Energi Gerus Daya Saing
JAKARTA, KOMPAS
Biaya energi, terutama harga gas dan tarif listrik, yang tidak kompetitif menggerus daya saing beberapa sektor industri nasional. Pelaku industri berharap paket kebijakan ekonomi menyangkut harga energi yang sudah dikeluarkan pemerintah, direalisasikan.
Mengutip laman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pemerintah meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi III pada 7 Oktober 2015. Paket kebijakan itu menyebutkan antara lain penurunan harga gas bagi industri.
"Asaki sangat mengharapkan realisasi janji Pemerintah melalui paket ekonomi III yang telah dituangkan di dalam Perpres Nomor 40 Tahun 2016, yakni harga gas untuk industri keramik 6 dollar AS per MMBTU," kata Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto saat dimintai tanggapan soal realisasi Paket Kebijakan Ekonomi di Jakarta, Senin (8/7/2019).
Edy menuturkan, saat ini harga gas untuk industri keramik di Jawa bagian barat sebesar 9,16 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Adapun di Jawa bagian timur 7,98 dollar AS per MMBTU dan di Sumatera berkisar 9,3 dollar AS-10 dollar AS per MMBTU.
Ia membandingkan, harga gas di negara tetangga seperti Malaysia sebesar 7,85 dollar AS-8 dollar AS per MMBTU dan Thailand 8,8 dollar AS per MMBTU.
Menurut Edy industri keramik bisa bertahan melawan gempuran impor keramik dari China, India, dan Vietnam serta siap menggenjot pasar ekspor jika harga gas kompetitif sesuai Perpres 40/2016.
Menurut Edy, Asaki sudah beberapa kali menyampaikan kepada pemerintah, melalui Kementerian Perindustrian maupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), jika perhitungan harga gas 6 dollar AS per MMBTU sulit direalisasikan, maka Asaki mengusulkan sebesar 7 dollar AS per MMBTU.
Harga gas untuk industri keramik, tambah Edy, berperan penting dalam memengaruhi daya saing. Sebab, porsi harga gas terhadap total biaya produksi sekitar 30-35 persen.
Kenaikan harga gas yang sangat tinggi, sekitar 55 persen, pada 2013 mengakibatkan daya saing industri keramik Indonesia anjlok. Ekspor industri keramik nasional yang sebelumnya di atas 20 persen dari total produksi, saat ini diperkirakan tinggal 5-7 persen.
"Indonesia pernah tercatat sebagai negara produsen keramik nomor 5 terbesar dunia pada 2014, yang saat ini merosot ke nomor 9 karena kehilangan daya saing," ujar Edy.
Listrik
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat menuturkan, tarif listrik di Indonesia bagi industri pada siang hari sekitar 11,2 sen dollar AS per kWh.
"Dari pukul 18.00 sampai 22.00, sebesar 16 sen dollar AS per kWh. Jam 22.00 sampai 06.00 kembali ke 11,2 sen dollar AS per kWh," ujarnya.
Ade menambahkan, tarif listrik di Vietnam rata-rata sekitar 7 sen dollar AS per kWh. "Tarif di China lebih tinggi dari Indonesia, yakni 12 sen dollar AS per kWh di siang hari. Namun, di malam hari, dari pukul 22.00 sampai 06.00, mereka ada diskon 50 persen, jadi hanya 6 sen dollar AS per kWh," katanya.
Diskon 50 persen di China didasari bahwa pada pukul 22.00-06.00, pemakaian listrik untuk aktivitas konsumen rumah tangga turun karena merupakan jam-jam tidur warga.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Haris Munandar mengatakan, struktur biaya energi berkaitan dengan banyak komponen, di antaranya biaya pokok, biaya transportasi, penerimaan negara bukan pajak, biaya investasi, marjin, dan biaya operasional.
Kementerian Perindustrian, tambah Haris, berkomunikasi dengan sejumlah pihak untuk mengupayakan harga energi yang kompetitif bagi pelaku industri. "Kewenangan terkait hal ini bukan merupakan domain Kemenperin," katanya. (CAS)