Indonesia Incar Posisi Anggota Dewan Organisasi Kemaritiman Internasional
Indonesia mengincar posisi sebagai anggota dewan dalam Organisasi Maritim Internasional (IMO) pada periode 2020-2021. Kementerian Perhubungan berusaha menarik dukungan negara anggota organisasi dalam resepsi diplomatik di Jakarta, Senin (8/7/2019) malam.
Oleh
Aditya Diveranta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mengincar posisi sebagai anggota dewan dalam Organisasi Maritim Internasional (IMO) pada periode 2020-2021. Untuk menyukseskan niatan tersebut, Kementerian Perhubungan berusaha menarik dukungan negara anggota organisasi dalam acara resepsi diplomatik di Jakarta, Senin (8/7/2019) malam.
Dengan acara itu, diharapkan dukungan bagi Indonesia sebagai kandidat anggota dewan kian besar. Sebab, jabatan ini dinilai memberi banyak keuntungan bagi Indonesia yang juga merupakan negara maritim.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menilai, jabatan anggota dewan dalam organisasi maritim dunia itu selaras dengan poin Nawacita, yakni Indonesia sebagai poros maritim di mata dunia. Dengan menjadi anggota dewan di IMO, berarti Indonesia turut berperan penting dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan kemaritiman di tingkat internasional.
”Indonesia telah menjadi anggota IMO sejak 1973 dan konsisten menjabat anggota dewan mulai 1983 hingga saat ini. Pada struktur anggota dewan di 2020 mendatang, sudah semestinya Indonesia bergabung lagi,” ucap Budi seusai acara resepsi diplomatik di Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Senin malam.
Budi Karya menambahkan, posisi anggota dewan IMO juga menguntungkan Indonesia dari segi informasi terbaru terkait teknologi kemaritiman. Menurut dia, sangat disayangkan apabila Indonesia yang merupakan negara maritim justru tidak bergabung menjadi anggota dewan tahun ini.
Pada kesempatan tersebut, Budi Karya meminta dukungan dari negara anggota yang masuk kategori C. Kategori ini merupakan perwakilan dari negara-negara yang mempunyai kepentingan khusus dalam sektor angkutan laut. Beberapa negara tersebut adalah Singapura, Turki, Cyprus, Malta, Maroko, Mesir, Meksiko, Malaysia, Peru, Belgia, Chile, Filipina, Denmark, Afrika Selatan, Jamaika, Kenya, Thailand, Liberia, dan Bahama.
Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan R Agus H Purnomo mengatakan, kerja sama IMO dengan Indonesia cukup banyak dilakukan dalam menciptakan industri maritim dan konektivitas antarwilayah. Ia mencontohkan, pada periode jabatan 2018-2019, Indonesia dan IMO berhasil memutuskan bagan pemisahan alur laut (traffic separation scheme) di Selat Sunda dan Selat Lombok.
”Kebijakan traffic separation scheme atau TSS yang akan diberlakukan secara penuh pada Juni 2020 itu merupakan salah satu pencapaian. Saya harap akan ada banyak hal yang dapat dilakukan apabila kami menjabat lagi tahun depan, terutama hal yang berkaitan dengan isu lingkungan,” kata Agus.
Untuk isu lingkungan, Agus mengatakan, Indonesia kini mulai aktif dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca serta penerapan batas sulfur pada bahan bakar kapal. Begitu juga dengan isu sampah plastik, ia menyatakan, telah disusun rencana aksi nasional hingga beberapa tahun mendatang.
”Indonesia berkomitmen untuk membatasi kadar sulfur pada bahan bakar kapal menjadi 0,5 mili per meter pada 1 Januari 2020. Sementara untuk sampah plastik, Indonesia berencana untuk mengurangi 70 persen sampah plastik di laut mulai tahun 2017 hingga tahun 2025,” ujarnya.
Budi Karya menambahkan, kontribusi Indonesia sebagai anggota dewan nantinya diharapkan juga berdampak pada sektor ekonomi. Dari skema penerapan TSS, misalnya, diharapkan hal itu berdampak pada kegiatan komersial aktivitas perdagangan.
”Kita tahu bahwa beberapa selat di Indonesia aktivitasnya cukup padat. Ada Selat Malaka, setelah itu ada Selat Sunda dan Selat Lombok. Tentunya kalau selat-selat ini digunakan, banyak manfaat komersial yang akan diperoleh,” katanya.