KPU juga masih menghitung kebutuhan anggaran dan mencermati bagian apa saja yang bisa dibiayai pemerintah. Karena dilaksanakan di kecamatan, pembiayaan e-rekap menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik atau e-rekap dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020 membutuhkan persiapan matang terkait sistem teknologi informasi dan kompetensi sumber daya manusia. Hal tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab penyelenggara tetapi juga pemerintah daerah.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mewacanakan penggunaan sistem elektronik untuk merekapitulasi penghitungan suara atau e-rekap pada Pilkada 2020. Gagasan tersebut dipertanyakan sejumlah pihak karena dianggap tidak memiliki payung hukum yang jelas sehingga cenderung rentan menghadapi gugatan.
Namun, kekhawatiran itu dibantah KPU, DPR, dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/7/2019). Rapat membahas Peraturan KPU (PKPU) tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota dipimpin Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat Herman Khairon dan diikuti, antara lain, Ketua KPU Arief Budiman,Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan, dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.
Dalam rapat, ketiga pihak tersebut sepakat bahwa e-rekap tidak membutuhkan dasar hukum tambahan. “E-rekap bahkan e-voting sudah diatur dalam Pasal 85, 98, dan 111 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang,” kata Ketua KPU Arief Budiman.
Dia menambahkan, ketiga pasal tersebut menjamin konstitusionalitas e-rekap pada Pilkada. “Pasal-pasal itu memberikan dua opsi, baik voting maupun rekap bisa menggunakan cara manual atau pun memanfaatkan teknologi informasi,” ujar Arief.
Arief mengungkapkan, penjelasan lebih detail mengenai e-rekap akan diatur dalam peraturan KPU (PKPU). Berdasarkan pembahasan sementara, rekapitulasi elektronik akan diterapkan di tingkat kecamatan. Sementara itu, di level tempat pemungutan suara (TPS), penghitungan suara dilakukan secara manual.
KPU juga masih menghitung kebutuhan anggaran dan mencermati bagian apa saja yang bisa dibiayai pemerintah. Karena dilaksanakan di kecamatan, pembiayaan e-rekap menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
“Oleh karena itu, e-rekap sangat bergantung pada pemerintah daerah, karena membutuhkan peralatan dan pelatihan sumber daya manusia,” kata Arief.
DPR menyambut baik gagasan penggunaan e-rekap. Akan tetapi, menurut Herman, dibutuhkan sejumlah simulasi untuk memastikan sistem tersebut bisa diterapkan, hasilnya pun dipercaya masyarakat.
“Kami akan membahasnya secara lebih dalam pada pertemuan berikutnya. Kami berkomitmen, sebelum masa jabatan kami berakhir, PKPU Pilkada 2020 sudah tuntas dibahas,” kata Herman.
Berkait hal ini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, kesiapan teknis dalam penggunaan e-rekap harus dijamin dengan uji coba secara berulang. Uji coba secara bertahap juga perlu dilakukan karena belum semua daerah memiliki infrastruktur dan sumber daya yang memadai untuk menggunakan sistem tersebut.
“Masih sangat tergesa-gesa jika e-rekap diberlakukan pada seluruh wilayah Pilkada, yaitu 270 daerah,” kata dia.
Masa kampanye dipangkas
PKPU yang diajukan ke DPR juga telah memuat tahapan dan jadwal Pilkada 2020. Pilkada 2020 dilaksanakan di 270 daerah, yang terdiri dari sembilan provinsi, yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Selain itu, Pilkada juga diselenggarakan di 224 kabupaten dan 37 kota.
Dalam rapat tersebut, untuk sementara DPR menyepakati jadwal pemungutan suara, yaitu 23 September 2020. Akan tetapi, waktu dan durasi kampanye calon kepala daerah dan wakilnya yang berlangsung selama 81 hari masih diperdebatkan.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Dadang S Muchtar mengatakan, semakin lama masa kampanye, biaya politik yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah akan semakin besar. Sebab, sepanjang masa itu, dukungan datang bertubi-tubi dan calon kepala daerah harus menyediakan imbalan terhadap dukungan tersebut.
Selain itu, kata Herman, berdasarkan pengalaman Pilkada dan Pemilu sebelumnya, masa kampanye yang panjang juga berpotensi memperpanjang konflik di tengah masyarakat. “Berdasarkan perhitungan tadi, kami mengajukan setidaknya masa kampanye diperpendek menjadi 60 hari saja,” kata dia.
Disusutkan
Arief menjelaskan, masa kampanye berlangsung selama 81, yaitu pada 1 Juli 2020—19 September 2020. Durasi tersebut sudah disusutkan dari masa kampanye Pilkada 2018 yaitu 93 hari. Semula, KPU merancang agar masa kampanye berlangsung selama 73 hari, namun hal tersebut berisiko mengganggu tahapan-tahapan lainnya.
“Ada ketentuan di dalam undang-undang yang membuat kami tidak leluasa mengatur jadwal tersebut, karena menyangkut penyediaan logistik, sosialisasi kepada penyelenggara, peserta, dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pilkada,” ujar dia.
Titi mengatakan, masa kampanye selama 81 hari sudah cukup memadai baik bagi peserta maupun penyelenggara Pilkada. Menurut dia, pemangkasan masa kampanye justru bisa menjadi celah untuk mengakali akuntabilitas biaya kampanye. Pengeluaran yang digunakan untuk pemenangan calon kepala daerah disamarkan menjadi pengeluaran yang digunakan di luar masa kampanye.