Maluku Utara dan Maluku Sangat Rentan Gempa dan Tsunami
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Gempa susulan masih terus terjadi di Maluku Utara, menyusul gempa berkekuatan M 7 dan M 7,1 pada Minggu (7/7) malam. Hingga Senin (7/8) pukul 14.00 telah terjadi 48 gempa susulan dengan kekuatan M 3,1 hingga M 5,5. Sekalipun kejadian kali ini tidak diikuti tsunami, namun kawasan ini memiliki riwayat panjang gempa bumi diikuti tsunami sehingga perlu mempekuat mitigasi.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), gempa berkekuatan M 7 terjadi pada pukul 22.08 WIB. Episenter gempa berada pada koordinat 0,53 Lintang Utara dan 126,18 Bujur Timur, atau tepatnya berlokasi di dasar laut pada kedalaman 49 km pada jarak 133 km arah barat Kota Ternate, Maluku Utara.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan, hasil pemodelan menunjukkan bahwa gempa bumi tersebut berpotensi tsunami dengan level Waspada untuk wilayah Minahasa Selatan dan Minahasa Utara bagian Selatan.
Namun demikian, berdasarkan hasil monitoring perubahan muka air laut pada enam stasiun tide gauge di Bitung, Tobelo, Ternate, Taliabu, Jailolo, dan Sanana selama kurang lebih dua jam, tidak menunjukkan adanya anomali. "Oleh karena itu peringatan dini tsunami kemudian diakhiri pada pukul 00.09 WIB tanggal 8 Juli 2019," ujarnya.
Rahmat mengatakan, dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, gempa bumi tersebut tergolong dangkal sumbernya yang dipicu oleh deformasi kerak bumi pada lempeng Laut Maluku. Gempa ini memiliki mekanisme sesar naik (thrust fault) akibat adanya tekanan lempeng mikro Halmahera ke arah barat, dan tekanan lempeng mikro Sangihe ke arah timur. Akibatnya, lempeng laut maluku terjepit hingga membentuk subduksi ganda ke bawah Halmahera dan ke bawah Sangihe.
Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, gempa bumi tersebut tergolong dangkal sumbernya yang dipicu oleh deformasi kerak bumi pada lempeng Laut Maluku.
Berdasarkan laporan masyarakat, tambah Rahmat, guncangan gempa dirasakan di Bitung dan Manado dengan intensitas IV-V MMI (dirasakan oleh hampir semua penduduk, orang banyak terbangun), dan di Ternate III-IV MMI (dirasakan oleh orang banyak dalam rumah). Hingga saat ini belum ada laporan terjadinya kerusakan akibat guncangan gempa kuat di Maluku Utara semalam. Namun, di Kota Manado beberapa rumah dilaporkan retak pada bangunan tembok dengan kategori sangat ringan.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono mengatakan, gempa kali ini memiiki kemiripan dengan gempa M 7,3 yang terjadi pada 2014. Pusat gempa saat itu berjarak 160 km barat laut Ternate dengan kedalaman 48 km. Gempa saat itu juga memicu peringatan dini tsunami, namun tinggi gelombang yang terpantau saat itu hanya 0,03 meter di Manado.
Menurut Daryono, hingga Senin (8/7) pukul 14.00 WIB, gempa susulan sudah mencapai 48 kali dengan magnitudo terbesar adalah M 5.5 dan magnitudo terkecil M 3.1. Melihat besarnya energi yang terlepas, diperkirakan tidak akan diikuti gempa susulan yang lebih kuat lagi.
Sangat Rentan
Daryono mengatakan, zona tektonik di Laut Maluku tergolong sangat aktif dan berulangkali dilanda gempa bumi dan tsunami. Di kawasan ini, persisnya sekitar Jailolo juga mengalami gempa swarm atau gempa beruntun sebanyak 659 kejadian dalam periode 16 November hingga 4 Desember 2015.
Kajian Hamzah Latief, Nanang T Puspito, dan Fumihiko Imamura di Journal of Natural Disaster Science (2000) menyebutkan, dari tahun 1600 hingga 1999 telah terjadi 105 tsunami di Nusantara. Dari jumlah ini, 35 kali (32,3 persen) terjadi di Busur Banda dengan korban meninggal 5.570 orang. Sedangkan Laut Maluku telah dilanda tsunami 32 kali (30,8 persen) dengan jumlah korban mencapai 7.576 orang. Bisa disimpulkan, lebih dari 60 persen lebih kejadian tsunami di Indonesia terjadi di perairan Maluku dan Maluku Utara.
Kajian Jack Rynn dari Centre for Earthquake Research in Australia (2002) menyebutkan, tsunami di kawasan Maluku dan Maluku Utara tak hanya dipicu oleh gempa bumi. Tsunami di kawasan ini banyak disebabkan oleh letusan gunung api, di antaranya letusan Gunung Teon pada 11 November 1659, Gamkonora di Halmahera pada 20 Mei 1673, dan Gamalama di Ternate pada 1 September 1763.
Sedangkan dokumen tertua tentang kejadian tsunami tertua yang pernah tercatat di Nusantara juga terjadi di Maluku, yaitu oleh naturalis Jerman yang bekerja untuk Pemerintah Belanda, Georg Everhard Rumphius (1627-1702). Dalam bukunya Amboina (1675), Rumphius dengan rinci mendeskripsikan kehancuran kawasan Ambon dan Seram akibat gempa dan tsunami dahsyat yang melanda pada 1674.