Jangan Sampai Indonesia Jadi Pelanduk yang Mati dalam Perang Dagang
Gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah
Laksana perang fisik, perang dagang dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat-China, melibatkan saling serang antara pihak yang berperang dengan senjata pajak dan kuota. Salah satu negara akan menaikkan tarif yang menyebabkan negara lain merespons.
Sejak awal 2018, kedua negara terlibat aksi saling serang pengenaan tarif terhadap barang-barang yang masuk ke masing-masing negara. Suasana sedikit mereda pada akhir tahun 2018.
Akan tetapi, perdang dagang kembali memanas pada Mei 2019 setelah AS-China gagal mencapai kesepakatan. Sebenarnya, apa yang memicu munculnya perang dagang? Hambatan apa yang masih mempersulit kedua negara untuk mengakhiri perselisihan?
Perselisihan yang AS-China yang memicu perang dagang, dapat dirangkum dalam tiga isu utama: defisit neraca perdagangan, tuduhan pencurian teknologi, serta intervensi pemerintah di industri. Jika dilihat dari sejarah, ketiga narasi tersebut telah menjadi persoalan laten yang menyelimuti pasang surut hubungan dagang kedua raksasa dunia ini.
AS mempermasalahkan intervensi China di pasar mereka melalui subsidi. Dalam rangkaian negoisasi, AS menuntut pemerintah China untuk tidak memberikan subsidi di sektor mesin, elektronik, serta teknologi informasi.
Sektor-sektor tersebut merupakan sektor pilihan China dalam mengejar realisasi rencana industri Made In China 2025. China, terinspirasi rencana Industri 4.0 milik pemerintah Jerman, ingin menjadi negara adidaya dalam hal manufaktur dan teknologi.
Di luar isu intervensi pemerintah China di sektor industri, Presiden AS Donald Trump lebih menyoroti defisit perdagangan dan tuduhan pencurian teknologi. Dari sisi AS, neraca perdagangan dengan China tak pernah mencapai nilai positif.
Sejak awal membuka pintu perdagangan dengan China pada 1985, AS mengalami defisit neraca perdagangan dengan China sebesar 6 juta dollar AS. Akan tetapi, nilai defisit tersebut semakin lama semakin membesar, terutama 10 tahun terakhir. Puncaknya, pada 2018, AS mengalami defisit neraca perdagangan dengan China sebesar 419 miliar dollar AS.
Baca juga: Indonesia dan Perang Dagang
Keadaan ini kemudian digunakan Trump sebagai alasan untuk memberlakukan tarif impor kepada China pada pertengahan 2018 lalu. Trump dan jajarannya berpendapat, defisit yang diderita oleh AS disebabkan oleh praktik China yang menyalahi kaidah perdagangan internasional, seperti praktik dumping, subsidi, hingga pencurian teknologi.
Dengan kerangka tersebut, AS menuntut China untuk berkomitmen meningkatkan impor dari AS dan membantu AS untuk menekan defisit perdagangan hingga mencapai 200 miliar dollar AS. Dengan pengurangan defisit sebesar 100 miliar dollar AS pada tahun ini, target AS di atas diharapkan tercapai pada 2020.
Teknologi
Selain neraca perdagangan yang minus, AS juga menuding bahwa China selama ini telah mencuri teknologi yang dikembangkan AS. China dituduh melakukan pembajakan merek-merek terkenal dari AS. Hal itu dapat dilakukan karena merek-merek terkenal dari AS diproduksi di China.
AS juga menuduh China mencuri teknologi AS dengan cara menekan perusahaan AS yang masuk ke China untuk melakukan alih teknologi dengan perusahaan lokal China. Bila tidak bekerja sama dengan perusahaan lokal di China, perusahaan AS tidak dapat masuk ke pasar domestik China.
Isu pencurian teknologi ini demikian sensitif bagi AS mengingat AS selama ini dikenal sebagai pemimpin dunia dalam inovasi teknologi. Pencurian teknologi kemudian dianggap menggoyang dominasi AS sebagai pemimpin perkembangan teknologi dunia.
Isu ini pun telah mengemuka jauh sebelum Trump berkuasa. Pada 2009, Komisi Perdagangan Internasional AS telah mengeluarkan laporan bahwa perusahaan AS telah dirugikan sebesar 50 miliar dollar AS akibat perlindungan hak cipta dan teknologi yang lemah di China.
