Kompetensi Guru Dimulai dari Perubahan Persepsi Belajar
Guru tidak hanya dituntut meningkatkan kemampuan dan wawasan keilmuannya, tetapi juga harus mengubah persepsi bahwa pemelajaran berpusat pada siswa.
JAKARTA, KOMPAS — Keterbukaan pandangan dan kemandirian belajar merupakan kunci dari peningkatan kompetensi guru. Metode pelatihan paling efektif tidak bisa memberi hasil seratus persen tanpa dukungan inisiatif belajar dari para guru.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika memberi pidato terpisah pada Kongres Ke-22 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta, Jumat (5/7/2019), menekankan pentingnya peningkatan kompetensi guru yang tidak hanya memantapkan keterampilan, tetapi juga memperkaya wawasan. Hadir juga dalam acara tersebut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dan Ketua Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi.
"Setelah tercipta infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia menjadi fokus dengan guru sebagai sentralnya. Transformasi proses belajar menjadi menyenangkan. Apalagi, ruang kelas kini bukan satu-satunya tempat belajar, ada internet yang bisa menjadi perpustakaan kita," kata Jokowi dalam sambutannya di pembukaan Kongres Ke-22 PGRI.
Meskipun begitu, ia menekankan bahwa guru tidak akan terganti oleh teknologi tercanggih sekalipun. Keberadaan profesi guru tidak sekadar mencerdaskan anak, tetapi menjadikan mereka manusia utuh berkarakter nasionalis dan membangun bangsa.
Keberadaan profesi guru tidak sekadar mencerdaskan anak, tetapi menjadikan mereka manusia utuh berkarakter nasionalis dan membangun bangsa.
“Guru berperan sentral dalam membentuk karakter bangsa, merajut persatuan, merajut kesatuan negara kita, Indonesia,” kata Jokowi.
Secara terpisah, saat menyampaikan sambutan kunci, Kalla mengatakan, untuk meningkatkan mutu pendidikan, guru harus berupaya meningkatkan kemampuan serta wawasan keilmuan. Guru harus mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi terkini.
Motivasi
Unifah seusai acara mengatakan, salah satu upaya PGRI meningkatkan kompetensi guru adalah dengan membuka Pusat Pembelajaran Cerdas dan Berkarakter (PGRI SLCC). Segala jenis modul, metode, dan program pelatihan sudah diunggah di lamannya.
Meskipun begitu, Kepala SLCC Richardus Eko Indrajit mengungkapkan kendala utama berjalannya pelatihan secara efektif, cepat, dan meluas adalah belum mantapnya motivasi guru. "Masih banyak guru baru mau ikut pelatihan jika ditugaskan oleh kepala dinas, pengawas, atau pun kepala sekolah," ucapnya.
Akibatnya, orang-orang yang kerap ikut pelatihan adalah orang-orang yang sama dan peningkatan kompetensi hanya dialami oleh segelintir guru. Padahal, sejatinya berbagai informasi bermanfaat sudah tersebar di internet. Penggunaannya tidak maksimal karena guru masih mengalami gegar budaya digital.
Menurut Eko, rata-rata guru ketakutan dengan dampak teknologi karena mereka tidak memahami cara menggunakan dan menavigasikannya. Ibarat ombak, mereka berusaha membuat tembok untuk menahannya, yang semestinya mereka lakukan adalah berselancar di atas ombak itu.
"Berkat gawai elektronik siswa terpapar berbagai informasi, di saat yang sama sebenarnya ini meningkatkan pengalaman dan jumlah informasi yang mereka akses. Selama ini, guru seolah panik berusaha mengejar semua informasi baru sementara informasi lama belum selesai dicerna," tutur Eko.
Ia mengatakan, guru tidak perlu kalang kabut mengejar informasi. Justru, mereka menjadi jangkar dengan memberi siswa keterampilan memilah dan mengolah informasi. Melalui cara ini peran guru tetap signifikan dalam tumbuh kembang siswa.
Guru tidak perlu kalang kabut mengejar informasi. Justru, mereka menjadi jangkar dengan memberi siswa keterampilan memilah dan mengolah informasi.
"Era digital adalah konvergensi sistem pemelajaran formal, non formal, dan informal. Guru menjadi pengarahnya. Namun, hal ini hanya bisa dicapai ketika guru bisa mengubah persepsi tentang pemelajaran tidak lagi terpusat pada dia, dan meningkatkan kapasitas literasinya," kata Eko.
Pelatihan
Pada kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud Supriano menjelaskan mengenai pelatihan guru berbasis zonasi. Materi latihannya disesuaikan dengan masalah pemelajaran yang dihadapi zona masing-masing. Salah satu landasan materinya adalah peta hasil Ujian Nasional yang menunjukkan permasalahan di setiap zona, bahkan sekolah, sehingga pelatihan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran bisa terperinci dan tepat sasaran.
Namun, menurut pengakuan pengurus asosiasi guru teknologi, informasi, dan komunikasi PGRI Wijaya Kusuma, hingga kini guru-guru belum mendengar mengenai program pelatihan tersebut dari dinas pendidikan provinsi maupun kabupaten/kota.
"Di PGRI, asosiasi guru TIK melakukan pelatihan dengan inisiatif sendiri dengan sponsor dari pihak swasta. Masalahnya memang yang datang hanya mereka yang berminat. Membangkitkan motivasi guru untuk ikut pelatihan membutuhkan waktu," ujarnya.