Menyaring Suara Jernih di Tengah Riuh
”Waktu kerusuhan 22-23 Mei 2019 itu, rasanya kepala mau pecah. Banyak beredar video dan gambar hoaks, kayak di perempatan yang lampu merahnya mati. Semua harus diperiksa bersamaan,” kata Aribowo Sasmito (42), Direktur Pemeriksa Fakta di Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, disingkat Mafindo.
”Waktu kerusuhan 22-23 Mei 2019 itu, rasanya kepala mau pecah. Banyak beredar video dan gambar hoaks, kayak di perempatan yang lampu merahnya mati. Semua harus diperiksa bersamaan,” kata Aribowo Sasmito (42), Direktur Pemeriksa Fakta di Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, disingkat Mafindo.
Sore itu, Rabu (26/6/2019), Aribowo menemui Kompas di kantornya yang bersahaja di kawasan Jakarta Selatan. Sebuah ruangan berukuran sekitar 4 meter x 6 meter. Ada dua meja besar dengan sejumlah komputer jinjing (laptop), beberapa tumpukan berkas, dan mesin pencetak (printer). Satu lemari diletakkan mepet ke dinding, berhadapan dengan papan tulis putih dengan beberapa catatan spidol.
Suasananya santai. Dia bercerita sambil terus membaca catatan di layar komputer yang terhubung ke internet. Di depannya ada dua lagi anggota pemeriksa fakta (fact checker) yang juga sedang bekerja, yaitu Bentang Febrylian (27) dan Muhammad Khairil Haesy (30). Di dekat keduanya, Dewi Sari (44), direktur operasional, dibantu seorang di bagian keuangan, sibuk merapikan data harian.
Aribowo bercerita, saat kerusuhan, beredar foto tiga polisi bermata sipit dengan keterangan impor dari China, video polisi menyerang masjid, juga video Kepala Polri yang membolehkan warga ditembak. Setelah itu, muncul pula foto polisi cantik yang juga diklaim impor asal China. Tim pencari fakta Mafindo pun berusaha mencari fakta sebenarnya, termasuk dari keterangan polisi.
Tak lama, fakta pun terungkap. Tiga polisi bermata sipit itu adalah polisi Indonesia, asli WNI. Polisi tidak menyerang masjid. Video Kepala Polri membolehkan warga ditembak adalah potongan atau hasil editan yang sengaja dibuat menyesatkan dari video utuhnya. Foto polisi perempuan impor China ternyata adalah Bripda Vani Simbolon, yang bertugas di Polres Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Fakta yang telah terverifikasi itu lantas diunggah tim Mafindo di situs Turnbackhoax.id, yang sekaligus menjadi pusat basis data hasil periksa fakta. Dari situ, unggahan lantas disebarkan lagi melalui beberapa kanal media sosial (medsos). Ada grup Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH) dan page @MafindoID di Facebook, akun @turnbackhoax di Twitter, serta @turnbackhoaxid di Instagram.
Namun, semua hoaks alias kabar bohong itu telanjur viral di medsos, termasuk melalui jaringan Whatsapp, sehingga menumbuhkan prasangka keliru terhadap kepolisian. ”Jumlah orang yang terpapar hoaks selalu lebih banyak ketimbang mereka yang menerima hasil periksa faktanya. Hampir selalu begitu,” kata Aribowo dengan nada kecewa.
Contohnya, fakta hasil verifikasi atas foto Bripda Vani, yang diunggah di grup Facebook @MafindoID, 15 Juni 2019, dibagikan 36 kali, dapat 17 komentar, dan 137 reaksi. Padahal, hoaks sebelumnya sudah telanjur viral di mana-mana sehingga dilihat ribuan orang. Artinya, meski kemudian dinyatakan sebagai kabar bohong, isu polisi perempuan China yang dipekerjakan di Indonesia itu keburu nempel di benak sebagian masyarakat.
Mengorganisasi diri
Mafindo adalah salah satu dari gerakan masyarakat memerangi hoaks. Bermula dari obrolan di Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), para aktivis antihoaks yang berjejaring di medsos kemudian membentuk gerakan terorganisasi yang lebih besar, yang diberi nama Mafindo. Diluncurkan awal tahun 2017, organisasi ini memiliki jaringan di 16 kota di Indonesia.
Dewi Sari, Direktur Operasional Mafindo, mengungkapkan, organisasi itu awalnya dibiayai donasi dari para aktivis dan kian berkembang dengan sokongan dana tanggung jawab sosial perusahaan(CSR) dari beberapa perusahaan. Komunitas ini mempekerjakan sejumlah orang secara penuh waktu. ”Kami merapikan manajemen, kerja terukur, dan membuat laporan keuangan yang bisa diaudit secara terbuka,” katanya.
Dengan mekanisme kerja lebih mapan, Mafindo diharapkan menjadi payung berbadan hukum bagi komunitas serupa di sejumlah tempat, yang telah lahir sebelumnya. Sebut saja, antara lain, Indonesian Hoaxes, Indonesia Hoax Buster, dan Sekoci.
