Membawa Abon Ciamis Melintasi Masa
Tahun 2000 menjadi episode terberat bagi Novi M Dewi (36). Ia kehilangan sang ayah, tulang punggung keluarga. Usaha abon keluarga yang berdiri sejak 1968 pun terancam ambruk. Namun, masa sulit itu justru mengantar Novi menemukan jalan hidupnya: melestarikan abon Ciamis.
Sore itu, Jumat (1/3/2019), Novi sibuk menerima tamu di rumahnya di Kampung Rancapetir, Kecamatan Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Mereka antara lain, konsumen dan pemasok bahan baku untuk usaha abon keluarganya. Transaksi pertukaran rupiah dan abon pun berlangsung.
Di samping ruang tamunya, dibuka toko yang menyajikan abon, sale pisang hingga serundeng. Papan bertuliskan Abon Rajawali Hj Iloh tertancap tegak di depan pagar. Hj Iloh, nenek Novi, dikenal warga sebagai pemrakarsa usaha abon sapi di Ciamis. Pusatnya di Rancapetir.
“Dulu, saat masa pendudukan Jepang, keluarga bangsawan biasa menggelar acara masak bersama. Nenek saya ikut. Di sana, dia belajar membuat abon dari daging sapi,” ujar Novi mengenang kisah neneknya. Menurutnya, dengan abon, daging mampu bertahan lebih lama. Apalagi, kala itu, belum marak kulkas.
Pada 1968, Hj Iloh pun mulai berkeliling menjajakan abon sapi dari rumah ke rumah. Abon itu hanya disimpan di dalam plastik. Para pelanggan yang menikmati olahan daging sapi itu lalu menyebarkannya dari mulut ke mulut dan menembus batas kota Ciamis. Usaha neneknya pun menanjak naik.
Bahkan, pada 1980an, warga di Rancapetir mengikuti jejak Hj Iloh. “Saat itu, hampir setiap rumah membuka usaha abon dan dendeng sapi. Orang mengenal daerah ini sebagai kampung abon. Namun, sekarang hanya empat rumah yang bertahan dengan usaha abon,” lanjutnya.
Sama dengan Novi, ketiga rumah lainnya juga membuka warung penjualan abon. Ibu dua anak itu tak tahu pasti mengapa usaha rumahan tersebut gulung tikar. Namun, setidaknya, ia juga merasakan masa sukar berkembangnya usaha tersebut.
Ujian pertama muncul ketika Hj Iloh meninggal dunia pada 1992. Pembuat abon dan dendeng sapi cap Rajawali “terbang” selama-lamanya. Beruntung, rahasia dapur usaha tersebut telah diketahui Ikin Rustendi dan Nunung, orangtua Novi. Usaha pun berlanjut di tangan generasi kedua.
Namun, bisnis tersebut sulit tumbuh.”Produksinya begitu-begitu saja, hanya 10 kilogram daging sapi per minggu. Bahkan, bisa dua pekan, tergantung pemesanan. Apalagi, ayah sibuk menjadi anggota DPRD Ciamis dua periode. Usaha ini tidak berkembang,” ujar Novi yang mulai membantu produksi abon.
Ditinggal Ayah
Cobaan terberat dalam mepertahankan usaha itu datang ketika Ikin berpulang untuk selama-lamanya tahun 2000. Jangankan untuk menjaga usaha keluarga, Novi juga ragu untuk bertahan hidup. Tulang punggung keluarga telah tiada.
Kalau pun bergantung pada usaha abon, siapa yang meneruskannya? Ibunya sendiri sukar memikul beban mengurus rumah tangga sekaligus memproduksi abon. Tiga kakak laki-laki Novi berada di luar kota. Ada yang sekolah dan telah berkeluarga. Sementara Novi yang duduk di bangku sekolah menengah atas berencana kuliah di Bandung.
Namun, Novi mengurungkan niatnya. “Saya kasihan sama ibu. Saya pilih menikah dan bantu ibu membuat abon,” ujar perempuan berhidung mancung dan tinggi semampai tersebut.
Cibiran sayup-sayup sampai ke telinganya yang tertutup hijab. Ada yang bilang, membuat abon itu kerjaan pria, berat. Bukan hanya harus mengaduk daging seberat 10 kg, Novi juga berada di dalam kepulan asap kayu bakar, salah satu resep menghasilkan abon ciamik. Ia juga minder dengan teman-temannya yang telah mengenakan “kerah putih”, pekerja kantoran.
