PUISI
Mashuri
Sowan
akhirnya sampai juga aku di tepi danaumu. mencicipi
bening tirta, mencoba menjadi pengail dekil yang tak
berharap dapat menangkap ikan-ikan purwarupa, kerna
miskin teknik, umpan, dan doa. tapi memandang air
danaumu nan tenang adalah pesta sesungguhnya. biarlah
langgam ulam itu tetap berenang dan beterbangan di sana,
menghiasi kedung dan angkasanya, agar netra dan nasab
pengetahuan ini – pencarian ini – masih bersandar pada
ritus murni, tidak berlarat dalam corat-coret luka di dinding zaman – retak berkah, kelabu, mengambang – seperti
bangkai mina yang kini marak membusuk di jalanan.
Jampes, 2019
Takdir Daun
aku hanya selembar daun kering, ning, luruh terbawa angin. bila kini aku merona di pigura yang menempel di dinding dunia, kerna hidupku berarus di degup jantungmu, kerna perkenan tanganmu yang sudi memungutku dari bumi
lusuh. lalu apa yang pantas aku balas kepadamu, selain
cinta dan rindu.
Tulungagung, 2019
Jula-juli Remah Roti
: nota usia
tuku sewek bedah pinggire
tambah tuwek owah pikire
membeli jarit bedah pinggirnya
semakin tua berpikiran gila
aku meringkuk di ceruk mangkokmu – mirip remah roti
sisa-sisa beruk di atas batu – di sebuah kebon binatang
rindu. bila angin bertiup, ia akan jatuh ke kolam dan
menjadi jatah ikan-ikan. bila angin tenang, ia akan
didatangi burung-burung, menjadi pengganjal paruh perut
yang lapar. tapi aku adalah kepunyaanmu.
aku ingin terus bertafakur dalam sunyi di lekukmu nan
terukur dan murni. aku tak peduli pada mata bumi yang
merayakan rotasi – kerna aku punya garis edar sendiri yang
berpusar ke jantungmu. kerna di peluk dan degupmu,
kureguk kehangatan abadi.
tuweke klapa akeh santene
tuweke awak akeh ngawure
kelapa tua banyak santannya
diri yang tua banyak ngawurnya
meski remah roti ini hanya penggembira ikan-ikan dan
burung-burung, tapi adanya karenamu, adalah
kepunyaanmu. ia akan tetap setia meringkuk di
mangkokmu, sambil sesekali menertawakan dunia dan diri
sendiri – yang nisbi...
mangan kupat diduduhi bening santen
menawi lepat dibaleni mbenjing sonten
makan ketupat berkuah santan bening
bila bersalah akan diulangi besok sore
hu ya!
Surabaya, 2019
Aslan Abidin
Abu George Bar Damaskus
mari tuan, aku tuangkan
minuman ke gelasmu. kosongkan dan
aku tuangkan lagi. sampai pagi,
sembari bernyanyi:
“wine dari kebun
anggur nuh di themanon, dari kebun
anggur raja salomo di baal-hamon,
wine mukjizat yesus dari kana.”
malam baru saja mulai. di
damaskus, tuan tak akan dengar lagi
suara kokok ayam. fajar jauh dari tiba
dan kesedihan belum pula dalam kita
benam.
aku dana, tuan. bartender abu
george bar – masih gadis, tetapi aku
suka membanggakan diri seorang saki,
si penuang anggur ke piala para sufi.
angkat gelasmu, tuan.
toast! dengarkan suara dentingan
gelas. bukan dentuman bom. hanya
itu yang terdengar jernih di telinga.
dekatkan ke hidung, hirup aromanya.
manis, agak getir, dan pahit. wangi nira,
tebu, jintan, gandum, anggur, delima.
tidakkah sedikit menggugah
rasa ingin bertahan hidup? apakah
tuan masih dapat membedakannya
dari sergah bau kematian: mesiu serta
gas sarin, tubuh terbakar di udara?
“arak saggi dari iran, wine lebanon,
bir al-shark aleppo, atau bir buatan
madees khoury dari palestina?”
mari, tuan. rasakan
hangatnya. mengalir perlahan
dari ujung lidah ke pembuluh darah.
seperti menghanyutkan rasa perih,
menyamarkan ketakutan akan mati.
walau hanya sejenak.
sebab di atas kepala tuan, di balik
atap, bom dan mortir mungkin menukik
ke tengkuk kita.
setidaknya, meski sejenak.
di sini, tuan dapat terhenyak
membayangkan diri seorang darwis.
masygul mengutip baris-baris
syair dari gibran:
“kasihan, negeri yang meminum
anggur yang tak diperasnya sendiri.”
tuan juga dapat duduk saja
di kursi pojok. minum pelan serta
menggeleng putus asa: mengutuk
assad, putin, trump, dan pemberontak
– dalam hati.
atau menyamar sebagai
pelarian tentara amerika dari
baghdad. depresi, mabuk, dan memaki:
fuck this war! sementara musik dari
dj, hentakkan suara the bee gees:
i’ll live to see another day....
mari tuan, ayo goyangkan badan.
pertanda kita masih hidup.... stayin’
alive, stayin’ alive....
panggil aku dana, tuan. bartender di
abu george bar – masih gadis, tetapi
suka membanggakan diri seorang saki,
si penuang anggur ke piala para sufi.
aku menemanimu, berusaha
melupakan pedih dari perang saudara
ini. kita di tengah damaskus, tuan, kota
tua yang sedang dihancurkan.
Makassar, 2018
Mashuri lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Buku puisinya antara lain Pengantin Lumpur (2005) dan Dangdut Makrifat (2018). Ia bekerja sebagai peneliti sastra di Balai Bahasa Jawa Timur.
Aslan Abidin lahir di Soppeng, Sulawesi Selatan, dan kini tinggal di Makassar. Buku kumpulan puisinya bertajuk Orkestra Pemakaman (2018).