali masih eksis dalam mewariskan tradisi pemuliaan air dan peran itu dilakukan oleh subak. Elemen subak meliputi sumber air, petani, sawah, pura, dan otonomi. ”Meski terus-menerus diintervensi, subak tetap mandiri sampai sekarang,” katanya.
Di beberapa bekas kerajaan Bali, sumber-sumber air memang dialirkan terlebih dahulu ke telaga-telaga kerajaan, seperti di Pura Taman Ayun, Badung (Kerajaan Mengwi), dan Taman Ujung Karangasem (Kerajaan Karangasem). Setelah itu, air dari sumber-sumber air tersebut baru dialirkan ke sawah-sawah. Meski demikian, kerajaan tidak mengelola air. Kerajaan hanya menggunakan kekuasaannya agar air melalui kolam kerajaan terlebih dulu sebelum mengalir ke sawah-sawah masyarakat.
”Dasarnya tetap tektek atau porsi air. Subak sudah menerapkan sistem irigasi pintar,” kata Windia.
Seluruh subak di Bali memiliki kebijakan yang seragam, antara lain mewajibkan setiap anggota memiliki satu pintu masuk air dan satu pintu keluar air. Dari pintu keluar, air tidak boleh langsung masuk ke sawah lain, tetapi harus dialirkan dahulu ke saluran air agar semua anggota subak bisa saling memanfaatkan atau ”pinjam-meminjam” air. Dengan aturan ini, tidak ada praktik pencurian air dan tidak ada petani yang bisa memonopoli air.
Peran serta masyarakat di kawasan hulu sungai tempat mata air-mata air berada mendapatkan perhatian dari para petani anggota subak di bagian bawah atau hilir sungai. Di Jatiluwih, Tabanan, organisasi subak menyisihkan dana penjualan tiket wisata sebesar 4 persen dari perolehan bagi hasil mereka kepada subak abian atau kelompok petani yang mengelola perkebunan di daerah tangkapan air bagian hulu.
Di Badung, dahulu setiap anggota subak juga wajib memberikan hasil panen 3 kilogram setiap kali habis panen kepada Pura Taman Ayun yang menjadi pemasok air bagi 250 hektar kawasan subak di Badung. ”Sekitar 10 tahun lalu tradisi itu sudah berhenti karena Pura Taman Ayun sudah mendapat bantuan dari pemerintah daerah,” ujar Made, salah satu anggota subak di Badung.
Dosen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Institut Pertanian Bogor, Nana Mulyana, mengungkapkan, para petani Bali dengan kearifan lokalnya telah menerapkan payment for environmental services atau skema pembayaran imbal jasa dari hilir ke hulu guna merehabilitasi daerah tangkapan air dan mewujudkan pengelolaan sumber air yang berkelanjutan. ”Pembayaran diberikan dalam berbagai bentuk, mulai dari pemberian beras, uang, dan sebagainya,” ujarnya.
Para petani Bali dengan kearifan lokalnya telah menerapkan payment for environmental services atau skema pembayaran imbal jasa dari hilir ke hulu guna merehabilitasi daerah tangkapan air dan mewujudkan pengelolaan sumber air yang berkelanjutan.
Menurut arkeolog senior, Truman Simanjuntak, penggalian kearifan-kearifan lokal masyarakat Bali menjadi sumbangsih yang sangat penting dalam penelitian ini. Seluruh hasil penelitian diharapkan bisa menyumbangkan sejumlah rekomendasi kepada pihak-pihak yang terkait, tidak hanya untuk Bali, tetapi bisa juga untuk daerah-daerah lain, terutama bagaimana sebaiknya masyarakat memperlakukan sumber-sumber mata air dan lingkungan agar air bisa terus-menerus memberikan fungsi bagi kehidupan masyarakat.
”Ini bisa menjadi awal penelitian peradaban air Nusantara,” ucapnya.