Meski KTT G-20 berakhir, perang dagang AS dengan China belum akan berakhir. Indonesia perlu mencari peluang dari perseteruan itu. Caranya, mengincar investasi lewat kerja sama dengan China dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun Konferensi Tingkat Tinggi G-20 berakhir, perang dagang Amerika Serikat dengan China belum akan berakhir. Indonesia perlu mencari peluang dari perseteruan itu. Caranya, mengincar investasi lewat kerja sama dengan China dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan atau The Belt and Road Initiative.
Pandangan ini disampaikan Direktur Perencanaan Jasa dan Kawasan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nurul Ichwan, Sabtu (6/7/2019) di Jakarta. ”Mungkin akan membaik hubungan AS dan China, tetapi tidak akan 100 persen. Bisa jadi akan ada perang dagang edisi kedua,” ucapnya.
Untuk itu, Indonesia perlu mencari keuntungan dari perang dagang yang berkepanjangan. BKPM melihat, salah satu cara yang efektif adalah memanfaatkan Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI).
Menurut Ichwan, Indonesia punya peranan besar dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan. Sebab, hanya Indonesia satu-satunya negara di Asia Tenggara yang dilintasi jalur maritim tersebut. Peluang untuk merelokasi industri maritim China sangat besar.
”Kita harus mencampur keuntungan Indonesia sebagai partisipan aktif BRI dengan potensi investasi yang bisa ditawarkan ke China dalam rangka mengakses pasar AS. Dengan menjahit kepentingan jalur maritim itu, negara lain tidak ada yang bisa nawarin serupa,” ujar Ichwan.
BKPM melihat China memiliki kepentingan bisnis untuk mengakses pelayaran melalui perairan Indonesia. Mereka mengincar jalur Selat Malaka menuju Samudra Hindia ataupun langsung menuju perairan Australia.
Oleh karena itu, Indonesia menawarkan empat koridor. Pertama, investasi di Sumatera Utara, yang di dalamnya terdapat Pelabuhan Kuala Tanjung, berada di Selat Malaka. Kemudian, Kalimantan Utara terkait pengembangan energi. Dan, terakhir, Manado dan Bali untuk pengembangan pariwisata.
Ichwan menambahkan, iklim investasi di Indonesia sudah memperlihatkan tanda positif setelah KTT G-20 dan selesainya tahapan pemilihan presiden. Para investor mulai aktif menanyakan peluang investasi di Indonesia.
Adapun perang dagang dan pilpres membuat pertumbuhan investasi melambat pada triwulan I-2019. Investasi di Indonesia hanya tumbuh 5,3 persen secara tahunan atau melambat dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan I-2018, yakni 11,8 persen.
Direktur Riset Indef Berly Martawardaya mengatakan, China sudah pasti akan mempertimbangkan untuk mengaktualisasi BRI ataupun mengekspor lewat Indonesia. Mereka tidak punya pilihan karena akses ke AS tertutup akibat perang dagang.
”Perang dagang akan memunculkan peluang. Akses keduanya tertutup. Secara natural, mereka harus mencari dunia ketiga untuk ekspor produk seperti biasa, tetapi tidak terkena sanksi perdagangan,” kata Berly.
Meskipun begitu, Indonesia perlu bersaing dengan negara-negara Asia Tenggara lain. Negara lain seperti Vietnam juga menawarkan prospek investasi yang menggiurkan.
”Vietnam perizinannya cepat dan infrastrukturnya sudah jadi. Mereka negara sentralistis, jadi perizinannya mudah. Kalau di sini, mau investasi bangun pabrik di daerah, harus ada izin pemerintah daerah dulu,” ucap Berly.
Di sisi lain, Indonesia for Global Justice (IGJ) mendesak pemerintah tidak menyepakati Osaka Track sesuai dengan dorongan negara-negara maju dalam KTT G-20. Osaka Track merupakan proposal Pemerintah Jepang, AS, dan China untuk membahas perjanjian perdagangan digital khususnya terkait liberalisasi data.
Peneliti Senior IGJ, Olisias Gultom, menyatakan, Indonesia dan kebanyakan negara berkembang lainnya belum memiliki regulasi perlindungan data publik dengan standar yang cukup. Karena itu, akan menimbulkan risiko yang sangat tinggi jika liberalisasi data diterapkan.
”Indonesia mau menggunakan standar yang mana, itu pun masih jadi perdebatan. Karena itu, perlu ada proses diskusi lebih dahulu di antara anggota WTO, khususnya negara-negara berkembang, untuk menghitung untung-ruginya bagi mereka,” tutur Olisias.