Beragam persoalan tol laut yang belum terselesaikan sejak pertama kali diluncurkan pada 2015 mesti dituntaskan oleh pemerintah pusat sebagai regulator.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS - Program tol laut dapat menjadi pelecut untuk membangkitkan gairah ekonomi daerah pinggiran dan kantong kemiskinan di kawasan timur Indonesia, termasuk Maluku. Selain memangkas disparitas harga, lewat program prioritas Presiden Joko Widodo itu, komoditas unggulan daerah dapat terdistribusikan ke pasar di Pulau Jawa.
Oleh karena itu, beragam persoalan tol laut yang belum terselesaikan sejak pertama kali diluncurkan pada 2015 itu mesti dituntaskan oleh pemerintah pusat sebagai regulator. Sementara itu, pemerintah daerah diminta mendorong peningkatan produksi unggulan, terutama hasil laut yang melimpah di Maluku.
Hal tersebut dikemukakan Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Ruslan Tawari, di Ambon, Jumat (5/7/2019). Ruslan mengaku mencermati praktik program tol laut yang menyasar di sisi selatan Maluku itu.
Menurut dia, tiga wilayah yang dilayani tol laut, yakni Kabupaten Maluku Barat Daya, Kepulauan Tanimbar, dan Kepulauan Aru, merupakan kantong kemiskinan di Maluku. Persentase kemiskinan di kawasan itu di atas 25 persen. Wilayah tersebut juga tergolong memiliki tingkat kemahalan harga yang tinggi karena minimnya pasokan barang.
Ironisnya, daerah itu merupakan lumbung ikan di Maluku. Pulau-pulau di sana bersinggungan dengan Laut Banda dan Laut Arafura yang kaya akan hasil laut. Dari sekitar 3 juta ton potensi ikan di Maluku, lebih dari separuhnya berasal dari tiga kabupaten tersebut.
"Makanya, tol laut ini bagus sekali. Kapal datang bawa barang kebutuhan dari Pulau Jawa kemudian pulang membawa ikan yang tersebar merata di sana. Selain itu, ada hasil lain seperti jeruk dan domba di Maluku Barat Daya dan umbi-umbian di Kepulauan Tanimbar," kata Ruslan.
Oleh karena itu, yang diperlukan sekarang adalah program tol laut dilakukan secara efektif dan efisien dari sisi kelancaran distribusi dan harga. Sejumlah pihak yang terkait program tersebut diharapkan punya komitmen menjadikan tol laut sebagai jembatan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah pinggiran.
Viandro Tanaya, pengguna jasa tol laut di Larat, Kepulauan Tanimbar, saat dihubungi secara terpisah, mengatakan, daerah itu kaya akan potensi ikan. Namun, daya beli masyarakat sangat lemah karena minimnya pendapatan. Nelayan setempat belum diberdayakan. Mereka tidak memiliki perahu motor dan alat tanggkap yang memadai.
Ia juga mengusulkan agar alat tangkap ikan seperti jaring dapat diperbolehkan diangkut menggunakan jasa tol laut. Saat ini, program tol laut hanya memperbolehkan mengangkut bahan kebutuhan pokok dan bahan penting lainnya seperti bahan bangunan. Alat tangkap belum diizinkan.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, tol laut di wilayah tersebut terlambat lebih dari tiga bulan lantaran kapal pengangkut mengalami kerusakan. Tarif barang yang diangkut juga naik Rp 5 juta per peti kemas sejak 2016. Di Pulau Kisar, tarif tersebut lebih mahal dibandingkan dengan tarif kapal nonsubsidi. Pengguna jasa tol laut mengaku rugi.
Selain itu, diduga ada pelanggaran yang dilakukan oleh sejumlah pihak terkait. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi telah mengganti operator kapal dan memasukannya ke dalam daftar hitam. Petugas dari kementerian yang terkait langsung dengan program tersebut pun dipecat (Kompas, 5/7/2019).
Budi, lewat pesan singkat kepada Kompas, Jumat, menyatakan sesegera mungkin membentuk tim untuk meninjau wilayah yang bermasalah dengan tol laut itu. Pihaknya akan bertemu dengan para pengguna jasa tol laut, pemerintah daerah, dan masyarakat. "Saya kirim tim ke sana," tulisnya seraya berjanji akan membereskan kendala dan persoalan di lapangan.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Perhubungan, saat ini, tol laut melayani 18 trayek di Indonesia. Jumlah itu bertambah dari 13 trayek sejak tahun 2016. Adapun anggaran yang digelontorkan untuk subsidi tol laut, berturut-turut tahun 2016 sebesar Rp 335,05 miliar, meningkat menjadi Rp 447,62 miliar tahun 2017, kemudian turun menjadi Rp 222,03 miliar untuk tahun 2019.