Setelah melewati sejumlah kekecewaan, Brasil dan Peru membidik akhir sempurna di final Copa America 2019 di Maracana, Senin dini hari WIB. Kedua tim punya kapasitas setara untuk menjadi yang terbaik di Amerika Selatan.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
RIO DE JANEIRO, SABTU - Warga Brasil meyakini, Stadion Maracana di Rio De Janeiro memiliki kekuatan magis. Stadion itu dianggap sebagai kuil sepak bola negeri Samba. Bahkan, ada anggapan seorang pemain belum pantas memakai seragam tim nasional Brasil jika belum bermain di stadion itu.
Perhatian publik sepak bola, khususnya Amerika Selatan, akan tertuju di Maracana akhir pekan ini. Di stadion yang pernah menjadi saksi kehebatan legenda dunia seperti Pele, Romario, dan Ronaldo, itu akan digelar final Copa America 2019 antara tuan rumah Brasil lawan Peru, Senin (8/7/2019) pukul 03.00 WIB. Sekitar 80.000 penonton, terutama suporter Brasil, akan memenuhi stadion.
Rakyat Brasil kembali diliputi gairah dan harapan tinggi setelah serangkaian kekecewaan menyusul kegagalan bertubi-tubi Selecao di turnamen besar. Piala Dunia Brasil 2014 adalah yang paling menyakitkan, Selecao dipermalukan Jerman 1-7 pada semifinal di Belo Horizonte. Brasil pun gagal tampil di Maracana.
Final ini pun menjadi kesempatan Selecao menebus kegagalan itu. Brasil kini kian matang dan mawas diri. Meskipun tidak diperkuat Neymar, megabintangnya yang cedera, Brasil tetap menjadi tim terproduktif di Copa America 2019 dengan mencetak sepuluh gol. Mereka juga sempurna dalam bertahan, tidak kebobolan pada lima laga, termasuk saat menghadapi rival abadinya, Argentina, di semifinal.
Meningkatnya kinerja pertahanan tim tidak terlepas dari perubahan cara berpikir Pelatih Tite usai disingkirkan Belgia pada perempat final Piala Dunia Rusia 2018. Filosofi jogo bonito alias sepak bola menyerang nan indah tidak lagi cukup membawa Brasil juara.
Tim yang sempurna adalah yang efesien dalam menyerang, namun kuat bertahan. Untuk itu, Tite menghadirkan taktik yang lebih defensif ketimbang Brasil pada Piala Dunia Rusia. Posisi pertahanan sayap Brasil diisi pemain yang lebih defensif dan berpengalaman seperti Dani Alves dan Filipe Luis. Tidak cukup dengan satu gelandang jangkar, Tite melapisi pertahanannya dengan gelandang bertahan ekstra yang biasa diisi oleh Arthur dan Casemiro.
Mereka pun bermain lebih kompak. Pengatur serangan Philippe Coutinho tidak jarang mundur dan menekan pemain lawan saat mereka kehilangan bola. Barisan bek mereka juga lebih solid karena tiga dari empat bek di tim inti Selecao yaitu Alves, Thiago Silva, dan Marquinhos, bermain klub yang sama, Paris Saint-Germain.
Evolusi Selecao itu bertujuan menambal kelemahan terbesar mereka, yaitu serangan balik lawan. Pola permainan semacam itu kebetulan diterapkan banyak tim di Copa America 2019, salah satunya Peru. Pada pertemuan kedua tim di penyisihan grup, Tite sukses mengeksekusi taktik barunya dan tidak memberikan ruang sedikit pun bagi Peru untuk menyerang balik. Peru pun digasak tanpa ampun 5-0.
Berkaca dari pengalaman itu, Brasil jauh lebih difavoritkan di final ini, apalagi mereka akan didukung puluhan ribu suporter yang kembali mendukung tim itu usai menyingkirkan Argentina. Mereka pun dijagokan sejarah. Brasil selalu menjadi juara Copa America saat menjadi tuan rumah pada 1919, 1922, 1949, dan 1989.
”Menutup turnamen ini tanpa kebobolan adalah salah satu target kami, selain juara). Jika berhasil, itu bukan semata-mata jasa pemain belakang, melainkan seluruh pemain. Itu menciptakan perbedaan,” ujar Casemiro.
Bukan tim yang sama
Namun, Peru pantang disepelekan. Mereka bukan lagi tim yang sama seperti saat digilas Brasil 0-5. Sejak kekalahan itu, para pemain Peru juga merubahan paradigma dalam bermain. Saat latihan mereka tidak lagi fokus ke masalah fisik dan memperhatikan aspek mental. Para pemain pun menjadi lebih dekat dan komunikatif.
Berkat perubahan itu, mereka menyingkirkan dua unggulan, Uruguay dan Chile pada perempat final dan semifinal. Peru kini jauh lebih percaya diri, apalagi mereka juga punya rekor positif. ”Los Incas” adalah satu-satunya tim yang selalu menang di final Copa America, yaitu pada 1939 dan 1975. Mereka akan habis-habisan pada laga dini hari nanti untuk balas dendam ke Brasil. Tim yang paling sedikit membuat kesalahan akan menjadi pemenang.
”Kami tinggal selangkah menuju kejayaan. Kami harus tetap rendah hati, mawas diri, dan berjuang keras untuk mewujudkan itu,” ujar Raul Ruidiaz, penyerang Peru. (AFP)