Dampingi Petani Hadapi Ancaman Kekeringan Sosial Ekonomi
Perubahan serta anomali iklim seperti, musim kemarau yang lebih panjang dari normal, perlu diwaspadai petani. Pendampingan kepada petani perlu terus dilakukan agar kekeringan sosial ekonomi dapat diantisipasi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Perubahan serta anomali iklim, seperti musim kemarau yang lebih panjang dari normal, perlu diwaspadai petani. Pendampingan kepada petani perlu terus dilakukan agar kekeringan sosial ekonomi dapat diantisipasi.
Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Semarang Iis W Harmoko, dihubungi dari Semarang, Jawa Tengah, Selasa (9/7/2019), mengatakan, dari perkiraan, anomali iklim bakal terjadi pada 2019.
”Saat ini, kekeringan sudah mulai terasa karena diprediksi terjadi lebih awal. Sudah cukup banyak wilayah di Jateng yang tanpa hujan. Beberapa di antaranya sudah 30 hari tanpa hujan dan petani harus bisa mengantisipasi kondisi iklim seperti ini,” kata Iis.
Dia menjelaskan, ada beberapa macam kekeringan, antara lain metrologis, hidrologis, dan pertanian. Apabila ketiganya sudah terjadi di satu daerah, akan terjadi kekeringan sosial ekonomi. Artinya, kekeringan yang berdampak pada sosial dan ekonomi.
Ada beberapa macam kekeringan, antara lain metrologis, hidrologis, dan pertanian. Apabila ketiganya sudah terjadi di satu daerah, akan terjadi kekeringan sosial ekonomi.
Adapun yang umumnya terjadi lebih dulu adalah kekeringan metrologis yang ekstrem, yakni apabila satu daerah tidak ada hujan lebih dari 60 hari. ”Karena itu, petani harus memahami informasi iklim yang diberikan BMKG agar dapat mengantisipasinya,” ucap Iis.
Pada 2019, Sekolah Lapang Iklim (SLI) bagi para petani dilaksanakan BMKG Stasiun Klimatologi Semarang di Desa Tegalsari, Kecamatan Kedu, Temanggung. Kegiatan itu diikuti 25 peserta dan digelar dalam 12 kali pertemuan. Selain mendapatkan materi, peserta juga saling bertukar pikiran.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, yang menutup SLI tahap 3 di Desa Tegalsari, Selasa, menuturkan, pihaknya memiliki tugas memberikan informasi peringatan dini iklim ekstrem serta mendiseminasikannya kepada instansi terkait. Ini juga penting bagi kemandirian pangan negara.
”Sejak 2011, BMKG melaksanakan SLI secara bertahap di provinsi sentra pangan Indonesia untuk mengurangi risiko iklim ekstrem. Ini untuk meningkatkan pemahaman dan keaksaraan petani tentang isi informasi iklim dan pemanfaatannya,” kata Dwikorita.
Hingga 2018, secara nasional, SLI telah menjangkau lebih dari 9.000 peserta dari penyuluh pertanian, pemerintah daerah, babinsa, dan petani di 33 provinsi.
Hingga 2018, secara nasional, SLI telah menjangkau lebih dari 9.000 peserta dari penyuluh pertanian, pemerintah daerah, babinsa, dan petani di 33 provinsi. SLI dilaksanakan dalam tiga tahap, yakni pertama untuk pemda dan dinas pertanian, kedua untuk penyuluh, dan ketiga untuk para petani.
Pemahaman iklim juga memengaruhi serangan hama pada tanaman. ”Karena itu, lewat SLI, kami memberi pemahaman kepada petani. SLI juga ada yang untuk penentu kebijakan serta penyuluh. Nantinya kami harapkan pengetahuan seperti ini disebarkan kepada para petani,” kata Iis.
Menurut Iis, dari sejumlah SLI yang telah dilaksanakan, dengan memahami informasi iklim, produktivitas pertanian bisa meningkat hingga 30 persen. Adapun di Tegalsari, Kedu, dari percontohan selama SLI dihasilkan padi hingga 6,8 per hektar. Jumlah itu di atas rata-rata wilayah kecamatan sekitar 6,1 ton per hektar dan kabupaten 6,2 ton per hektar.
Secara terpisah, Kepala Seksi Kerja Sama dan Pelayanan Pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah R Heru Praptana mengatakan, untuk menyiasati perubahan iklim, pihaknya terus mendorong penggunaan aplikasi Kalender Tanam Terpadu oleh petani. Di dalamnya sudah ada basis data terkait agroekosistem di tingkat kecamatan.