Pasar Gim Tanah Air Dikuasai Produk Asing
Pengeluaran belanja gim di Indonesia diperkirakan mencapai 1 miliar dollar AS pada tahun 2018. Hanya sekitar 1 persen dari ukuran pasar sebesar itu yang diisi produk gim buatan lokal.
JAKARTA, KOMPAS — Produktivitas usaha gim digital di Indonesia belum merata. Kondisi ini menjadi penyebab utama pasar gim Tanah Air justru dikuasai produksi asing.
Mengutip hasil riset Newzoo ”The Indonesian Gamer 2017”, pada tahun 2017 diperkirakan terdapat 43,7 juta pemain gim di Indonesia yang menghabiskan pengeluaran sekitar 880 juta dollar AS. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara ke-16 terbesar di dunia dalam hal pendapatan gim.
Pada tahun 2018, pengeluaran belanja gim di pasar Indonesia diperkirakan telah mencapai sekitar 1 miliar dollar AS. Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI) Narenda Wicaksono, di sela-sela konferensi pers Bekraf Game Prime 2019, Jumat (5/7/2019), di Jakarta, menyebut, hanya sekitar 1 persen dari ukuran pasar gim Indonesia sebesar itu diisi oleh produk gim buatan lokal.
Situasi tersebut sudah menjadi isu klasik yang sering diserukan. Dia mengatakan, hanya ada sekitar 200 studio gim di Indonesia sampai sekarang. Tidak semua dari mereka berstatus badan hukum dan memiliki produktivitas produksi gim yang merata Penyebabnya berasal dari beberapa faktor. Faktor pertama, tidak semua studio gim memiliki tim produksi yang besar dan ada kecenderungan hanya diisi perorangan. Kedua, waktu pengembangan sebuah gim berkisar dua hingga tiga tahun.
Hanya sekitar 1 persen dari sekitar 1 miliar dollar AS pasar gim Indonesia tahun 2018 yang diisi oleh produk gim buatan lokal.
”Ada unit usaha yang dalam tiga tahun memproduksi satu gim. Ada pula usaha yang mampu menghasilkan lima gim dalam tiga tahun,” ujarnya.
Kucuran pendanaan awal atau biasa disebut juga seeds funding kepada pelaku usaha gim lokal juga minim. Kalaupun ada investor atau perusahaan modal ventura yang mau menyuntikkan seeds funding, itu pun berlaku ke beberapa unit usaha yang investor percaya.
”Monetisasi bisnis gim cuma dapat ditempuh melalui akuisisi pengguna/pemain gim. Lain ceritanya dengan monetisasi bisnis di kalangan perusahaan rintisan bidang teknologi digital lain, seperti angkutan umum berbasis aplikasi. Kondisi ini barangkali menjadi penyebab investor atau pemodal ventura khusus gim jarang,” ujar Narenda.
Pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) telah memiliki program bantuan pemerintah yang salah satunya berupa permodalan kepada pelaku usaha ekonomi kreatif, seperti gim digital. Meski disambut positif, pelaku usaha gim lokal yang menerima tidak masif. Kebanyakan penerima justru sudah memiliki bisnis gim yang matang.
Dia mencontohkan studio gim lokal yang telah mendapat suntikan investasi dari pemodal ventura, yaitu Agate, t10, Toge Productions, Arsanesia, dan Semisoft.
Pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) memiliki program bantuan permodalan.
”Kisah sukses profesi pengembang ataupun studio gim lokal jarang diungkap ke publik. Akibatnya, bibit-bibit pengembang gim bertalenta dan unggul enggan masif terjun ke industri,” katanya.
Pemerintah berusaha memfasilitasi unit usaha gim lokal bertemu dengan investor, seperti melalui sesi bisnis di acara pameran tahunan Bekraf Game Prime yang sudah diadakan sejak empat tahun lalu. Akan tetapi, Narenda mengatakan, unit usaha yang berhasil memperoleh kesepakatan investasi kurang dari 10 unit. Nilai investasinya pun berkisar 100.000 dollar AS- 200.000 dollar AS.
Pada saat bersamaan, Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Santosa Sungkari mengklaim, sepuluh tahun lalu, kepesatan pertumbuhan pasar ataupun industri gim di dunia belum seperti sekarang. Saat ini, ukuran industri gim sudah 2,5 kali lipat lebih besar daripada perfilman.
Menurut dia, secara global, pesatnya perkembangan industri gim yang dipengaruhi oleh teknologi digital memengaruhi sektor industri lain. Sebut saja industri barang cendera mata, periklanan, pendidikan, dan perekrutan tenaga kerja.
”Profesi mendapat pengakuan sejak perkembangan industri gim. Sebagai contoh, players, managers, dan orang yang bermain gim sambil merekam permainan atau caster. Profesi-profesi itu kini memiliki jenjang karier yang jelas dan di Indonesia sudah mulai terjadi,” ujar Hari.
Dia mengakui bahwa kondisi industri gim di Indonesia sekarang masih dalam tahap membangun ekosistem hulu-hilir. Pemerintah, termasuk Bekraf, fokus pada hal itu. Selama empat tahun terakhir, Bekraf rutin menggelar Bekraf Developer Day (BDD) di sejumlah kota, tidak hanya terpusat di kota tier pertama. BDD bertujuan mewadahi pengembang lokal yang ingin menciptakan produk digital, khususnya gim dan aplikasi digital lainnya.
BDD melengkapi Bekraf Game Prime. Tahun 2019 merupakan tahun penyelenggaraan Bekraf Game Prime yang keempat. Berbeda dengan tiga kali penyelenggaraan sebelumnya, tahun ini Bekraf Game Prime tidak diisi dengan sesi temu bisnis. Seluruh waktu acara pada tanggal 13-14 Juli 2019 dipakai untuk pameran. Dengan demikian, harapannya, warga pengunjung ataupun pelaku pasar gim lebih intens mengenal produk gim lokal.
Hari menyebut, ekosistem usaha rintisan di Indonesia, termasuk terkait gim, telah masuk urutan ke-39 dari 400 negara. Tahun sebelumnya, ekosistem usaha rintisan Indonesia berada di peringkat ke-160-an dari 400 negara.
Baca juga: Butuh Kolaborasi Kembangkan Gim
Meskipun terjadi perbaikan dan mendapat apresiasi dunia, dia mengatakan, pekerjaan rumah membangun ekosistem industri gim harus terus dilakukan.
”Market size gim di Indonesia telah masuk ranking 20 besar dunia. Namun, ekosistem industrinya belum kuat. Kalau mau memasarkan produk gim buatan anak Indonesia harus ke luar negeri sehingga lebih mudah memperoleh perusahaan penerbit gim ataupun investor,” ujarnya.
Mengutip data Bekraf, secara nasional jumlah usaha/perusahaan ekonomi kreatif subsektor aplikasi dan gim mencapai 12.441 usaha pada 2016. Pada tahun yang sama, nilai produk domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif berdasarkan harga berlaku tahun 2016 sebesar Rp 922,59 triliun. Kontribusi subsektor aplikasi dan gim terhadap pertumbuhan PDB ekonomi kreatif kurang dari 1 persen.