Laporan dari lembaga ini pada 2016 bahkan mengungkapkan hal yang lebih genting, AS mengendus adanya praktik pencurian data perdagangan terhadap perusahaan AS di China.
Hal serupa juga diungkapkan oleh penelitian dari Global Innovation Policy Center (GIPC) pada 2018. Badan di bawah Kamar Dagang AS tersebut menyatakan, permasalahan mendasar China dalam hal perlindungan teknologi dan HKI adalah lemahnya hukuman yang diberikan kepada para pelanggar.
Mereka yang terbukti melanggar peraturan hanya akan diberikan denda tanpa harus diganjar dengan pasal pidana. Ketiadaan ancaman penjara ini akhirnya membentuk pola pikir pebisnis China bahwa denda yang harus mereka bayar akibat membajak teknologi milik perusahaan lain hanya menjadi tambahan biaya produksi saja.
Bila isu penyebab perselisihan dagang AS-China telah dapat dipetakan. Mengapa kedua negara masih belum menemukan kata sepakat? Untuk menjawabnya, dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, sejarah AS dalam menyelesaikan perang dagang. Kedua tuntutan AS terhadap China dalam negoisasi perang dagang.
Sejarah
Bukan hanya dengan China, sejak awal abad ke-20 AS telah melakukan perang dagang dengan berbagai negara, baik sebagai pihak yang memulai, maupun pihak yang merespons. Paling tidak, terdapat 8 perang dagang yang dihadapi AS selama tahun 1930 hingga 2018.
Dalam rentang waktu tersebut, AS setidaknya pernah berseteru dengan Spanyol, Kanada, Italia, Swiss, Perancis, Jerman, Jepang, Uni Eropa, Meksiko, dan China.
Perang dagang pertama AS pada abad 20 terjadi pada tahun 1930. Saat itu, AS berseteru dengan Spanyol, Kanada, Italia, dan Swiss. Negara-negara tersebut menentang aksi AS mengesahkan “Smoot-Hawley Tariff Act”.
Kebijakan AS ini menjatuhkan tarif ke lebih dari 20.000 produk impor agrikultur dan industri yang masuk ke AS. Pemerintah negara yang terdampak pun segera mengeluarkan kebijakan serupa untuk membalas. Insiden ini pada akhirnya memicu resesi ekonomi dunia yang biasa dikenang sebagai The Great Depression.
Berselang 3 dekade, ancaman perang dagang kembali datang pada 1963. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini AS menjadi pihak yang tercederai. Perseteruan didorong oleh perkembangan teknologi AS dalam hal peternakan ayam.
Lompatan teknologi ini memompa efisiensi dan efektivitas produksi industri peternakan sehingga pasar pangan di Eropa dikuasai oleh ayam dari AS. Jerman Barat dan Perancis yang kala itu masih belum sembuh total dari perang dunia merasa terancam dan memasang tarif tambahan untuk impor daging dari AS.
Benturan kembali terjadi pada 1981 dan berlangsung hingga 1985 antara AS dengan Jepang. Kali ini, benturan disebabkan oleh upaya pemerintah AS untuk menjaga persaingan pasar domestik mereka dari sergapan produk impor dari Jepang.
Hampir sama dengan kasus pada 1930, lompatan inovasi Jepang menyebabkan produk otomotif, superkonduktor, dan elektronik mereka yang sangat kompetitif membanjiri pasar AS.
Setelah itu, perang dagang terjadi lagi pada 1982 antara AS dan Kanada dalam perdagangan kayu lunak. Perselisihan perdagangan terjadi akibat perbedaan model bisnis di industri kayu lunak.
Tiga tahun berselang, perang dagang tersulut oleh frustasi karena akses pasar produk jeruk AS yang sulit masuk ke Eropa. AS lantas menerapkan tarif bagi impor pasta dari Eropa. Tak terima, Uni Eropa membalas dengan menerapkan tarif ke impor lemon dan kenari dari AS.
Selain neraca perdagangan yang minus, AS juga menuding bahwa China selama ini telah mencuri teknologi yang dikembangkan AS.
Selanjutnya, insiden perdagangan dunia yang sempat menghebohkan dunia ialah perang dagang antara AS dengan Uni Eropa pada 1993. Uni Eropa memberlakukan tarif terhadap produk pisang dari Amerika Latin di negara-negara koloni Eropa di Afrika.
