Sentimen kondisi politik dalam negeri tidak lagi menghambat pergerakan pasar modal. Investor saat ini tengah memindai dampak bauran stimulus fiskal dan moneter pemerintah terhadap stabilitas ekonomi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bauran kebijakan moneter dan fiskal yang dilakukan pemerintah menumbuhkan optimisme investor terhadap perbaikan ekonomi makro Indonesia. Optimisme ini membuat iklim investasi di pasar portofolio dalam negeri semakin baik.
Executive Vice President Intermediary Business PT Schroders Investment Management Indonesia Bonny Iriawan mengatakan, sentimen kondisi politik dalam negeri tidak lagi menghambat pergerakan pasar modal. Investor saat ini tengah memindai dampak bauran stimulus fiskal dan moneter pemerintah terhadap stabilitas ekonomi.
”Stimulus kebijakan, baik moneter maupun fiskal, berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tahun ini diproyeksikan berada 5 persen hingga 5,4 persen,” ujarnya di Jakarta, Senin (8/7/2019).
Meski bulan lalu Bank Indonesia tidak memangkas level suku bunga acuan sebesar 6 persen, bank sentral tetap menurunkan giro wajib minimum (GWM) untuk menambah likuiditas perbankan. Harapannya, pelonggaran likuiditas bisa berdampak pada pertumbuhan pembiayaan sehingga memacu pertumbuhan konsumsi.
Berdasarkan data yang dihimpun Schroders Indonesia, dalam sepuluh tahun terakhir, pengeluaran konsumsi rumah tangga masih mendominasi porsi pembentukan struktur produk domestik bruto (PDB) Indonesia, 55 persen hingga 58 persen.
Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia pada triwulan I-2019 tumbuh 5,07 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Dari struktur PDB, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga mendominasi 56,82 persen atas PDB Indonesia, disusul komponen pembentukan modal tetap bruto (32,17 persen) dan komponen ekspor barang jasa (18,48 persen).
”Bahkan, rendahnya pengaruh ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia membuat ekonomi dalam negeri cukup imun terhadap dampak perang dagang antara China dan Amerika Serikat,” ujar Bonny.
Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko mengatakan, Survei Konsumen BI pada Juni 2019 mengindikasikan optimisme konsumen tetap terjaga yang tecermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Juni 2019 yang berada pada level optimis, yaitu sebesar 126,4.
”Tetap terjaganya optimisme konsumen ditopang oleh menguatnya persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini,” katanya.
Terjaganya optimisme konsumen, kata Onny, terindikasi dari kenaikan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang didorong oleh kenaikan semua komponen pembentuk indeks, yaitu kondisi penghasilan saat ini, ketersediaan lapangan kerja, dan pembelian barang tahan lama.
Stimulus fiskal
Selain stimulus moneter, investor juga merespons baik stimulus fiskal berupa penurunan pajak obligasi infrastruktur. Bonny memproyeksikan akan banyak perusahaan infrastruktur mengeluarkan obligasi dan bisnis akan berkembang.
Kementerian Keuangan juga tengah menyiapkan stimulus fiskal lain berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan mengarah ke 20 persen. Saat ini tarif PPh Badan adalah 25 persen untuk perusahaan dengan omzet di atas Rp 50 miliar per tahun.
”Dengan begitu, laba perusahaan terbuka setelah pajak akan naik. Kinerja perusahaan yang baik diharapkan membuat harga saham ikut naik yang berimbas pada kenaikan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan),” kata Bonny.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), sejak awal Januari 2019 hingga Senin (8/7), IHSG telah tumbuh 2,54 persen ke level 6.351,82. Penguatan IHSG sejalan juga dengan penguatan nilai tukar rupiah yang berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) sejak awal tahun menguat 318 poin atau 1,44 persen.
Peluang investasi
Meski peluang untuk menangkap aliran modal asing di pasar portofolio terbuka lebar, Bonny mengingatkan agar pemerintah tetap menangkap peluang penanaman modal asing (PMA) langsung yang semakin terbuka akibat perang dagang AS-China.
”Perang dagang membuat banyak perusahaan yang ingin merelokasi pabrik dari China ke kawasan lain seperti Indonesia dan Vietman,” ujar Bonny.
Peningkatan PMA diyakini membuat arus masuk dollar AS ke dalam negeri akan lebih stabil karena denominasi dollar AS yang masuk dapat dimanfaatkan sebagai cadangan devisa. Hal ini tentu berbeda dengan aliran dollar AS yang masuk ke pasar saham yang dapat mengalir keluar (capital outflow) seketika.