Sudah genap enam bulan sejak Sutar datang pertama kali di kota itu bersama dengan Mbak Tarni. Barni, anak perempuan Mas Bardi dan Mbak Tarni sudah bisa berjalan tertatih-tatih. Setiap kali Sutar pulang dari memulung, anak itu sudah bisa menyambut dengan bertanya,“Lik Utar udah pulang, bawa apa?” Sutar selalu berusaha membawakan sesuatu, entah sepotong kue yang ia beli di warung, beberapa biji permen, kadang juga mainan yang ia dapat di tempat sampah, tapi sudah ia cuci bersih. Sutar menyayangi keponakannya seperti Mbak Tarni menyayangi dirinya.
Dari cerita Aki yang sepotong-sepotong, ia mulai merasa kenal siapa Aki itu. Waktu masih muda, sebelum menikah, Aki dibawa seorang tetangganya yang menjadi guru di kota itu. Aki yang mempunyai ijazah Sekolah Rakyat diterima sebagai tenaga kebersihan di sekolah tempat tetangganya itu mengajar. Aki menikah dengan seorang penjual gorengan yang berjualan di depan sekolah. Mereka tidak dikaruniai anak, tetapi hidup rukun sampai istri Aki meninggal. Waktu itu Aki masih berhak atas rumah kecil orangtuanya di desa. Tapi adik laki-lakinya telah membeli bagian Aki. Aki lalu membeli sepetak rumah di gang itu, yang ia tempati sampai sekarang.
Sementara itu Mas Bardi sudah beralih pekerjaan. Bukan lagi menjadi tukang ojek yang mencari penumpang. Mas Bardi dengan sepeda motornya berjualan sayur dan bumbu-bumbu dapur ke kampung-kampung. Rupanya pekerjaan baru itu lebih menjanjikan.
“Jadi tukang ojek sekarang semakin banyak saingan Tar. Sekarang sudah ada caktor, becak bermotor. Ada grab yang bisa dipanggil dengan hape, angkot pun sepertinya semakin banyak. Semakin sulit mendapatkan penumpang. Yang paling kasihan sepertinya becak tanpa motor. Bisa dapat penumpang tiga kali dalam sehari mungkin sudah untung.” Begitu cerita Mas Bardi kepada Sutar. Suatu sore dengan berseri-seri Mas Bardi berkata kepada Sutar.
“Tar, pembantu di Warung Makan Mang Atang sudah berhenti. Kamu bisa bekerja di situ sekarang.” Dengan agak kaget dan gugup Sutar menjawab.
“Ah, tidak usah Mas. Biar saya bantu-bantu Mas Bardi saja.” Bardi juga agak heran mengapa Sutar tidak bersemangat menerima kabar baik itu. Menjadi pembantu di Warung Makan Mang Atang, itulah dulu yang diharapkan. Selang setengah tahun kemudian, kesempatan itu datang. Tapi rupanya Sutar sudah punya rencana lain. Selama ini Sutar memang mulai bantu-bantu Mas Bardi. Mas Bardi punya keterampilan jual sayur dan bumbu-bumbu karena sesudah lulus SMP dulu dia bekerja pada Bu Suminah tengkulak sayur dan bumbu-bumbu. Dia diajak ke kota membeli kentang, buncis, wortel, kubis, dan macam-macam bumbu. Dia angkut semua belanjaan itu ke beberapa becak langganan. Mereka pulang naik kereta api. Dari kereta api disambung naik kereta kuda ke desa. Esok hari Bu Suminah akan memasok dagangan itu kepada mereka yang telah memesan, para penjual sayur dan bumbu di pasar desa. Maka Mas Bardi tahu betul mana sayur dan bumbu yang berkualitas dan mana yang jelek. Sebagai penjual sayur dan bumbu keliling Mas Bardi lalu sering mendapat pesanan dari ibu-ibu yang mulai percaya bahwa Mas Bardi akan membelikan sayur dan bumbu yang cukup baik. Sutar membantu Mas Bardi tidak setiap hari, hanya kalau banyak pesanan saja. Selebihnya ia masih tetap ikut Aki memulung.
“Tawaran bekerja di warung Mang Atang sudah tidak saya sanggupi Ki,” begitu kata Sutar kepada Aki ketika siang itu ia beristirahat di rumah Aki sepulang memulung.
“Waktu pertama kali datang dulu seperti pintu masih tertutup untukmu Tar. Sekarang ada beberapa pilihan. Bekerja di warung, belajar menjadi penjual sayur, atau tetap memulung sambil sekolah paket C. Orang miskin seperti kita ini memang harus cepat dewasa. Seperti kamu harus cepat mencari rezeki sendiri. Sekarang juga kamu harus memilih sendiri. Kalau kamu anak orang kaya, seumuran kamu ini pasti masih dicukupi segalanya oleh orang tuamu.” Seperti biasa Aki mengakhiri kata-katanya sambil terkekeh.
Di rumah Mbak Tarni, lama Sutar menimbang-nimbang. Membantu di warung sudah ia putuskan bahwa itu tidak dia pilih. Mungkin juga Mang Atang sudah mendapatkan pembantu baru lagi. Membantu Mas Bardi sepertinya masa depannya sudah kelihatan, ya menjadi penjual sayur. Tapi Sutar ingin lebih dari itu. Tetap menjadi pemulung dan sekolah paket C, sepertinya lebih menarik, karena belum kelihatan bagaimana kelanjutannya. Sedangkan Sutar juga tahu bahwa lulusan SMA juga tidak mudah mendapat pekerjaan.
