Dari Negara Mana Asal Limbah Plastik Indonesia?
Empat tahun terakhir, impor limbah plastik oleh Indonesia terus meningkat. Jika pada 2015 impor limbah plastik tercatat sebesar 97.000 ton, jumlahnya meningkat menjadi 321.000 ton pada 2018. AS jadi pengirim utama limbah plastik ke Indonesia.
Empat tahun terakhir, impor limbah plastik oleh Indonesia terus meningkat. Jika pada 2015 impor limbah plastik tercatat sebesar 97.000 ton, jumlahnya meningkat menjadi 321.000ton pada 2018. Amerika Serikat menjadi pengirim utama limbah plastik ke Indonesia.
Berdasarkan analisis data impor limbah plastik periode 2008-2018 dari United Nations Commodity Trade Statistics Database, asal pengirim limbah plastik ke Indonesia tersebar dari Asia, Eropa, Amerika, hingga Kepulauan Pasifik.
Sepuluh negara pengirim limbah plastik ke Indonesia adalah Amerika Serikat, Republik Kepulauan Marshall, Meksiko, Australia, Venezuela, Singapura, Jerman, Belanda, Selandia Baru, dan Korea Selatan. Sebagian besar negara pengekspor ini rutin mengirim limbah plastik ke Indonesia, kecuali Republik Kepulauan Marshall.
Amerika Serikat menjadi negara pengirim limbah plastik terbanyak ke Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, 353.930 ton limbah plastik dikirim ke Indonesia. Sejak 2008, setiap tahun negara ini rutin menjadi salah satu negara pengirim limbah plastik terbanyak.
Peringkat kedua negara pengirim limbah plastik terbanyak ke Indonesia adalah Republik Kepulauan Marshall. Tercatat negara ini mengirim limbah plastik ke Indonesia sejak tahun 2016.
Dalam kurun tiga tahun, jumlah limbah plastik yang dikirim mencapai 193.660 ton, melampaui Meksiko (118.030 ton), Australia (102.240 ton), dan Venezuela (76.610 ton). Padahal, negara-negara lain sudah lebih awal mengawali pengiriman limbah plastik ke Indonesia.
Masuknya limbah plastik dari Kepulauan Marshall ini karena adanya kebijakan larangan impor, produksi, dan penggunaan kantong belanja plastik sekali pakai, gelas styrofoam, dan kemasan pada Maret 2017. Kebijakan ini diterapkan karena meningkatnya aliran sampah plastik dari Samudra Pasifik ke negara di Kepulauan Pasifik.
Pembatasan
Indonesia termasuk negara yang aktif dalam perdagangan limbah plastik internasional. Impor limbah plastik dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan bahan baku industri plastik. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, industri plastik masih kekurangan bahan baku 600.000 ton, yang dipenuhi dari impor. Sayangnya, sisi lain dari aktivitas ekonomi, hal ini berpengaruh buruk bagi lingkungan hidup.
Risiko tersebut semakin menjadi-jadi di tengah kabar pembatasan impor limbah di China. Perdagangan limbah plastik dunia tiba-tiba menjadi kacau. Rute perdagangan berubah, yang mayoritas awalnya ke China seketika berbelok ke negara-negara berkembang, khususnya Asia Tenggara. Indonesia berisiko menjadi salah satu negara tujuan penampung limbah plastik utama.
China menjadi pemain utama perdagangan materi daur ulang internasional. Dalam dunia perdagangan limbah plastik, pada 2016, China mengimpor dua pertiga material limbah plastik dari seluruh dunia atau sebanyak 7,4 juta ton. Pada saat itu, China mampu mengimpor limbah plastik sebanyak 600.000 ton per bulan.
Baca juga: Malaysia Kembalikan Sampah Plastik
Namun, pada awal 2018, China membatasi ketat impor limbah plastik dalam kebijakan National Sword. Kebijakan itu sudah diumumkan sejak 18 Juli 2017 kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bahwa China tidak akan lagi menerima jenis limbah padat tertentu. Dimulai pada 1 Maret 2018, China hanya akan menerima bahan-bahan tertentu dengan tingkat kontaminasi maksimal 0,5 persen.
Akibatnya, jumlah impor limbah plastik China turun drastis, dari 600.000 ton per bulan pada 2016 menjadi 30.000 ton pada awal tahun 2018. Negara importir limbah plastik terdampak akibat kebijakan ini. Negara-negara ini menerima limbah plastik lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya.
Organisasi Greenpeace mencatat, India, Malaysia, Taiwan, Thailand, Vietnam, Indonesia, Korea Selatan, dan Turki mengalami peningkatan impor limbah plastik pascakebijakan pembatasan impor limbah di China. Namun, setelah itu, India, Malaysia, Taiwan, Thailand, dan Vietnam membatasi impor scrap plastik.
Sementara sampai saat ini Indonesia masih mengkaji ulang peraturan impor limbah. Padahal, berdasarkan data UN Comtrade, setiap tahun jumlah sampah plastik hasil impor di Indonesia terus meningkat. Perdagangan limbah plastik ini, jika tidak diimbangi dengan pengelolaan limbah plastik yang baik, dapat menyebabkan kualitas lingkungan terganggu.
