Kementerian Hukum dan HAM mulai menyusun rekomendasi dasar hukum untuk mendukung proses amnesti bagi Baiq Nuril Maknun. Sejumlah pihak berharap, Presiden Joko Widodo bisa menggunakan wewenangnya untuk memberikan amnesti bagi Baiq Nuril.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Kementerian Hukum dan HAM mulai menyusun rekomendasi dasar hukum untuk mendukung proses amnesti bagi Baiq Nuril Maknun. Rekomendasi disiapkan sebagai pendukung amnesti yang diharapkan diberikan Presiden Joko Widodo. Harapan ini disampaikan banyak pihak sejalan dengan langkah Baiq Nuril mencari keadilan.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Cahyo Rahardian Muzar mengatakan, Kemenkumham telah melakukan pertemuan dengan sejumlah pakar dan ahli tata negara untuk menyusun rekomendasi dan dasar hukum untuk mengakomodir proses amnesti bagi Baiq Nuril Maknun.
"Kami telah berkonsultasi dan menerima pendapat dari para ahli tata negara terkait dasar hukum untuk mendukung proses amnesti. Nantinya, ada tim kami yang akan menyampaikan hasil diskusi tersebut kepada Menteri Hukum dan Ham, lalu disampaikan kepada Presiden melalui Mensesneg," ucapnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (09/07/2019).
Sebelumnya, Nuril mengajukan amnesti setelah MA menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan. Nuril merupakan korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan kepala sekolah tempatnya bekerja. Namun, Nuril malah didakwa melanggar UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena dituduh menyebarkan konten pornografi.
Menurut Cahyo, kewenangan Presiden untuk memberikan amnesti telah diatur dalam undang-undang yang telah ada. Ia menjelaskan, tidak perlu lagi ada perubahan undang-undang untuk mendukung proses amnesti tersebut.
Pada Senin (08/07/2019) malam, sejumlah jajaran Dirjen Kemenkumham melakukan pertemuan dengan sejumlah pakar hukum tata negara, salah satunya Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari.
Dihubungi terpisah, Feri menjelaskan, dalam pertemuan tersebut, para pakar menyampaikan bahwa presiden memiliki wewenang untuk memberikan amnesti bagi korban pelanggaran HAM yang tersandung kasus pidana.
"Biasanya, amnesti ini diberikan kepada terpidana kasus politik. Namun, pada praktiknya, di sejumlah negara, pemberian amnesti juga diberikan kepada terpidana kasus yang menyangkut HAM," katanya.
Feri mengatakan, pada Pasal 14 ayat 1 UUD 1945, tertulis, Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Kemudian, dalam pasal 2 tertulis, Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
"Pasal 14 UUD 1945 sudah cukup untuk menjadi dasar hukum bagi Presiden untuk memberikan amnesti bagi Nuril. Dalam pasal tersebut, tidak disebutkan jenis pidana tertentu yang layak mendapat amnesti," katanya.
Feri menjelaskan, para pakar tidak menyarankan Nuril melakukan peninjauan kembali ke MA untuk kedua kalinya. Menurut ia, jika melakukan peninjauan kembali, kemungkinan hasil putusan MA tidak akan jauh berbeda dengan hasil putusan sebelumnya.
"Oleh sebab itu, kewenangan Presiden menjadi kunci bahwa negara telah hadir untuk melindungi korban pelecehan seksual. Para pakar juga mulai memyusun rekomendasi tertulis untuk dijadikan pertimbangan presiden," ujarnya.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan mengatakan, Komisi III DPR akan membuka diri dengan proses amnesti Baiq Nuril. Menurut ia, sudah ada pula pembicaraan lintas komisi untuk membahas kasus ini.
"Kami berharap, Nuril mendapatkan keadilan seusai dengan yang ia harapkan, kemudian rekan-rekan di MA juga tetap terjaga marwahnya, karena MA pun memiliki pertimbangan hukum yang harus dijalankan," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR, Satya Widya Yudha mengatakan, tidak mungkin DPR bisa melakukan revisi terhadap UU ITE di sisa waktu kepengursan saat ini. Namun, menurut ia, kasus ini bisa dijadikan pelajaran agar pasal-pasal karet dalam UU ITE bisa direvisi pada periode kepengurusan berikutnya.
"Kami berharap, agar revisi UU ITE ini bisa masuk dalam prolegnas pada periode 2019-2024. Kami juga meminta kepada aparat penegak hukum agar bijaksana melihat permasalahan ini tidak hanya dari aspek per pasal saja, namun bisa melihat dari aspek sosial juga," ucapnya.