Petani Gunung Mas Didorong Jadi Paralegal di Desanya
Para petani dari lima desa dan satu dusun di Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalbar, mengikuti pelatihan paralegal agar sadar hukum. Banyaknya konflik tanah dan konflik sosial yang muncul menjadi alasan utama mereka mengikuti pelatihan tersebut termasuk potensi konflik setelah ada wacana pemindahan ibukota ke Kalbar.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKA RAYA, KOMPAS – Para petani dari lima desa dan satu dusun di Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah mengikuti pelatihan paralegal. Langkah itu dilakukan agar petani mempunyai kemampuan memecahkan konflik agraria dan sosial yang terjadi di desanya sebelum berhadapan dengan hukum. Mereka diharapkan bisa membela diri saat berhadapan dengan hukum.
Banyaknya konflik tanah dan konflik sosial yang muncul menjadi alasan utama mereka mengikuti pelatihan tersebut. Selain itu, pelatihan juga untuk menguatkan masyarakat akan konflik lahan yang berpotensi terjadi setelah adanya wacana pemindahan ibukota ke Kalimantan Tengah.
"Dengan pelatihan menjadi paralegal, kepekaan hukum masyarakat dibuka. Masyarakat juga diharapkan bisa membela dirinya saat berhadapan dengan hukum," kata Direktur Borneo Institut (BIT), penyelenggara pelatihan, Yaned Jagau di sela pelatihan, Senin (8/7/2019).
Apalagi Presiden Joko Widodo awal Mei lalu telah berkunjung ke Gunung Mas untuk meninjau calon lokasi ibu kota negara.
“Jokowi sudah datang ke sana (Kecamatan Manuhing Raya), setelah itu harga tanah naik, spekulan mulai muncul, pasti akan diikuti oleh konflik. Apalagi sebelumya, konflik lahan memang sudah ada,” lanjut Jagau.
Pelatihan berlangsung sejak Minggu, (7/7/2019) hingga Selasa, (9/7/2019). BIT mendatangkan fasilitator dari Yayasan Penabulu, yakni George Corputty dan Agung Wijaya.
Pelatihan diikuti 70 peserta yang sebagian besar adalah petani, sisanya adalah aparatur desa dan guru. Mereka berasal dari Desa Mantuhei, Luwuk Tukau, Tumbang Samui, Tumbang Oroi, dan Dusun Ulek Luang, Kelurahan Tehang, Kecamatan Manuhing Raya.
Jagau menambahkan, saat ini sebagian besar wilayah kelola masyarakat berada di kawasan hutan. Hal itu menyebabkan rentannya alih fungsi lahan dari hutan ke konsesi perkebunan.
Agung Wijaya mengatakan dengan menjadi paralegal, masyarakat tidak hanya diajarkan mendokumentasikan kasus tetapi juga diharapkan menjadi bagian dari solusi. Tak hanya konflik lahan, bahkan perselisihan antartetangga pun bisa diselesaikan tanpa perlu berhadapan dengan aparat keamanan.
“Manjadi paralegal merupakan satu dari berbagai upaya menyediakan akses ke keadilan. Paralegal menjadi penopang utama sebelum ke pengadilan,” kata Agung.
Paralegal, lanjut Agung, juga diharapkan tidak hanya mampu mendokumentasikan kasus, tetapi juga harus mampu membuat analisis sosial. Dalam konteks konflik lahan, paralegal bisa mendorong masyarakat untuk membuat sejarah kebun dan wilayah kelolanya sendiri.
Paralegal tidak hanya mendokumentasikan kasus, tetapi juga harus mampu membuat analisis sosial. Dalam konteks konflik lahan, paralegal bisa mendorong masyarakat untuk membuat sejarah kebun dan wilayah kelolanya sendiri (Agung Wijaya)
Dalam pelatihan itu, peserta mendapat pemahaman mengenai hak dan kewajiban sebagai warga negara, hingga hak dalam hukum pidana saat warga menjadi tersangka maupun terdakwa.
Pelatihan menggunakan metode role-play atau simulasi contoh konflik yang selama ini dihadapi di desa mereka. Sebagian besar peserta mengeluhkan persoalan tumpang tindih lahan.
Alas U Ihai (44), salah satu peserta yang juga merupakan mantir adat, mengungkapkan, pelatihan itu menjadi hal baru bagi mereka. Menurutnya, selama ini ketika ada polisi datang dan bertanya masyarakat langsung ketakutan.
“Apalagi bilang jadi saksi, bisa keringat dingin. Saat ini kami tahu bahwa ternyata tidak begitu saja bisa langsung jadi tersangka,” kata Alas.
Alas mengungkapkan, kadang dalam melakukan penolakan terhadap eksploitasi lahan, dirinya atau warga lainnya kerap mendapatkan intimidasi atau sekedar ditakut-takuti. Hal itu membuat banyak lahan hilang begitu saja tanpa ganti rugi.
“Penolakan menjadi sia-sia. Masalah lahan ini memang masih jadi yang paling banyak terjadi,” kata Alas.
Sebelumnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan konflik lahan di Kalteng selama dua tahun sejak 2017-2018 mencapai 344 kasus di lahan seluas 151.524 hektar. Kasus-kasus itu hingga kini belum menemukan jalan keluar.