Nusa Tenggara Barat masih kesulitan memenuhi permintaan pasar untuk produk-produk organik. Hal itu terjadi karena masih terbatasnya produksi di tingkat produsen. Pemerintah daerah kesulitan mendorong masyarakat mengupayakan pertanian organik.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Permintaan pasar untuk produk-produk organik dari Nusa Tenggara Barat tergolong tinggi. Namun, daerah memiliki keterbatasan dalam memenuhi permintaan itu. Pemerintah daerah juga kesulitan mendorong masyarakat mengupayakan pertanian organik.
Dari sisi potensi, NTB memiliki peluang besar mengembangkan produk organik, termasuk memenuhi kebutuhan pasar produk organik. ”Potensinya besar,” kata Wakil Ketua Koperasi Produksi Rumpun Hijau NTB Eti Suryaningsih di sela Seminar Nasional bertema ”Kerja Sama Kemitraan untuk Pengembangan Kawasan Agribisnis Berkelanjutan di Nusa Tenggara Barat Melalui Integrasi Infrastruktur Ekonomi Masyarakat Menuju Kedaulatan Pangan Nusantara” di Gedung Bank Indonesia Perwakilan NTB di Mataram, Jumat (5/7/2019).
Koperasi Produksi Rumpun Hijau NTB merupakan koperasi yang mendorong dan membina kelompok tani di sejumlah wilayah NTB mengembangkan produk organik. Selain pembinaan, mereka juga menghimpun produk-produk tersebut untuk dipasarkan melalui jaringan mereka.
Hanya saja, menurut Eti, mereka kewalahan memenuhi karena produksi tidak sebanding dengan permintaan yang datang.
”Di Jakarta, kami memiliki jaringan kafe-kafe Muslim yang rutin membeli beras produksi kelompok tani yang kami bina. Pertanian organik itu menggunakan pupuk yang kami kembangkan sendiri. Belakangan, permintaan mereka melonjak hingga 100 ton per bulan. Sementara produksi kami masih jauh dari itu. Terakhir, kami mengirimkan sekitar 18 ton,” kata Eti.
Hal yang sama terjadi pada gula aren atau brown sugar. Tidak hanya kafe Muslim, pesanan juga datang dari Bulog pusat di Jakarta. Menurut Eti, kafe Muslim meminta gula aren hingga minimal 3 ton per minggu, sementara Bulog hingga 100 ton per minggu.
”Itu jumlah yang sangat banyak dibandingkan dengan produksi kelompok binaan kami yang hanya lima ton seminggu,” kata Eti.
Menurut Eti, selain karena makin berkurangnya lahan akibat beralih fungsi menjadi perumahan, sulitnya meningkatkan produksi produk organik karena petani lebih memilih menggunakan metode pertanian reguler atau non-organik. Misalnya, menggunakan pupuk kimia dan lainnya.
Sirajudin, salah satu petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Hijau Lembah, Kecamatan Aik Mel, Lombok Timur, membenarkan hal itu. Menurut dia, petani lebih memilih metode lama karena telah terbiasa menggunakan pupuk pestisida. Selain itu, secara jumlah produksi, mereka masih melihat bahwa pertanian anorganik lebih banyak dibandingkan dengan organik.
Menurut Eti, persoalan itu yang harus dijawab pemerintah, yakni meyakinkan petani terkait dengan pertanian organik. ”Jika kesulitan memperluas titik-titik pengembangan produk organik, mungkin bisa didorong satu kawasan pertanian organik terpadu. Di sana semua kegiatan terkait dengan produk organik bisa dilakukan,” katanya.
Selain itu, peningkatan kapasitas petani untuk pengelolaan produk pascapanen juga perlu didorong. Di daerah lain, menurut Eti, pemerintah daerah bahkan bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk membantu petani mendesain kemasan untuk produknya.
Menyikapi hal itu, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB Husnul Fauzi mengatakan, saat ini memang mereka belum menjadikan pertanian organik sebagai prioritas. ”Belum menjadi penugasan yang signifikan karena membutuhkan produksi yang tinggi. Namun, kalau ada yang bisa berproduksi tinggi, akan kami pasarkan secara massal,” kata Husnul.
Husnul menambahkan, selain itu, mereka juga kesulitan mengajak petani karena mereka sudah terbiasa dengan pertanian non-organik. ”Dulu mereka enggak mau menggunakan pupuk kimia karena menganggapnya racun. Sekarang mereka senang menggunakannya karena mempercepat produksi,” ujarnya.
Petani, menurut Husnul, melihat bahwa pertanian organik tidak serta-merta bisa digunakan untuk produksi. Itu karena membutuhkan proses lebih lama untuk memperkaya unsur hara hingga benar-benar bersih dari unsur kimia. Hal itu yang menjadi pertimbangan petani sehingga belum mau menggunakan pertanian organik.
”Kesadaran masyarakat (terkait pertanian organik) memang perlu dikembangkan. Oleh karena itu, secara perlahan kami terus melakukan pendekatan kepada mereka,” kata Husnul.