Sore baru saja datang saat Chauw Wen (80) duduk di bangku kayu lawas di depan bengkelnya di Jalan Sukajadi, Pasteur, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (8/7/2019). Di sampingnya terletak harian Kompas edisi 8 Juli 2019.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·2 menit baca
Sore baru saja datang saat Chauw Wen (80) duduk di bangku kayu lawas di depan bengkelnya di Jalan Sukajadi, Pasteur, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (8/7/2019). Di sampingnya terletak harian Kompas edisi 8 Juli 2019. Dia membaca harian itu sejak 1968 dan ingin terus melakukannya hingga akhir hayat.
Saat itu, Wen sebenarnya bersiap pulang. Ia hanya tinggal menunggu pekerjanya menutup pintu bengkel. Ketika Kompas mendekatinya, ia memicingkan mata dan mengernyitkan dahinya. Di usia senja, matanya mulai tak awas. Namun, setelah semakin dekat, dia langsung tersenyum sambil menjabatkan tangannya.
”Datang lagi? Kok, sore? Saya sudah mau pulang,” ujarnya. Dua pekan sebelumnya, Kompas sempat menemuinya di tempat yang sama.
Saat itu, Wen diwawancarai terkait kesetiaannya membaca harian Kompas. Hasil liputan itu terbit dalam artikel berjudul ”Kisah Mereka yang Tetap Setia” di harian Kompas edisi 28 Juni 2019. Tanggal itu bertepatan dengan ulang tahun ke-54 harian Kompas.
Wen pertama kali membaca Kompas pada 1968. Ketika itu, dia sedang berjalan kaki di depan penjual koran di salah satu persimpangan Jalan Sukajadi, Bandung. Sejak saat itu, dia nyaris tak pernah alpa membaca Kompas.
”Membaca Kompas sudah menjadi kewajiban setiap pagi. Seperti ada yang kurang kalau tidak membacanya,” ujarnya.
Wen paling tertarik dengan berita politik, internasional, dan peristiwa dari penjuru Nusantara. Menurut dia, berita politik selalu menarik karena kerap ramai diperbincangkan.
Tak jarang konstelasinya melahirkan perdebatan dan gesekan, baik di tingkat elite maupun pendukungnya. ”Pemberitaan Kompas tidak memperkeruh suasana, justru meneduhkan. Ini yang saya suka,” ucapnya.
Menurut Wen, akses informasi saat ini berkembang sangat pesat. Dahulu, sumber informasi masih didominasi pemberitaan di koran dan radio. Namun, saat ini sumbernya bertambah melalui berbagai platform, seperti televisi, media daring, dan media sosial.
Membaca Kompas sudah menjadi kewajiban setiap pagi. Seperti ada yang kurang kalau tidak membacanya.
Akan tetapi, Wen mengatakan tidak pernah bosan membaca koran. Selain karena kurang akrab dengan dunia internet, kebiasaan membaca koran selama 50 tahun sudah menjadi kegiatan rutin yang tak gampang ditinggalkan.
Wen berharap harian Kompas tetap setia mewartakan berita-berita yang meneduhkan. Tetap menjaga independensi dan tidak tergoda untuk berpolitik praktis.
Sore itu, Kompas khusus datang memberikan piagam tanda kesetiaan Wen membaca harian ini selama 51 tahun. Dia agak terkejut. Sebelumnya, Wen memang pernah mendapat suvenir dari harian Kompas, seperti kaus dan topi. Namun, dia tidak menyangka akan diberi piagam yang ditandatangani oleh pendiri sekaligus Pemimpin Umum Harian Kompas, Jakob Oetama. Sosok Jakob Oetama menjadi salah satu yang ia kagumi.
”Terima kasih banyak. Saya ingin baca Kompas selamanya. Sampai akhir hayat,” ujarnya.