Perambahan hasil hutan masih rawan terjadi di wilayah Papua hingga pertengahan tahun ini. Organisasi World Wide Fund for Nature menemukan puluhan titik adanya tumpukan kayu dari hasil hutan di tiga kabupaten, yakni Jayapura, Keerom dan Nabire yang diduga tidak berizin.
Oleh
FABIO COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS - Perambahan hasil hutan masih rawan terjadi di wilayah Papua hingga pertengahan tahun ini. Organisasi World Wide Fund for Nature menemukan puluhan titik adanya tumpukan kayu dari hasil hutan di tiga kabupaten, yakni Jayapura, Keerom dan Nabire yang diduga tidak berizin.
Demikian hasil monitoring yang disampaikan Manajer Landcape Utara Papua World Wide Fund (WWF) for Nature Indonesia Program Papua, Piter Roki Aloisius di Jayapura, Minggu (7/7/2019).
Piter memaparkan, WWF melaksanakan pengawasan adanya dugaan perambahan di Kabupaten Jayapura dan Keerom pada tanggal 25 hingga 26 Juni 2019.
Hasilnya WWF menemukan 15 titik berikut tumpukan puluhan kayu jenis merbau, matoa dan linggua yang dijual di pinggiran jalan umum di daerah Keerom.
Ketiga jenis kayu ini menjadi primadona karena tergolong jenis kayu indah dan banyak digunakan sebagai bahan baku industri meubel
Hasil temuan tim WWF di Kabupaten Jayapura, terdapat sebanyak tujuh titik adanya tumpukan kayu jenis merbau, matoa dan linggua.
Tim WWF melaksanakan monitoring di Nabire pada tanggal 28 hingga 29 Juli 2019. Hasilnya ditemukan ada dua titik lokasi penumpukan kayu jenis merbau, matoa dan linggua.
"Ketiga jenis kayu ini menjadi primadona karena tergolong jenis kayu indah dan banyak digunakan sebagai bahan baku industri meubel," papar Piter.
Ia menuturkan, tim WWF hanya menemukan adanya aktivitas pengangkutan kayu dengan menggunokan sebuah truk di daerah Nabire pada siang hari.
"Dari hasil monitoring, kami belum berhasil menemukan adanya pengangkutan milik warga yang berada di Keerom dan Kabupaten Jayapura," tuturnya.
Piter berkesimpulan dari hasil temuan timnya berarti upaya perlindungan sumber daya alam yang saat ini digalakkan pemerintah pusat dan Pemprov Papua belum optimal.
Ia berpendapat, terdapat sejumlah faktor masih maraknya perambahan hutan, antara lain pengawasan di lapangan yang belum maksimal dan belum adanya regulasi dari pemerintah pusat yang mengatur masyarakat setempat agar terlibat dalam kegiatan pengolahan hasil hutan kayu berbasis konservasi lingkungan.
"Saat ini masyarakat yang tergabung 13 kelompok pengelolaan hutan di enam kabupaten dalam posisi tidak beraktivitas. Sebab, Kementerian Lingkungan dan Kehutanan belum mengeluarkan Norma Standar Prosedur dan Kriteria terkait pengelolaan hutan di Papua," kata Piter.
Dapat laporan
Koordinator Tim Sumber Daya Alam Direktorat Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dian Patria saat dihubungi mengakui, pihaknya terus mendapat laporan masih marak terjadi aksi perambahan hutan di sejumlah wilayah Papua seperti Keerom, Jayapura dan Sarmi. Masih ada aksi pengangkutan kayu di sejumlah lokasi.
Diketahui Papua termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi lokasi pelaksanaan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam yang diinisiasi KPK sejak tahun 2018.
Kami meminta agar semua pihak berkomitmen melaksanakan program penyelamatan sumber daya alam di Papua terutama dari pihak aparat penegakan hukum
Dari data yang dihimpun KPK, adanya investasi yang masif di kawasan hutan Papua dengan pemberian 47 ijin perhutanan kayu dengan total luasan 6,1 juta hektar dan pelepasan lahan hutan umumnya untuk perkebunan sawit hingga 7,3 juta hektar sejak tahun 2014.
"Kami meminta agar semua pihak berkomitmen melaksanakan program penyelamatan sumber daya alam di Papua terutama dari pihak aparat penegakan hukum," tuturnya.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Papua, Komisaris Besar Polisi Putu Putera Sadana mengatakan, pihak berkomitmen untuk melaksanakan program Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam dengan optimal.
Adapun sepanjang semester I tahun 2019, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Papua telah menangani sebanyak 10 kasus pembalakan hutan secara ilegal.