Aturan
Publikasi Transboundary Movement of Hazardous Waste in Indonesia (2002) mencatat bahwa praktik impor limbah plastik sudah dilakukan sejak 1991. Dalam periode 1991-1992, Amerika Serikat mengirim 17.500 ton plastik bekas ke Jakarta dan Surabaya.
Tercatat AS telah mengirim limbah plastik sebanyak 50 kali dalam waktu dua bulan. Dalam paket plastik bekas tersebut turut tercampur barang-barang bekas nonplastik, seperti koran, potongan pakaian, dan logam.
Saat itu, pemerintah hanya mengatur impor limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Adapun impor plastik serta kertas dan aki belum diatur. Bea impor sampah plastik juga sangat kecil, mendekati nol.
Kegiatan ekspor dan impor limbah plastik Indonesia terus berkembang. Dari data UN Comtrade tercatat bahwa pada tahun 2000-2018 Indonesia telah mengimpor 1,2 juta ton limbah plastik. Indonesia juga mengekspor limbah plastik sebanyak 1,9 juta ton dalam periode tersebut.
UN Comtrade mencatat, pada tahun 2000, Indonesia mengimpor 2.900 ton limbah plastik dan mengekspor 13.700 ton limbah plastik. Satu dekade berikutnya, jumlah impor dan ekspor limbah plastik meningkat menjadi 39.900 ton dan 116.400 ton.
Namun, pada tahun 2018, impor limbah plastik melesat, berkebalikan dengan ekspor limbah plastik yang merosot. Impor meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2017, yaitu dari 129.000 ton menjadi 321 ton. Adapun ekspor limbah plastik turun dari 194.000 ton menjadi 99.000 ton.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Sejak China mulai menghentikan impor limbah plastik, ekspor limbah plastik menurun. Tahun 2016, total ekspor limbah plastik dari 21 negara pengekspor terbesar mencapai 12,5 juta ton. Namun pada 2018, total ekspor hanya mencapai 5.800 ton.
Amerika Serikat menjadi negara pengirim limbah plastik terbanyak ke Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, 353.930 ton limbah plastik dikirim ke Indonesia.
Negara-negara pengekspor harus mencari negara tujuan ekspor lainnya yang dapat menampung limbah plastik yang tidak terserap di China. Salah satu negara tujuannya adalah Indonesia. Terbukti, pada 2018, impor limbah plastik Indonesia menjadi yang tertinggi dalam 18 tahun terakhir.
Selain kebutuhan bahan baku industri plastik, alasan lain meningkatnya impor plastik Indonesia adalah kurang kuatnya peraturan impor limbah di Indonesia yang dimanfaatkan negara pengekspor.
Meski regulasi di Indonesia melarang impor sampah plastik, impor ”sampah plastik” berupa scrap masih diizinkan. Scrap merupakan material plastik yang telah dicacah dan siap didaur ulang dengan proses penyiapan minim dan tanpa residu. Celah regulasi ini memungkinkan negara lain dapat dengan mudah mengirim limbah plastiknya ke Indonesia.
Dampak
Berbagai organisasi lingkungan hidup telah bergerak mendorong pemerintah untuk memperketat aturan tentang impor limbah. Hal ini karena ada dampak negatif yang berisiko mengganggu lingkungan hidup di Indonesia.
Pertama, timbunan limbah plastik yang tidak terpakai akan menambah beban lingkungan hidup di Indonesia. Sudah sejak awal perdagangan limbah plastik, sisa-sisa limbah plastik yang tidak layak hanya tinggal sebagai timbunan sampah. Sebanyak 40 persen dari limbah plastik impor yang dapat didaur ulang, sedangkan sisanya tetap menjadi sampah.
Kedua, pengolahan limbah plastik yang tidak sesuai menyebabkan dampak pada kesehatan manusia. Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecoton dalam paparan ”Banjir Plastik Brantas” menyebutkan bahwa ada 293-2.499 partikel mikroplastik per liter di Kali Brantas. Mikroplastik tersebut berasal dari industri pengolahan kertas daur ulang impor yang bercampur sampah plastik (Kompas, 28 Maret 2019).
Meski belum ada penelitian langsung dampak mikroplastik pada manusia, beberapa argumen menyebutkan, mikroplastik atau fragmen plastik berukuran kurang dari 5 milimeter bisa menimbulkan infeksi pada saluran pencernaan. Selain itu, plastik yang mengikat kontaminan di alam akan berbahaya jika terpapar organ dalam sehingga memengaruhi hormon dan metabolisme tubuh.
Demi mengusung pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah diharapkan segera mengeluarkan kebijakan yang mengatur tentang impor limbah plastik di Indonesia. Peraturan tersebut menjadi acuan bagi semua penyelenggara pemerintah agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan yang dikeluarkan. (LITBANG KOMPAS)