Pisang tersebut sebagian besar merupakan produk dari perusahaan-perusahaan AS. Tak ayal, aksi tersebut pun membuat perusahaan AS menjadi buntung. Kasus ini akhirnya bisa diselesaikan di WTO.
Terakhir, semenjak tahun 2002 hingga 2018 baja menjadi salah satu industri yang dilindungi oleh Pemerintah AS. Jauh sebelum Trump dilantik, perlindungan industri baja dari gempuran kompetisi perdagangan internasional telah dilakukan oleh George Bush pada tahun 2002.
Saat itu, Presiden Bush memberlakukan tarif sebesar 8-30 persen, dari yang awalnya 0-1 persen, terhadap produk baja. Serupa dengan pendahulunya, Trump juga berusaha untuk melindungi industri baja, serta alumunium, dengan memberikan tarif impor.
Berbagai perang dagang yang melibatkan AS tak semua berakhir dengan negoisasi yang saling menguntungkan. Ada perang dagang yang selesai karena salah satu pihak mengalah menuruti tuntutan AS. Akan tetapi, lebih banyak perang dagang yang tidak selesai dengan negoisasi.
Perang dagang tahun 1930 misalnya, malah merembet menjadi depresi besar. Dalam melihat perang dagang AS-China saat ini, perlu dilihat karakteristik dan tuntutan kedua belah pihak dalam negoisasi damai yang sempat terjadi.
Tuntutan AS
Menurut dokumen negosiasi yang sempat bocor, ada beberapa hal yang diinginkan oleh AS dalam serangkaian negoisasi dengan China. Empat hal di antaranya, menuntut China untuk menghapus hambatan tarif dan non-tarif untuk barang ekspor AS ke China.
Selain itu, mengatasi kebijakan dan praktik China terkait dengan transfer teknologi dan hak kekayaan intelektual, memberikan kesempatan yang sama bagi penyedia jasa AS di China dengan penyedia jasa China di AS, dan memastikan agar China tidak menjadikan petani dan produk pertanian AS sebagai target.
Keempat hal tersebut kemudian dijabarkan menjadi 17 poin perjanjian yang diajukan ke pihak China. Karena berangkat dari narasi bahwa perekonomian AS “dicederai” oleh China, ketujuh belas poin yang diajukan AS terlihat sangat menekan China. Parahnya, China diharuskan untuk setuju dan melaksanakan 17 tuntutan tersebut agar AS mau berdamai dengan China.
Salah satu contoh tuntutan yang ekstrem tampak dalam perjanjian yang membahas pengurangan defisit transaksi AS. Pada bagian ini, China harus mau bekerja sama dengan AS dengan membeli produk dari AS sebesar 200 miliar dollar AS hingga tahun 2020.
Selain itu, poin yang memberatkan China dirasakan dalam isu tuduhan pencurian teknologi. Pada bagian ini, China diminta untuk menghentikan pemberian subsidi dan semua bentuk intervensi lain di pasar China yang ditujukan untuk mendukung rencana industri Made In China 2025.
Perselisihan yang AS-China yang memicu perang dagang, dapat dirangkum dalam tiga isu utama: defisit neraca perdagangan, tuduhan pencurian teknologi, serta intervensi pemerintah di industri.
Bagi China, tuntutan yang diajukan oleh AS sulit untuk diterima bulat-bulat. Apalagi, poin-poin tersebut menyasar hal yang vital dan sensitif, seperti model perekonomian serta rencana pembangunan negara.
Tuntutan AS terhadap China yang dirasa sangat menekan tersebut akan semakin sulit dipenuhi mengingat perekonomian China masih perkasa. Walau terus mengalami tekanan dan sempat mengalami perlambatan, perekonomian China tetap unggul. Hingga kuartal I tahun 2019, pertumbuhn PDB China berada di angka 7 persen, jauh meninggalkan AS.
Sebagai reaksi atas China yang bergeming bak batu, Presiden Donald Trump merespons dengan ancaman kembali menambah kebijakan tarif. Trump yakin bahwa keadaan ekonomi AS di bawah kepemimpinannya dapat meraih angka pertumbuhan PDB yang aman, yaitu di kisaran angka empat persen.