Akan tetapi, di tengah kondisi itu, istri Tedy Dzulizar ini menemukan jalan hidupnya. Ia mulai menikmati menjadi pengusaha abon. Cara pandangnya dari pemburu kerja menjelma penyedia lapangan kerja. Modalnya, catatan resep abon dari ibunya yang ditulis dalam bahasa Sunda.
“Kami hidup dari abon. Bahkan, Ciamis dulu terkenal dengan abonnya. Usaha ini harus dilestarikan,” ungkapnya. Setahun setelah ayahnya berpulang, usaha keluarga itu mantap berada di tangannya sebagai generasi ketiga. Ia bahkan sempat kuliah di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Tasikmalaya dengan biaya sendiri.
Produksi abonnya mulai dikenal luas ketika Pemprov Jabar ikut mempromosikannya pada 2008. Wakil Gubernur Jabar saat itu Deddy Mizwar bahkan mengunjungi gerainya. Permintaan pun bertambah. Pada 2012, ia membuka toko di jalur provinsi, tepatnya Jalan Raya Ciamis Kilometer 2.
Inovasi abon
Meski demikian, bisnisnya tidak lantas melaju mulus tanpa kendala. Bahan baku, yakni daging sapi yang mahal menjadi tantangan terberat. “Harga daging kan jarang turun. Bahkan, 2015, mencapai Rp 140.000 per kilogram. Padahal, biasanya, paling tinggi Rp 110.000 per kg. Kami hampir putus asa,” lanjutnya.
Sebagai gambaran, dengan 1 kg daging sapi, abon yang dihasilkan kurang dari 0,5 kg atau susu lebih dari 50 persen. Sebenarnya, Novi bisa saja mengubah komposisinya demi meraup untung. Namun, ia tidak ingin kualitas yang telah dijaga puluhan tahun hilang demi pundi-pundi rupiah. “Bagi kami mah, rasa yang utama,” ucapnya.
Bahkan, perempuan kelahiran Ciamis ini menolak memanfaatkan daging impor yang harganya bisa lebih murah, Rp 80.000 per kg. “Alasannya, daging tersebut beku, tidak cocok untuk abon. Saya memilih daging lokal dari Tasikmalaya,” ucapnya.
Di tengah kondisi itu, lulusan diploma III Manajemen Informatika ini malah berinovasi. Ia memproduksi abon daging ayam yang bahan bakunya lebih murah. Ini cukup membantu di saat produksi abon daging menurun akibat mahalnya bahan baku.
Pasar pun merespons positif produk itu. Hingga kini, Novi mampu memproduksi 50 kg daging ayam untuk abon setiap pekan. Tekstur abon ayam lebih lembut dibandingkan daging sapi. Namun, keduanya renyah, menggoda seseorang untuk menambah suapan abon.
Ia juga mengembangkan abon lele. “Mertua saya punya kolam dengan ikan lele sampai 1 ton. Sudah gede-gede. Setelah belajar di internet dan tiga kali percobaan, saya berhasil buat abon lele. Ini untuk membantu anak-anak yang tidak suka makan ikan. Dengan olahan abon, mereka bisa suka ikan,” ucapnya diiringi tawa.
Baginya, inovasi penting untuk perkembangan bisnis. Selain mempercantik kemasannya, ia juga membuat varian rasa abon sapi original dan pedas. Dalam tiga hari, ia mampu mengolah 110 kilogram daging sapi menjadi abon. Jumlah itu meningkat lebih dari 100 persen saat bisnis itu dipegang oleh orangtuanya. Satu kilogram abon sapi dijual 305.000.
Produk itu beberapa kali turut serta di pameran luar kota bahkan sampai Malaysia. Pemkab Ciamis dan Bank Indonesia turut mendukungnya. Media sosial pun dimanfaatkan untuk mengirim produknya ke Bandung, Jakarta, bahkan Hongkong dan Belanda.
Setidaknya, ada belasan reseller yang ikut menjajakan produknya. Sebaliknya, di tokonya, puluhan produk setempat ditampung untuk dijual. Harapannya, ia dapat memajukan usaha kecil mikro di Ciamis.
Toh, usaha yang dulunya hanya melibatkan keluarga itu kini turut mempekerjakan hingga 10 orang jika pemesanan abon membludak. “Saya juga biasanya mengantar abon teh Novi ke pelanggan. Lumayan, ada uang jalannya. Abon dari Rancapetir sudah terkenal sebagai oleh-oleh khas Ciamis,” ujar Dani Hermawan, pengendara ojek daring.