Meski setiap aksi teror selalu membawa kerugian dan trauma yang mendalam bagi para korban, baik Dwi maupun Wartini telah berdamai dengan diri sendiri dan kejadian yang menimpanya. Mereka pun telah memaafkan para pelaku teror tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·5 menit baca
Kurnia Widodo (44) menceritakan dengan getir setiap momentum tatkala dirinya mulai terpapar paham ekstrem hingga akhirnya menyadari kesalahannya dan memutuskan menjadi agen perdamaian. Bagi Kurnia, sesuatu yang didapatkan dari ekstremisme tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami korban aksi teror.
Kurnia merupakan mantan narapidana terorisme yang dihadirkan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dalam pelatihan peliputan isu terorisme di Jakarta, Rabu (3/7/2019). Kurnia ditangkap tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri Agustus 2010 terkait jaringan terorisme dan rencana penyerangan di Markas Korps Brigade Mobil hingga Kedutaan Besar Denmark di Jakarta.
Kurnia menceritakan, ekstremisme dan radikalisme telah masuk ke dalam pikirannya sejak dia masih duduk di bangku SMA tahun 1991. Saat itu, Kurnia, yang memiliki nama lain Bobby alias Ujang alias Abu Zalfa, ini telah bergabung dan bersumpah setia atau berbaiat kepada kelompok Negara Islam Indonesia (NII).
Pemahaman dan jaringan Kurnia terhadap ekstremisme semakin menguat saat dia lulus SMA tahun 1992 dan melanjutkan pendidikan ke jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB). Semasa kuliah inilah, Kurnia mulai belajar merakit bom dengan panduan buku.
Setelah lulus kuliah, dia tetap merakit bom dan mengajarkan ke rekan-rekannya dalam satu kelompok radikal. Selain itu, dia juga mulai mengenal dan menjalin hubungan dengan tokoh teroris Indonesia, seperti pendiri Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir dan pempinan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Aman Abdurrahman.
Puncak aksi teror Kurnia terjadi pada 2010 saat dia berencana menyerang Mako Brimob dan Kedubes Denmark setelah mengikuti pelatihan militer di Aceh yang diadakan tokoh Jamaah Islamiyah, Dulmatin. Namun, sebelum dia berhasil melakukan rencananya, Tim Densus 88 Teror Polri menangkapnya terlebih dahulu. Kurnia lalu divonis enam tahun penjara dan bebas bersyarat pada 2014.
Menyesal
Dijebloskan ke balik jeruji besi membuat pemahaman ekstrem Kurnia memudar. Ketika di penjara, dia banyak bertemu dan berdialog dengan tokoh-tokoh yang memiliki pandangan berbeda dengan kelompok ekstrem. Setelah bebas pun dia tetap berkomunikasi dengan para tokoh moderat dan bertemu korban terorisme yang membuat rasa empati dan penyesalannya muncul.
“Pertama kali saya bertemu dengan korban bom Marriot yang menderita luka bakar di atas 60 persen dalam sebuah seminar dan membuat saya sedih. Padahal, dulu para terorisme merasa bangga karena serangan bom yang dilakukan dianggap telah memenuhi aspirasi kami. Setelah melihat korban, saya langsung meminta maaf dan benar-benar menganggap perbuatan kami ini salah,” ungkapnya.
Penyesalan selama melakukan aksi terorisme kemudian coba ditebus Kurnia dengan bergabung dengan lembaga yang fokus pada isu-isu perdamaian seperti AIDA. Dia juga menjadi inspirator di beberapa media lokal di berbagai daerah untuk mengampanyekan bahaya ekstremisme dan radikalisme. Sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Kurnia memutuskan berbisnis dan menjadi pengajar les privat untuk anak sekolah.
Selain kesaksian dari mantan pelaku teror, AIDA juga menghadirkan tiga korban aksi teror dalam pelatihan selama dua hari tersebut. Mereka adalah korban serangan bom Kampung Melayu 2017, bom Thamrin 2016, dan bom Kedutaan Besar Australia atau bom Kuningan 2004.
Nasib korban dan keluarga
Ledakan bom di gerai kopi Starbucks di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Januari 2016, memang membuat trauma yang begitu besar bagi salah satu korban, Dwi S Rhomdoni (36). Saat kejadian yang menewaskan 8 orang termasuk pelaku ini, Dwi sedang berada di lokasi untuk rapat.
Dwi saat itu berada 2 meter dari pelaku bom bunuh diri terpental saat ledakan terjadi hingga terkena serpihan kaca. Dwi pun harus menjalani serangkaian pengobatan untuk menyembuhkan patah tulang dan luka-lukanya selama satu tahun lebih akibat kejadian itu.
Selain Dwi, kesedihan yang mendalam akibat aksi terorisme juga dialami Wartini, istri salah satu korban jiwa dalam tragedi bom Kedubes Australia 2004. Suami Wartini adalah petugas keamanan Kedubes Australia dan meninggal setelah dua tahun menjalani pengobatan atau tepatnya pada 2006. Kehilangan suami membuat Wartini harus berjuang menghidupi dan membiayai pendidikan tiga anaknya seorang diri.
Meski setiap aksi teror selalu membawa kerugian dan trauma yang mendalam bagi para korban, baik Dwi maupun Wartini telah berdamai dengan diri sendiri dan kejadian yang menimpanya. Mereka pun telah memaafkan para pelaku teror tersebut. Sebab, bagi mereka, dendam hanya akan melahirkan kebencian baru dan tidak pernah mewujudkan perdamaian khususnya di Indonesia.
Belum terpenuhi
Direktur AIDA Hasibullah Satrawi mengungkapkan, saat ini masih terdapat catatan bagi pemerintah terkait pemenuhan hak-hak korban terorisme. Sebab, kata Hasibullah, meski sudah ada kepedulian dari pemerintah, belum semua korban terorisme mendapatkan hak-haknya.
Selain itu, Hasibullah juga menyebut bahwa korban baru mendapatkan kompensasi setelah adanya putusan pengadilan. Padahal, korban seharusnya telah mendapatkan kompensasi sejak mengalami luka ataupun kerugian akibat serangan terorisme.
Hasibullah pun mendorong agar lembaga pemerintah terkait terkait untuk terus memaksimalkan upaya memenuhi hak korban terorisme sesuai dengan peraturan yang berlaku. Salah satu yang perlu didorong yaitu penerbitan peraturan pemerintah (PP) dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme sebagai aturan turunan untuk memberikan kompensasi kepada korban terorisme lama.
“Kalau semua kompensasi diberikan setelah putusan pengadilan, bagaimana dengan korban bom-bom lama yang mungkin sudah tidak ada lagi pengadilannya, seperti bom Bali dan Kuningan. Prinsipnya, pemberian kompensasi kepada para korban terorisme harus didasarkan atas asas keadilan dan kesetaraan,” ujarnya.