”Indonesian Hoaxes sudah ada sejak tahun 2010. Awalnya muncul di forum Kaskus, dengan nama Kaskus Hoax Buster, lalu pindah ke Facebook sekitar tahun 2013,” kata Adi Syafitrah, admin sekaligus ketua Komunitas Anti Hoaks, badan legal dari Indonesian Hoaxes (IH).
Beberapa admin IH kemudian membentuk komunitas berbeda, yaitu Indonesia Hoax Buster dan Sekoci. ”Saat kegiatan IH kosong, saya dan beberapa teman membuat Indonesia Hoax Buster (IHB) tahun 2016. Adminnya di Bandung, Jakarta, dan Semarang (Jawa Tengah),” kata Citra Pratiwi (36), salah seorang pendiri IHB, yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
Mereka semua terus memperluas jaringan dan bergerak memerangi hoaks. Caranya, mereka tangkap hoaks yang beredar di masyarakat, menggali fakta sebenarnya, dan kemudian memuat hasil verifikasi di akun medsos masing-masing. Jumlah hoaks yang di-debunk (dibongkar kepalsuannya) cukup bersar.
Mafindo, misalnya, merilis 3.137 hasil periksa fakta. IHB pernah menangani 1.500 hoaks, sementara IH mengunggah 2.500 hasil verifikasi. Kerja keras itu mendapat respons positif dari publik. Laman-laman komunitas tersebut diikuti dan disukai ratusan ribu akun.
”Tetapi, tak semua penyuka atau pengikut itu sepenuhnya mendukung gerakan kami. Sebagian akun hanya mengintip, bahkan mencari celah kelemahan kami,” kata Citra.
Perusahaan medsos
Saat masyarakat bergerak menangkal hoaks, bagaimana dengan perusahaan penyedia platform medsos, yang menjadi ”rumah” bagi berbagai kabar bohong? Beberapa perusahaan menyadari masalah ini dan mengantisipasinya dengan cara masing-masing.
Kepala Kebijakan Publik Facebook di Indonesia Ruben Hattari menuturkan, sejak tahun 2018, Facebook mengembangkan program third party fack checking (pemeriksa fakta pihak ketiga) yang melibatkan sejumlah lembaga independen, seperti Tirto.id, AFP, Kompas.com, Liputan6, Tempo, dan Mafindo. Mereka meninjau berita populer di masyarakat, memeriksa fakta, dan menilai akurasi berita tersebut.
Hasil verifikasi diterbitkan dalam bentuk berita beserta penilaiannya. Jika berita itu ternyata hoaks, Facebook memberi tanda hasil verifikasi pada berita tersebut dan mengurangi kemungkinan distribusinya sampai 80 persen. ”Kita perlu kerja sama dengan pihak ketiga yang menggeluti bidangnya untuk menilai dan memberi saran. Kami perlu informasikan berita bohong kepada para pengguna,” kata Ruben.
Dengan tim khusus dan teknologi kecerdasan buatan, Facebook juga mendeteksi akun-akun palsu serta perilaku tidak otentik yang terorganisasi, seperti menyerbu pengiriman satu konten lewat banyak akun pada momen yang sama. Pada Maret 2019, Facebook menghapus 207 halaman (page), 800 akun, dan 546 grup. Instagram, yang berada dalam satu manajemen dengan Facebook, juga menghapus 208 akun di platform tersebut.
Secara terpisah, Head of Corp Comms at Google Indonesia Jason Tedjasukmana mengatakan, Google berkolaborasi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Mafindo, Internews, dan Google Initiative menggelar pelatihan pengecekan fakta dan keamanan digital terkait Pemilu 2019. Google juga mendukung peluncuran Cekfakta.com pada pertengahan tahun 2018. ”Ini bentuk komitmen kami untuk menghadirkan informasi yang tepat dan berdasarkan fakta,” katanya.
Hoaks terus bergentayangan
Apakah berbagai gerakan tersebut bakal mampu menangkal hoaks? Tampaknya sulit karena hoaks terus bergentayangan seiring pertambahan jumlah pengguna medsos.
Laporan Digital in 2019 oleh Hootsuite dan We are Social mencatat, penetrasi internet di Indonesia pada Januari 2018-Januari 2019 mencapai 150 juta orang atau 56 persen dari total jumlah penduduk. Jumlah itu meningkat 13 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Seluruh pemakai internet mengandalkan medsos dengan akses terbanyak pada Youtube (88 persen), Whatsapp (83 persen), Facebook (81 persen), dan Instagram (80 persen). Sebanyak 130 juta pengakses internet melalui medsos.
Facebook Indonesia menyebut, 115 juta akun aktif mengakses platform tersebut setiap bulan. Meski tak menyebut rinci, angka pengguna Instagram dan Whatsapp juga terus meningkat setiap tahun. Data dari Google menunjukkan, pengguna untuk setiap produk ini mencapai 1 miliar orang, yaitu Android, Chrome, Youtube, Google Maps, Gmail, Drive, Play, dan Search.
