Alokasi belanja iklan terus bergeser dari media konvensional ke digital. Namun, sejumlah pihak menyangsikan kesetaraan perlakuan terkait perpajakan, terutama di platform milik perusahaan teknologi digital di luar negeri.
Oleh
MEDIANA / KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Alokasi belanja iklan terus bergeser dari media konvensional ke digital. Namun, sejumlah pihak menyangsikan kesetaraan perlakuan terkait perpajakan, terutama di platform milik perusahaan teknologi digital di luar negeri.
Periklanan jadi salah satu sektor yang terdampak oleh perubahan lanskap ekonomi digital. Platform, konten, dan model bisnis periklanan berkembang makin kompleks mengikuti pesatnya perkembangan layanan konten dan aplikasi internet (over the top/OTT).
Akan tetapi, regulasi belum cukup mengakomodasi perkembangan itu. Sejumlah sumber yang dimintai keterangan sepekan terakhir menilai ada celah penghindaran pajak terutama oleh perusahaan OTT di luar negeri. Transaksi terus berlangsung meski sejumlah perusahaan belum mengantongi status bentuk usaha tetap (BUT) yang jadi syarat subyek pajak luar negeri.
Aplikasi dan layanan yang tergolong OTT antara lain meliputi aplikasi pesan (seperti Whatsapp, Wechat, Line, dan Facebook Messenger), jejaring sosial (Facebook, Twitter, LinkedIn), serta layanan video/tv/streaming (Netflix, Youtube).
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Janoe Arijanto, menyebutkan, belanja iklan di platform penerbit media digital selalu tumbuh, berkisar 15–20 persen per tahun. Secara umum, ada tiga jenis mekanisme beriklan di platform media digital, yakni iklan terprogram (programmatic buying ads), paid sponsor yang biasanya di media sosial, dan native ads yang memanfaatkan jasa influencer.
Menurut Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung, pada model bisnis penjualan langsung melalui jasa pemasangan iklan, perusahaan OTT menerapkan transaksi layaknya penerbit iklan lain. Bedanya, ada fitur teknologi yang memungkinkan distribusi iklan ke konsumen yang lebih tersegmen. Sebagian perusahaan OTT memperoleh pendapatan dengan model berlangganan produk, seperti Spotify Premium dan Google Bisnisku.
Terkait urusan pajak, idEA mendorong kesetaraan perlakuan. Sebab tak sedikit perusahaan OTT asing yang belum tertagih pajaknya karena transaksinya digital dan perusahaannya tidak berada di Indonesia.
Tetap tumbuh
Lead of Operation Mindshare di Indonesia, perusahaan periklanan berskala global, Amir Suherlan, memandang, cara beriklan di platform penerbit media digital, baik OTT maupun media massa daring, sangat tersegmen. Artinya, format konten sampai jenis platform beragam.
Agen media atau biro iklan berperan mengelola anggaran iklan kliennya. Mereka biasanya memiliki akun yang terhubung dengan sistem milik penerbit, terutama perusahaan OTT, sehingga memudahkan proses penerbitan iklan seperti iklan teks di mesin pencari Google atau iklan video di YouTube.
Di sisi ongkos per jumlah orang yang ingin dijangkau, iklan melalui televisi masih jadi pilihan pertama pemasang iklan, kemudian media digital di pilihan kedua. Namun, menurut Amir, ongkos per jumlah orang ingin dijangkau lewat media digital lebih efisien dan terjangkau. Hasilnya pun lebih terukur dan tersegmen.
“Dengan teknologi yang mereka (OTT) miliki, agensi media atau biro iklan bisa memilih agar konten iklan ditayangkan lintas negara atau hanya seputar kota tertentu. Sama seperti ke penerbit media lain, klien pemilik merek membayar ke kami, lalu kami bayar ke mereka (OTT). Proses transaksinya biasa,” kata dia.
Namun demikian, belanja iklan di media televisi, cetak, dan radio tetap tumbuh positif tiga tahun terakhir meski pertumbuhannya melambat. Executive Director Media Business Nielsen Indonesia Hellen Katherina, menyebutkan, belanja iklan ke televisi, cetak, dan radio tumbuh sekitar 8 persen pada tahun 2016 ke 2017, sedangkan dari tahun 2017 ke 2018 tumbuh sekitar 4 persen.
Berdasarkan data Nielsen Indonesia, total belanja iklan nasional untuk barang komersial mencapai sekitar Rp 136,991 triliun tahun 2016, lalu naik jadi Rp 148,073 triliun tahun 2017, dan bertambah jadi Rp 153,414 triliun tahun 2018.
“Situasi itu menunjukkan bahwa pengiklan masih giat beriklan di media massa konvensional. Belanja iklan ke televisi jadi penyumbang terbesar terhadap total belanja iklan secara nasional," ujarnya.
Sepanjang 2016–2018, ada lima kategori barang atau layanan dengan nilai belanja terbesar ke media konvensional, yakni instansi pemerintahan dan organisasi politik; layanan daring; produk perawatan rambut; rokok; dan perawatan wajah. (MED/KRN/JUD)