Sinyal positif perekonomian domestik juga ditangkap oleh AS saat penambahan tarif pertama pada awal tahun 2019 diluncurkan. Hingga April 2019 kebijakan ini dinilai berhasil karena dapat menggenjot hingga 1.800 penciptaan lapangan pekerjaan baru, sesuai yang diinginkan oleh pemerintah AS.
Akan tetapi, bila dihitung lebih rinci, harga yang harus dibayar AS untuk menyediakan satu lapangan pekerjaan baru sangat tinggi. Ambil contoh kenaikan harga mesin cuci akibat kenaikan tarif impor mesin cuci dari China.
Kenaikan harga mesin cuci juga menaikkan harga pengeringnya. Hal ini membebani konsumen di pasar AS sebesar lebih dari 1,5 miliar dollar AS. Maka, jika dihitung, harga yang harus dibayar AS untuk menyediakan satu lapangan pekerjaan yang tercipta akibat kebijakan ini ialah 815.000 dollar AS. Tentu saja, nilai tersebut terlampau tinggi dan metode penciptaan tenaga kerja seperti ini tidaklah efektif.
Kapan Selesai?
Melihat sejarah perang dagang AS selama ini, tampaknya AS akan terus mengajukan tuntutan kepada China sebagai syarat menghentikan kebijakan tarifnya. Di sisi lain, China yang didukung dengan performa ekonomi yang lebih unggul dari AS tampaknya juga tak akan mudah menuruti tuntutan AS. Oleh karena itu, tidak dapat diharapkan bahwa China akan begitu saja mengikuti tuntutan AS. Daya tawar kedua negara sama-sama kuat.
Oleh karena itu, harapan yang muncul dari pengalaman perang dagang selama ini adalah adanya pihak ketiga yang dipercaya oleh kedua belah pihak. Perang dagang AS dan Uni Eropa pada 1993 dapat diselesaikan ketika dibawa ke WTO. Artinya, kedua belah pihak mempercayakan pihak ketiga untuk hadir dan ikut menengahi perang dagang tersebut.
Sampai saat ini, tampaknya belum ada niat dari kedua belah pihak yang bertikai untuk melibatkan pihak ketiga. Oleh karena itu, apabila diteruskan, bagi AS dan China, perang dagang ini bak pepatah jawa menang dadi areng kalah dadi awu.
Pihak pemenang dan pihak yang kalah sama-sama rugi akibat perang yang tidak perlu. Bagi China, industri manufaktur mesin dalam negerinya menderita kerugian sebesar 15 miliar dollar AS pasca perang dagang.
Untuk AS, lebih dari 2,1 juta pekerja AS di lebih dari 40 jenis industri terdampak adu tarif ini. Tidak hanya itu, secara global, pertumbuhan ekonomi dunia melambat hingga tahun-tahun ke depan. Sinyalnya, pertumbuhan volume perdagangan global sejak tahun lalu melambat di angka empat persen.
Bila diteruskan, bukan hanya kedua negara yang terdampak perang dagang. Sebagai pemimpin ekonomi dunia, perang dagang AS dan China berdampak kepada negara-negara lain, terutama yang memiliki kerja sama dagang dengan kedua negara, termasuk Indonesia.
Walau tidak berperang secara langsung, pemerintah Indonesia juga terdampak perang dagang yang terus diserukan oleh AS dan China. Hal itu disebabkan pasar ekspor Indonesia masih bergantung pada AS dan China. Oleh karena itu, ketika kedua negara itu merugi dalam perang dagang, Indonesia berisiko ikut merugi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pangsa pasar ekspor nonmigas Indonesia terbesar ialah China dan AS. Pada kurun waktu Januari-Februari 2019, pangsa pasar ekspor Indonesia ke China sebesar 13,52 persen dan ke AS sebesar 11,54 persen.
Dengan perkembangan perang dagang yang belum akan berakhir dalam waktu dekat, Indonesia perlu tetap jeli melihat dampak perang dagang AS-China bagi perekonomian Indonesia. Dampak ekonomi dari perang dagang AS-China pasti terasa bagi Indonesia yang memiliki hubungan dagang langsung dengan mereka.
Akan tetapi perlu dipikirkan strategi untuk mengantisipasi dampak paling buruk yang mungkin terjadi. Jangan sampai dampak perseteruan tersebut tak terantisipasi sehingga Indonesia tak siap dan menjadi pelanduk yang mati dalam perang dagang dua gajah ekonomi dunia ini. (LITBANG KOMPAS)