Saat ini, masyarakat kian menyadari peran strategis medsos untuk berbagai kepentingan. Politik praktis menggunakan kabar bohong sebagai salah satu strategi kampanye di dunia maya. Walhasil, hoaks akan terus bermunculan selaras dengan hasrat perebutan kekuasaan politik yang cenderung menghalalkan semua cara.
Menyadari geliat hoaks yang sulit dibendung, Pemerintah Indonesia berusaha memaksimalkan pengawasan dan pengetatan medsos. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, saat ditemui di kantornya, Jumat (28/6/2019), mengatakan, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai landasan untuk mengembangkan literasi digital sekaligus pengelolaan medsos, termasuk pembatasannya.
Pembatasan pernah diterapkan saat kerusuhan seusai unjuk rasa di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jakarta, 22-25 Mei 2019. Kementerian Kominfo mengurangi akses publik untuk mengunggah (upload) dan mengunduh (download) foto dan video melalui Whatsapp, Facebook, dan Instagram. Saat itu banyak beredar hoaks yang memprovokasi, menghasut, dan mengadu domba yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
”Pemerintah ambil posisi membatasi medsos karena lebih banyak masyarakat yang mesti dilindungi dari sebaran hoaks. Apalagi, literasi digital kita rendah. Kalau tidak ambil kebijakan itu, pemerintah malah salah karena tidak melaksanakan undang-undang,” kata Rudiantara.
Sebagai bandingan, kebijakan serupa memang pernah diambil beberapa negara. Sri Lanka pernah memblokir Facebook dan Whatsapp saat teror bom bunuh diri di tiga gereja dan tiga hotel mewah, April 2019. Iran menutup Facebook setelah pengumuman kemenangan Presiden Ahmadinejad tahun 2009.
Namun, kebijakan Kementerian Kominfo mendapat kritik. Menurut Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet Ika Ningtyas, seharusnya medsos juga menjadi ruang untuk mewujudkan demokrasi. Hak-hak warganet, seperti hak untuk berekspresi dan hak berpendapat, juga harus diakui di dunia maya. Hanya saja, idealisme itu mengalami tantangan serius, terutama dari adanya pasal-pasal karet di UU ITE dan adanya aktivitas kelompok intoleran yang melakukan doxing (pembongkaran atau pemalsuan identitas akun di medsos).
Pemerintah dan para pemangku kepentingan hendaknya mencegah produksi dan peredaran hoaks di hulu. Caranya, dengan menggalakkan literasi digital, terutama kepada generasi muda. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus memasukkan literasi digital ke dalam kurikulum sekolah agar masyarakat bisa memanfaatkan internet untuk tujuan positif dan meningkatkan kualitas pendidikan. ”Generasi muda harus diajak berpikir kritis untuk menelan informasi di internet karena setiap orang saat ini bisa mengunggah apa saja,” ujar Ika.
Di antara unggahan di medsos itu, ada saja hoaks yang disusupkan. Lebih dari itu, memang ada organisasi atau jaringan yang secara ”profesional” bekerja memproduksi dan mendistribusikan hoaks. Ketika ada kelompok masyarakat yang memerangi hoaks itu, jaringan produsen hoaks kadang juga melawan balik. Beberapa aktivis Mafindo punya pengalaman pahit terkait hal ini.
Anggota pemeriksa fakta Mafindo, Muhammad Khairil Haesy, bercerita, saat Pemilu Presiden 2019, pendukung calon presiden terbelah menjadi dua. Pendukung Joko Widodo (Jokowi), yang biasa dicap sebagai ”cebong”, dan penyokong Prabowo Subianto, yang kerap dicap ”kampret”. Organisasi seperti Mafindo itu kerap diserang oleh pendukung garis keras dua capres itu.
”Kami sering dicebongin oleh kampret dan dikampretin oleh cebong. Jadilah kami ini ’kecempret’, cebong kampret,” ucapnya berseloroh.
Kami sering dicebongin oleh kampret dan dikampretin oleh cebong. Jadilah kami ini ’kecempret’, cebong kampret.
Tak hanya itu, para aktivis antihoaks juga mesti siap untuk menghadapi serangan digital. Salah satunya, doxing atau pelacakan identitas seseorang di internet untuk dicari kelemahannya, diserang, diberi stigma, diintimidasi, dan dipermalukan. Karena itu, para aktivis antihoaks mesti berhati-hati dan tidak boleh melakukan kesalahan digital di internet yang rentan serangan.
Aribowo pernah menjadi korban. Foto dia di akun medsos diambil, dicap cebong, propemerintah, lantas disebar di Facebook. Sejauh ini tidak pernah terjadi kasus serangan fisik terhadap jaringan gerakan melawan hoaks. ”Kalau dimaki-maki lewat pesan di jaringan percakapan medsos, sih, sering. Tetapi, kami harus kuat dan sabar,” ujarnya.
Sore mendekati malam. Beberapa anggota Mafindo yang bekerja penuh waktu berangsur berpamitan pulang. Ruangan mulai sepi. Namun, Aribowo masih terus saja bekerja, melacak data, memelototi layar komputer di depannya. ”Kalau lagi banyak kerjaan, kadang sampai begadang berhari-hari,” katanya bersemangat.