Waktu itu Aki dan Sutar lewat di depan Pos Satpam, tempat setumpuk kayu limbah ada di belakangnya. Hanya kayu itu sudah tidak ada. Kata Aki mungkin sudah dijual.
“Ki, lama tidak kelihatan. Koran bekas sudah menumpuk lho!” Seorang ibu yang keluar dari pintu gerbang menyapa Aki. Sutar mengenali perempuan itu yang dulu membagikan nasi kotak di Pos Satpam.
“Iya Bu, besok saya ambil. Sekarang kan Ibu mau belanja rupanya.”
“Itu siapa Ki?”
“Cucu saya Bu.”
“Tidak sekolah?”
“Sudah lulus SMP tapi tidak ada biaya untuk melanjutkan.”
“Wah, lebih baik ikut paket C saja.” Itulah awal mulanya ada pilihan ikut paket C untuk Sutar.
Sutar sudah yakin pada pilihannya. Tetap memulung bersama Aki dan mengikuti kursus Paket C. Sutar juga masih ingat perkataan bapak gurunya di SMP dulu. Melanjutkan sekolah bukan selalu berarti supaya bisa jadi pegawai kantoran. Melanjutkan sekolah supaya bisa berpikir lebih baik. Sutar ingin supaya bisa berpikir lebih baik, lalu juga bisa hidup dengan lebih baik. Setidaknya Sutar ingin memiliki kehidupan yang lebih dari orang tuanya. Bapak yang buruh bekerja di ladang orang, dan Simbok yang menawarkan jasa mencuci pakaian tetangga.
Sutar semakin senang dan hormat kepada Aki. Orang tua itu menjadi guru menghadapi kehidupan baginya. Aki menyemangati Sutar untuk membaca koran-koran lama, atau majalah-majalah lama yang kadang bertumpuk di rumah Aki karena belum dijual lagi. Kalau ada yang Sutar minta karena masih akan dibaca, dengan rela Aki memberikannya. Sutar mulai mengenal orang-orang yang sukses mencari rezeki bahkan hanya dengan lulus SD. Membuka Warung Tegal, atau sering disebut warteg. Tapi Sutar merasa bahwa ia tidak memiliki kemampuan seperti itu. Sutar juga ingin sukses tapi mungkin dengan cara lain sesuai dengan apa yang dia bisa.
Kembali Sutar mendorong gerobak Aki. Kadang-kadang bersama dengan Aki kadang-kadang juga sendirian. Ia mulai mengenal agak banyak sesama pemulung. Ada yang menggunakan gerobak seperti dirinya. Ada yang jalan kaki dengan menenteng karung, bersepeda onthel, malahan ada yang menggunakan sepeda motor. Ada seorang yang menggunakan gerobak, memakai kacamata hitam, ikat kepala batik, lalu suka bermain hape. Sutar kadang mencuri pandang, itu bukan hape murahan. Idola Sutar tetaplah Aki. Sutar tetap memulung setiap hari. Ia bertekad mengumpulkan uang untuk mendapat selembar ijazah paket C yang setara dengan SMA.
Sambil memilah-milah sampah di rumah Aki, Sutar masih terus menimbang-nimbang. Memang pilihannya sudah mantap, tetapi ia tahu pasti bahwa Simbok tak akan pernah menyetujui pilihan itu. Simbok tak akan rela anaknya yang sudah lulus SMP yang dibiayai dengan cucuran keringat mencuci baju tetangga, akhirnya hanya menjadi pemulung. Bahwa Sutar akan mempunyai ijazah setara SMA, itu pasti tak akan masuk perhitungannya. Sutar sudah kangen sama Simbok. Ia ingin pulang kampung menjenguk Simbok. Untuk itu ia sudah punya uang. Bahkan uang saku yang diberikan Simbok waktu mau berangkat ke kota juga masih ada. Ia ingin bercerita kepada Simbok tentang Aki. Orang tua yang baik hati itu. Yang punya pensiun sebagai tenaga kebersihan sekolah, tapi masih mau menjadi pemulung. Dengan tertawa Aki bilang bahwa sebagai pemulung ia ikut berjasa bagi kebersihan kota.
Tapi Sutar sendiri juga ingat, bagaimana dengan dirinya sendiri? Bagaimana nanti bercerita kepada teman-temannya di SMP dulu, yang sekarang sudah melanjutkan sekolah ke SMA atau ke SMK? Apa yang akan ia banggakan? Mengatakan bahwa di kota ia menjadi pemulung? Tak akan pernah. Ternyata Sutar sendiri juga malu, meskipun sebagai pemulung dia bisa mendapat uang. Mungkin lebih banyak dari yang didapat Simbok dari mencuci pakaian. Lebih banyak dari yang didapat Bapak dari membersihkan kebun tetangga. Tak ada yang bisa menjadi jalan lain bagi Sutar ijazah setara SMA harus didapat dulu. Baru ia berani pulang menjumpai Bapak dan Simbok. Sementara itu pikirannya sudah melayang lagi. Sesudah mendapat ijazah SMA, selanjutnya lalu apa?
Maria Antonia SFS, seorang biarawati lahir di Klaten, 14 Februari 1948, tinggal di Sukabumi.