Pastikan Tak Ada Dwifungsi, Pelaksanaan Perpres Perlu Diawasi
Pelaksanaan peraturan presiden terkait jabatan fungsional TNI perlu dikawal dan diawasi agar tidak muncul potensi dwifungsi TNI.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan peraturan presiden terkait jabatan fungsional TNI perlu dikawal dan diawasi agar tidak muncul potensi dwifungsi TNI. Dalam peraturan presiden tersebut, diatur bahwa TNI hanya boleh menduduki jabatan fungsional dalam organisasi internal TNI dan tidak bisa menduduki jabatan sipil di luar organisasi internal.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional TNI. Pemerintah berharap, perpres itu bisa menjadi solusi dari menumpuknya jumlah perwira tinggi TNI yang tidak memiliki jabatan atau pekerjaan.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, munculnya kekhawatiran adanya dwifungsi TNI di kalangan masyarakat karena sebelumnya ada draf yang menyebutkan TNI bisa menduduki jabatan fungsional di luar organisasi TNI.
”Namun, draf tersebut mendapat penolakan dari masyarakat sehingga dalam perpres yang paling baru ini tertulis bahwa jabatan fungsional yang dimaksud merupakan sebuah kedudukan prajurit TNI di dalam suatu organisasi TNI. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 1 Ayat 1 Perpes Nomor 3 Tahun 2019,” ucapnya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (6/7/2019).
Araf menjelaskan, pemerintah dan TNI tidak boleh menafsirkan, dengan adanya perpres ini, TNI bisa menduduki jabatan sipil lainnya. Oleh sebab itu, pelaksanaan perpres ini perlu diawasi agar tidak memunculkan penyimpangan.
”Masyarakat, DPR Komisi I, hingga Ombudsman RI bisa mengawal pelaksanaan perpres ini karena potensi penyimpangan bisa saja terjadi,” katanya.
Dalam perpres ini diatur bahwa pejabat fungsional TNI berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala unit kerja yang bersangkutan. Kemudian, dalam perpres ini juga diatur bahwa terdapat dua jabatan fungsional TNI, yakni jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan.
Araf menuturkan, perpres ini sebenarnya merupakan rencana jangka pendek pemerintah untuk mengatasi penumpukan perwira TNI. Ia menyarankan, untuk rencana jangka panjang, pemerintah perlu menyeimbangkan jumlah tentara yang masuk dengan yang pensiun.
”Selain itu, seleksi untuk mengikuti Sesko (Sekolah Staf dan Komando) TNI harus diperketat dan disesuaikan dengan jumlah jabatan yang telah ada,” lanjutnya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menjelaskan, anggota TNI harus pensiun atau mengundurkan diri terlebih dahulu jika ingin menduduki jabatan sipil. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 5 Ayat 5 TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.
”Jika TNI menduduki dua jabatan tanpa mengundurkan diri atau pensiun dari keanggotaan TNI, maka ada dua alur komando dan hierarki, yaitu dari Panglima TNI dan dari atasan sipil mereka. Jika ada dua perbedaan pendapat di antara pimpinan, tentunya anggota TNI ini akan bingung harus mengikuti perintah yang mana,” ucapnya.
Usman mengatakan, revisi UU Peradilan Militer juga diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran HAM akibat adanya jabatan fungsional TNI. Menurut dia, selama ini praktik peradilan militer seakan memberikan keistimewaan penegakan hukum kepada anggota TNI.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, dibentuknya Perpres Jabatan Fungsional TNI bukanlah upaya pemerintah untuk mengembalikan era Orde Baru.
”Perpres ini memang harus dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan menumpuknya personel, semata-mata hanya untuk itu. Masyarakat tidak perlu khawatir akan munculnya dwifungsi TNI,” ujarnya.