Penyerapan tenaga kerja dari investasi baru yang masuk cenderung turun lima tahun terakhir. Iklim usaha dinilai kurang mendukung investasi di sektor padat karya.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penyerapan tenaga kerja dari investasi baru yang masuk cenderung turun lima tahun terakhir. Iklim usaha dinilai kurang mendukung investasi padat karya.
Dengan penduduk yang besar serta profil tenaga kerja yang ada, Indonesia membutuhkan investasi baru yang padat karya. Sayangnya, rata-rata penyerapan tenaga kerja dari investasi baru dari pemodal dalam negeri maupun asing terus turun lima tahun terakhir.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B Sukamdani, di Jakarta, Jumat (5/7/2019) menyebutkan, pada tahun 2013, ketika investasi yang masuk mencapai Rp 398,3 triliun, rata-rata tenaga kerja yang terserap mencapai 4.594 orang per Rp 1 triliun investasi.
Akan tetapi, pada tahun 2018, rata-rata penyerapan tenaga kerja turun jadi 1.331 orang per Rp 1 triliun investasi. Tahun lalu, jumlah investasi yang tertanam di Indonesia mencapai Rp 721,3 triliun. Artinya, investasi yang masuk cenderung beralih ke padat modal.
Apindo menilai perbaikan iklim ketenagakerjaan serta peningkatan mutu tenaga kerja perlu menjadi prioritas pemerintah. Sebab, pemerintah berkepentingan membuka lapangan kerja baru untuk mengatasi pengangguran sekaligus menggerakkan roda perekonomian lebih cepat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari 136,18 juta angkatan kerja per Februari 2019, hampir separuh masih lulusan SD, sementara lulusan perguruan tinggi hanya 13 persen. Ditilik dari lapangan pekerjaan, sebanyak 38,11 juta orang atau sekitar 29,46 persen bekerja di bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Ketenagakerjaan
Faktor regulasi dinilai menjadi salah satu penghambat masuknya investasi padat karya. Oleh karena itu, saat bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Juni 2019, para pengusaha menyampaikan usulan agar pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain sudah banyak ketentuan yang kurang relevan dengan perkembangan zaman, revisi dinilai perlu untuk membentuk ekosistem ketenagakerjaan yang lebih baik. Revisi dimaksudkan untuk mendorong investasi. (Kompas, 25/6/2019).
Selain sudah banyak ketentuan yang kurang relevan dengan perkembangan zaman, revisi dinilai perlu untuk membentuk ekosistem ketenagakerjaan yang lebih baik.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira berpendapat, turunnya rata-rata penyerapan tenaga kerja dimungkinkan karena pergeseran struktur ekonomi, yakni dari investasi berbasis manufaktur dan pertanian yang bersifat padat karya ke sektor jasa.
“Sektor jasa itu lebih ke padat teknologi dengan modal yang lebih besar sehingga tidak membutuhkan tenaga kerja sebanyak sektor-sektor produktif lain,” kata Bhima.
Menurut Bhima, investasi yang masuk juga perlu dicermati, apakah merupakan investasi baru atau hanya pengembangan kapasitas produksi. Pengembangan kapasitas produksi melalui barang modal, misalnya dengan teknologi atau mesin baru, biasanya tidak berdampak optimal dalam penyerapan tenaga kerja.
Di sisi lain, investasi di sektor manufaktur Indonesia melempem atau kalah saing dibandingkan kompetitor lain di kawasan, seperti Vietnam, Bangladesh, dan Srilanka. Faktornya antara lain inefisiensi dalam hal logistik atau produktivitas tenaga kerja.
Menurut Bhima, evaluasi total 16 paket kebijakan ekonomi dibutuhkan untuk mendukung investasi padat karya. Insentif-insentif di paket kebijakan dinilai masih terlalu umum.
Terkait perang dagang AS-China, Indonesia perlu menjemput bola untuk menarik relokasi investasi bercorak padat karya. Insentif yang ditawarkan untuk menarik investor yang akan relokasi tidak harus seragam melainkan disesuaikan karakteristik tiap perusahaan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia, Firman Bakri berpendapat, pemerintah perlu memasifkan penyiapan tenaga kerja berkompeten, terutama di industri padat karya. (CAS)