Keberadaan oposisi tetap diperlukan untuk menghasilkan keseimbangan politik lewat mekanisme check and balance. Oposisi yang berperan memberikan kritik konstruktif diyakini bisa membuat pemerintahan lebih baik.
Oleh
Yohan Wahyu/Litbang Kompas
·4 menit baca
Keberadaan oposisi tetap diperlukan untuk menghasilkan keseimbangan politik lewat mekanisme check and balance. Oposisi yang berperan memberikan kritik konstruktif diyakini bisa membuat pemerintahan lebih baik.
Perlunya kekuatan oposisi ini terangkum dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu. Sebanyak 74,9 persen responden mengakui, kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan tetap harus ada sebagai alat kontrol terhadap jalannya kekuasaan. Mengapa oposisi ini tetap harus ada? Separuh lebih responden beralasan, demokrasi butuh check and balance. Pemerintah perlu diawasi dan dikritisi.
Jajak pendapat menangkap, fungsi pengawasan dan kontrol yang diperankan kekuatan oposisi ini lebih diarahkan pada hal konstruktif. Ada kecenderungan publik berharap antara pemerintah dan parlemen yang di dalamnya ada kekuatan oposisi tak melahirkan relasi berhadap- hadapan. Oposisi yang diinginkan ialah yang mengawal kebijakan pemerintah agar tetap berada di rel yang benar. Jika pemerintah salah, diingatkan. Sebaliknya, jika pemerintah benar, harus didukung. Publik lebih menerima model oposisi yang melakukan kritik konstruktif. Bukan model kekuatan politik yang sekadar menyalahkan, apalagi mencari-cari kesalahan.
Keseimbangan pemerintah dan legislatif dengan kekuatan kontrolnya yang konstruktif diyakini sebagian besar responden (77,8 persen) membuat pemerintahan menjadi lebih baik. Keseimbangan ini akan terwujud jika lembaga legislatif mampu efektif memainkan peran kontrolnya ke pemerintah.
Lima tahun terakhir ini, publik menilai fungsi kontrol masih belum efektif dijalankan kekuatan politik di luar pemerintahan. Pengalaman lima tahun terakhir merekam bagaimana kekuatan politik yang sebelumnya berseberangan ketika kontestasi pemilihan presiden akhirnya menjadi satu kubu saat pemilu selesai. Lima tahun silam Partai Amanat Nasional yang sebelumnya mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di pemilihan presiden akhirnya bergabung mendukung pemerintahan terpilih, Joko Widodo- Jusuf Kalla. Hal yang sama terjadi di Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan. Dualisme kepemimpinan yang terjadi di kedua partai ini melahirkan perubahan arah dukungan politik, yang sebelumnya di luar pemerintahan berubah haluan menjadi mendukung pemerintah.
Arah dukungan
Perubahan arah dukungan seperti seusai Pemilu 2014 boleh jadi terulang lagi setelah Pemilu 2019. Potensi ini terlihat setelah Komisi Pemilihan Umum menetapkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024. Lima partai pengusung Jokowi-Amin berhasil melampaui ambang batas parlemen, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nasdem, dan PPP.
Kelima parpol ini mendapatkan total 349 kursi atau 60,7 persen dari jumlah kursi DPR. Selain kelima partai ini, pasangan terpilih juga didukung Partai Solidaritas Indonesia, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Bulan Bintang, dan Partai Hanura. Partai itu tidak mendapatkan kursi DPR karena gagal lewati ambang batas parlemen.
Di sisi lain, Koalisi Indonesia Adil Makmur yang mengusung pasangan Prabowo Subianto- Sandiaga Uno yang terdiri dari Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat, PAN, dan Partai Berkarya sudah menyatakan bubar dan menyerahkan langkah politik selanjutnya ke setiap partai politik. Jika koalisi ini utuh sampai di parlemen, dari empat partai yang meraih kursi di DPR, kecuali Partai Berkarya karena gagal lolos ambang batas parlemen, kekuatannya 226 kursi atau 39,3 persen dari total kursi DPR. Namun, potensi perubahan arah politik tetap terbuka.
Jajak pendapat Kompas menangkap, dari keempat parpol yang sebelumnya ada di koalisi ini, PAN dinilai sebagai salah satu partai yang kurang efektif menjalankan fungsi oposisi. Boleh jadi penilaian ini tak lepas dari langkah bergabungnya PAN di awal-awal pemerintahan Jokowi-Kalla, tetapi kemudian keluar dari pemerintahan jelang Pemilu 2019.
Hal yang kurang lebih sama terjadi pada Partai Demokrat. Partai ini jadi satu-satunya yang tak tergabung dalam dua koalisi besar di parlemen di awal pemerintahan Jokowi-Kalla. Dengan memilih sebagai kekuatan penyeimbang—bukan oposisi— Demokrat memilih jalan politik di luar pemerintahan. Pertemuan sejumlah elite PAN dan Demokrat dengan Jokowi seusai Pemilu 2019 bisa dianggap menjadi sinyal potensi perubahan arah kedua partai. Sementara itu, Partai Gerindra dan PKS sejauh ini lebih diyakini memilih oposisi.
Jalan oposisi
Pilihan menjadi oposisi lebih menonjol ditunjukkan Gerindra dan PKS. Selain dalam lima tahun terakhir kedua partai ini ada di jalur kekuatan penyeimbang di luar pemerintah, responden jajak pendapat menilai kedua partai itu lebih efektif di luar pemerintahan untuk lima tahun ke depan. Setidaknya, sikap ini juga ditunjukkan responden pemilih kedua partai ini. Sebanyak 60 persen responden pemilih Gerindra, misalnya, lebih menghendaki partainya mengambil jalan oposisi. Hal yang kurang lebih sama juga terekam di kelompok responden pemilih PKS. Sebanyak 51,6 persen berharap partai pilihannya tetap di luar pemerintahan.
Kelompok responden pemilih Demokrat di jajak pendapat ini lebih cenderung menginginkan jalan oposisi. Separuh responden kelompok ini menginginkan Demokrat tak berada dalam pemerintahan. Sebaliknya, responden pemilih PAN lebih terbelah. Sebanyak 44,4 persen dari mereka lebih memilih di luar pemerintahan, sedangkan 48,1 persen setuju PAN masuk pemerintahan.
Pilihan menjadi oposisi ataupun masuk pemerintahan jadi otoritas partai untuk menentukan. Namun, publik berharap kekuatan penyeimbang tetap ada. Harapan ini terutama ditujukan ke parpol yang di pemilihan presiden lalu mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga. Tentu yang diharapkan adalah oposisi yang bertujuan membangun keseimbangan politik demi kepentingan publik.