Kurnia Yunita Rahayu/Dhanang David Aritonang/Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi bakal dilemahkan lewat Rancangan Undang-Undang tentang Penyadapan. DPR ingin KPK, seperti halnya lembaga penegak hukum lain, harus meminta izin ketua pengadilan untuk melakukan penyadapan. Jika ketentuan izin ketua pengadilan ini disahkan melalui RUU Penyadapan, KPK diyakini bakal kesulitan melakukan operasi tangkap tangan.
Sebelumnya, pada draf RUU Penyadapan terdapat pengecualian bagi KPK. Komisi antirasuah tersebut bebas dari keharusan mendapatkan izin dari ketua pengadilan sebelum menyadap sebagaimana tersurat pada Pasal 37.
Namun, aturan pengecualian ini ditentang sejumlah anggota DPR. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu, mengatakan, KPK tidak boleh memiliki eksklusivitas dalam RUU Penyadapan. Menurut dia, semua lembaga perlu melaksanakan undang-undang tersebut jika telah disahkan.
”Lembaga lain tidak ada yang protes bahwa wewenangnya dilemahkan ketika RUU ini disusun, lantas mengapa KPK protes bahwa kewenangannya akan dilemahkan dengan adanya undang-undang ini?” katanya.
Senada dengan itu, anggota Komisi III DPR dari Partai Nasdem, Teuku Taufiqulhadi, juga tidak setuju dengan adanya pengecualian terhadap KPK dalam RUU Penyadapan. Menurut dia, masalah penyadapan ini sangat vital bagi privasi dan hak demokrasi seseorang.
”Kalau KPK tidak diatur dalam RUU Penyadapan, tentunya akan berbahaya sekali. Saat ini, KPK merupakan salah satu lembaga yang sulit untuk diaudit dan tidak ada lembaga yang mengawasi KPK,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko mengungkapkan, dengan mengharuskan KPK meminta izin ketua pengadilan untuk menyadap, DPR dinilai tak memahami bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Menurut dia, dalam praktik pemberantasan korupsi di dunia internasional, lembaga antikorupsi justru dikecualikan dari permintaan izin untuk melakukan penyadapan.
”Para perumus undang-undang harus memahami bahwa korupsi itu bagian dari serious crime atau extraordinary crime. Jadi, untuk jenis kejahatan serius, terutama korupsi, sudah menjadi praktik internasional bahwa proses penyadapannya harus dikecualikan. Berbeda dengan penyadapan terhadap kejahatan biasa,” tutur Dadang.
Selain itu, lanjut Dadang, korupsi di Indonesia itu terjadi di semua cabang kekuasaan negara, termasuk kekuasaan kehakiman. ”KPK tidak mungkin menggantungkan kewenangan penyadapannya pada institusi di luar dirinya, khususnya saat akan melakukan penyadapan,” katanya.
Dengan menggantungkan urusan penyadapan ke lembaga lain, terutama yang masih korup, menurut Dadang, hal tersebut justru akan melemahkan KPK. ”KPK itu, sesuai dengan UU KPK, adalah lembaga independen. Kalau urusan penyadapan masih harus minta izin hakim, itu justru berlawanan dengan karakter KPK sebagai badan independen,” ujar Dadang.
Kalau urusan penyadapan masih harus minta izin hakim, itu justru berlawanan dengan karakter KPK sebagai badan independen.
Bagi KPK, pengecualian terhadap permintaan izin penyadapan sebenarnya sudah dibahas dalam proses penyusunan RUU Penyadapan. Dengan demikian, pembahasan terhadap RUU Penyadapan semestinya tidak lagi mengeluarkan KPK dari pengecualian permintaan izin penyadapan tersebut.
”KPK berharap aturan-aturan baru yang dibuat dapat semakin memperkuat pemberantasan korupsi, bukan berisiko melemahkan KPK. Apalagi sebelumnya sudah ada pembahasan terkait pengecualian (izin penyadapan) tersebut,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komnas HAM Hairansyah menyebutkan, dalam rangka penegakan hukum, penyadapan masih kerap dibutuhkan. Hampir semua lembaga penegak hukum memiliki kewenangan untuk menyadap. Kecuali KPK, belum ada penegak hukum yang memiliki pengaturan tata kelola penyadapan yang jelas. Padahal, tindakan tersebut amat rentan melanggar HAM.
”Semestinya penyadapan menjadi pilihan alat bukti terakhir setelah alat bukti yang lain digunakan,” ujar Hairansyah.
Korupsi di Indonesia terjadi di semua cabang kekuasaan negara, termasuk kekuasaan kehakiman. KPK tidak mungkin menggantungkan kewenangan penyadapannya pada institusi di luar dirinya, khususnya saat akan melakukan penyadapan.
Untuk itu, kata Hairansyah, jika penyadapan diperbolehkan, jumlah lembaga hukum yang berwenang menyadap perlu dibatasi. ”Tata kelolanya juga mesti dibuat secara ketat agar tidak melanggar prinsip HAM,” lanjutnya.
Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Totok Daryanto, sejumlah ketentuan soal penyadapan sudah dimasukkan dalam draf RUU, termasuk tenggat penyadapan. Namun, dalam pembahasan lanjutan, tenggat itu bisa saja berubah sesuai dengan kesepakatan pemerintah dan lembaga terkait. Ia menjamin, RUU Penyadapan tidak akan melemahkan fungsi dan wewenang KPK.
Totok belum bisa menjamin, apakah pembahasan RUU ini bisa selesai pada masa periode kepengurusan DPR yang sekarang. Menurut dia, jika tidak selesai, pembahasannya akan dilanjutkan oleh periode kepengurusan DPR selanjutnya.
”Dengan adanya revisi UU No 12 Tahun 2011, pembahasan RUU Penyadapan ini bisa dilanjutkan pada periode kepengurusan DPR berikutnya, dan tidak dibahas dari awal lagi,” katanya.
Totok menyebutkan, RUU Penyadapan perlu segera disahkan karena hingga saat ini belum ada peraturan khusus yang mengatur hal tersebut.