Industri Hilir Akan Dibatasi untuk Jaga Cadangan Minerba
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyetujui perlunya pembatasan penyerapan mineral dan batubara oleh industri hilir untuk menjaga cadangan bahan baku hingga puluhan tahun mendatang.
Oleh
Erika Kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyetujui perlunya pembatasan penyerapan mineral dan batubara oleh industri hilir untuk menjaga cadangan bahan baku hingga puluhan tahun mendatang. Hal tersebut menjadi salah satu evaluasi untuk merumuskan peta jalan bersama kebijakan hilirisasi sumber daya mineral dan batubara.
”Kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian untuk tahu apa yang dibutuhkan. Terhadap sumber daya mineral dan batubara yang cadangannya terbatas, kami akan batasi investasi untuk industri hilirnya,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Aryono dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR di Gedung Nusantara I, Jakarta, Senin (8/7/2019).
Pernyataan itu disampaikan untuk menanggapi pesan dari anggota Komisi VII DPR, Mercy Chriesty. ”Jangan sampai ke depan kita impor lagi karena enggak ada cadangan bahan bakunya dalam 30 tahun ke depan,” ujarnya pada kesempatan yang sama.
Dalam rapat tersebut, Direktur Utama PT Inalum (Persero) Budi Gunadi Sadikin melaporkan, dalam lima tahun ke depan, anak usahanya, PT Bukit Asam Tbk (Persero), akan menyerap 24 juta ton dari total 25 juta ton batubara yang dapat diproduksi setahun.
Sebanyak 11 juta ton akan digunakan untuk pembangkit listrik dan 13 juta ton untuk pabrik gas sintetis (syngas), metanol, dan DME. Kebutuhan itu harus terpenuhi setidaknya untuk 30 tahun ke depan.
Sementara itu, bahan baku nikel diprediksi kurang untuk mencukupi kebutuhan pabrik stainless steel atau pabrik baterai yang direncanakan akan dibangun di Indonesia di masa mendatang. Berdasarkan perhitungan Inalum, kegiatan industri tersebut membutuhkan 5-15 juta ton nikel per tahun. Padahal, selama ini, Indonesia hanya mampu mengekspor 3 juta ton nikel per tahun.
”Kami juga sedang hati-hati menghitung ini agar pabrik yang akan dibangun tetap bisa dapat bahan baku,” kata Budi.
Untuk membantu memecahkan masalah tersebut, rapat tersebut menyepakati perlu adanya peta jalan kebijakan hilirisasi sumber daya mineral dan batubara (minerba). Kebijakan itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Subsidi
Percepatan hilirisasi minerba dilakukan dengan membangun industri hilir, seperti pabrik peleburan dan pemurnian mineral (smelter). Namun, aksi itu masih perlu mendapat dukungan lebih dari pemerintah, khususnya dalam bentuk subsidi.
Budi menyebutkan, negara lain memiliki industri hilir yang kuat karena mendapat alokasi subsidi untuk pengembangan riset dan teknologi dari pemerintahnya. Pemerintah Indonesia pun bisa melakukan hal yang sama, antara lain untuk mendukung penggunaan pembangkit listrik yang murah dan ramah lingkungan.
”Hilirisasi minerba membutuhkan sumber energi yang besar. Sementara itu, kita bisa memanfaatkan air yang melimpah untuk membangun PLTA (pembangkit listrik tenaga air) sebagai pembangkit listrik paling murah dan ramah lingkungan. Tapi, kami butuh dukungan pemerintah agar industri hilir minerba dapat bersaing secara global,” tutur Budi.
Harapan itu didasarkan pada kebutuhan energi yang besar. Industri aluminium, misalnya, membutuhkan listrik sebesar 14.000 kWh per ton, smelter tembaga membutuhkan 10.000 kWh per ton, dan nikel membutuhkan 4.000-5.000 kWh per ton.
Keberlangsungan hilirisasi minerba, menurut Budi, juga memerlukan insentif fiskal dari pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah bisa memangkas besaran royalti atas penjualan barang tambang mentah yang dijual ke dalam negeri untuk industri hilir.