Mahkamah Agung, Selasa (9/7/2019), melepaskan terdakwa perkara dugaan korupsi terkait surat keterangan lunas BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung. KPK menilai putusan MA di tingkat kasasi ini sebagai putusan yang ”ajaib”.
Oleh
Sharon Patricia/Iga Angga Putra
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung, Selasa (9/7/2019), melepaskan terdakwa perkara dugaan korupsi terkait surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Syafruddin Arsyad Temenggung. Komisi Pemberantasan Korupsi menilai putusan MA di tingkat kasasi ini sebagai putusan yang ”ajaib”.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengaku terkejut atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang melepaskan Syafruddin tersebut. Walau demikian, Laode menyatakan KPK pertama-tama menghormati putusan MA.
”Meski demikian, KPK merasa kaget karena putusan ini ’aneh bin ajaib’, bertentangan dengan putusan hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Tiga hakim kasasi berpendapat, Syafruddin Arsyad Temenggung terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya,” tutur Laode.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah membacakan amar putusan bahwa Ketua Majelis Hakim Agung Salman Luthan sependapat dengan keputusan di tingkat banding. Sementara Hakim Anggota I Syamsul Rakan Chaniago menilai yang dilakukan oleh Syafruddin merupakan perbuatan perdata. Hakim Anggota II Mohammad Askin menyatakan bahwa itu merupakan perbuatan administrasi.
Putusan MA menyatakan, Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. MA pun memutuskan untuk melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum atau ontslag van alle rechtsvervolging.
Selanjutnya, putusan itu juga menetapkan untuk memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, serta harkat dan martabatnya, serta memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari tahanan.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz juga sependapat dengan KPK, bahwa putusan itu ”ajaib”. Artinya, putusan tersebut janggal dan aneh karena tiga anggota majelis hakim memiliki sudut pandang putusan yang berbeda secara signifikan atas kasus yang sama.
Donal juga menilai, ada keterbelahan hakim secara fundamental dalam memutuskan perkara ini. Terlebih, keputusan ini dibuat pada akhir masa penahanan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional itu di Rumah Tahanan Kelas 1 KPK.
Dalam putusan perkara kasasi tertulis membatalkan putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 29/PID.SUS-TPK/2018/PT.DKI pada 2 Januari 2019 yang mengubah amar putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 39 /PID.SUS/TPK/2018/PN.JKT.PST, 24 September 2018.
Upaya luar biasa
Persidangan atas terdakwa Syafruddin dimulai sejak 14 Mei 2018 di Pengadilan Tipikor Jakarta. Kemudian, pada September 2018, majelis hakim Pengadilan Tipikor menyatakan Syafruddin melakukan tindak korupsi dan memvonisnya 13 tahun penjara dengan denda Rp 700 juta subsider 3 bulan kurungan pada pengadilan tingkat pertama.
Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Januari 2019 memperberat hukuman Syafruddin menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Majelis hakim tingkat banding ini menilai tindakan Syafruddin dalam memberikan surat keterangan lunas kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim, kini tersangka, sebagai tindak pidana korupsi.
Untuk itu, Donal menegaskan, KPK harus segera menempuh upaya hukum luar biasa, yaitu melalui peninjauan kembali. Sebab, putusan ini akan berdampak pada penanganan kasus BLBI lainnya.
Penetapan Sjamsul sebagai tersangka merupakan pengembangan atas kasus Syafruddin. Dalam kasus BLBI, kini ada dua tersangka, yakni pemegang saham BDNI, Sjamsul Nursalim, dan istrinya, Itjih Nursalim.
Atas kasus ini, sesuai dengan laporan pasil iemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan pada 2017, ditemukan kerugian negara Rp 4,58 triliun.