Perekonomian Triwulan II-2019 Berpotensi Lebih Rendah dari 2018
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2019 berpotensi lebih rendah dibandingkan periode sama di 2018 yang sebesar 5,27 persen. Sumber pertumbuhan ekonomi tetap ditopang konsumsi rumah tangga dan investasi bangunan. Adapun kinerja ekspor masih terhambat dinamika perang dagang Amerika Serikat (AS)-China.
“Kecenderungan pertumbuhan ekonomi triwulan II-2019 melandai, yang artinya hampir sama dengan triwulan I-2019. Kurang lebih berkisar 5,07-5,1 persen,” kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo seusai rapat bersama Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Senin (8/7/2019).
Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2019 sebesar 5,07 persen. Dalam Undang-Undang (UU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, pertumbuhan ekonomi tahun 2019 ditargetkan mencapai 5,3 persen.
Perry mengatakan, sumber pertumbuhan ekonomi triwulan II-2019 ditopang konsumsi rumah tangga dan investasi bangunan. Konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh lebih dari 5,1 persen yang dipengaruhi faktor musiman, yaitu pengeluaran untuk Lebaran dan Pemilu 2019. Sedangkan, pertumbuhan investasi triwulan II-2019 bersumber dari pembangunan proyek infrastruktur.
Meski demikian, lanjut Perry, dampak perang dagang AS-China terhadap kinerja ekspor semakin nyata pada triwulan II-2019. Ekspor sektor manufaktur dan sejumlah komoditas ke AS menurun, kecuali batu bara dan minyak sawit. Penurunan kinerja ekspor akan dibarengi penurunan impor karena permintaan berkurang.
“Tipikal di Indonesia, kalau ekspor turun itu memang impor ikut menurun,” kata Perry.
Menurut Perry, pertumbuhan ekonomi AS ada kecenderungan menurun sehingga permintaan barang-barang ekspor ke hampir semua negara berkurang. Vietnam bisa memanfaatkan peluang itu dengan memenuhi ekspor barang yang dulu dipasok AS dari China. Indonesia akan mengikuti strategi serupa melalui kerja sama dagang bilateral.
Indonesia berpotensi meningkatkan ekspor garmen, furnitur, elektronik, dan alas kaki ke AS. Sebagai timbal baliknya, Indonesia akan mengimpor sejumlah barang yang biasanya dibeli dari negara lain menjadi ke AS, seperti kedelai dan kapas. Indonesia juga akan mengirimkan lebih banyak misi dagang ke AS untuk meningkatkan ekspor.
“Strateginya kalau dengan AS harus secara bilateral karena lebih efektif ketimbang perdagangan multilateral atau regional,” kata Perry.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, perekonomian RI pada triwulan II-2019 diproyeksikan tumbuh berkisar 5,02-5,13 persen. Angka itu dibawah capaian pertumbuhan ekonomi triwulan II-2018 yang sebesar 5,27 persen. Proyeksi lebih rendah karena ada sentimen negatif dari luar dan dalam negeri.
Konsumsi dan investasi
Dihubungi terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan, selama ini sumber pertumbuhan ekonomi ditopang sekitar 50 persen konsumsi rumah tangga dan 30 persen investasi. Oleh karena itu, kuncinya, pemerintah dan BI mesti mendorong permintaan dalam negeri.
Menurut Piter, kebijakan BI menurunkan giro wajib minimum (GWM) perbankan sebesar 50 basis poin akan meningkatkan penyaluran kredit konsumsi dan investasi karena likuiditas perbankan lebih longgar. Meski demikian, pelonggaran GWM mesti didukung kebijakan fiskal yang ekspansif, seperti penurunan pajak dan pemberian insentif.
“Belanja masyarakat yang lebih ekspansif akan mendorong perekonomian tumbuh lebih baik,” kata Piter.
Dia memperkirakan, perekonomian triwulan II-2019 tumbuh tipis dibandingkan triwulan I-2019. Selain konsumsi dan investasi, pertumbuhan ekonomi turut dipengaruhi stabilitas kurs rupiah. Arus modal asing terus masuk ke dalam negeri karena investor melihat Indonesia masih menarik.
Bank Dunia, dalam laporan perkembangan triwulanan perekonomian Indonesia, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,1 persen tahun 2019 dan 5,2 persen tahun 2020. Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 dari sebelumnya 5,2 persen.
Bank Dunia merekomendasikan lima fokus kebijakan untuk Indonesia, yakni dengan mengatasi kesenjangan modal manusia, memperbaiki kesenjangan infrastruktur antardaerah, mendatangkan modal dari investasi langsung, mengumpulkan lebih banyak pajak dan belanja efisien, serta mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan (Kompas, 2/7/2019)
Menurut Kepala Perwakilan Bank Dunia Indonesia Rodrigo A Chaves, berbagai capaian positif selama lima tahun terakhir belum mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi. Perbaikan indikator-indikator sosial ekonomi justru harus dibarengi peningkatan produktivitas nasional. Tujuannya agar perekonomian bisa tumbuh lebih tinggi dan rakyat lebih sejahtera.