Dorong ke Penampungan Lagi
Kerangka kemanusiaan selalu dipakai Indonesia dalam penanganan para migran. Indonesia hanya menampung sementara sampai mereka dipulangkan atau ditempatkan di negara lain.
JAKARTA, KOMPAS— Pemerintah Indonesia bersama pihak terkait mendorong warga asing tanpa status agar kembali ke penampungan. Pemerintah juga berupaya agar anak-anak mereka bisa sekolah.
Direktur HAM dan Kemanusiaan pada Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib mengatakan, selama ini sudah disediakan penampungan untuk para migran itu. Rumah komunitas itu disediakan pemerintah bekerja sama dengan pemerintah daerah, Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) dan sejumlah pihak lain. ”Sekarang sedang diupayakan agar mereka yang sedang demonstrasi kembali ke penampungan,” ujarnya dalam jumpa pers, Selasa (9/7/2019), di Jakarta.
Sebagaimana diberitakan, sejak beberapa waktu terakhir, sejumlah migran berkemah di depan kantor perwakilan UNHCR Indonesia di Jakarta. Habib mengatakan, mereka ditengarai frustrasi karena terlalu lama menunggu verifikasi status oleh UNHCR. Mereka bagian dari 13.997 pengungsi dan migran penunggu status di Indonesia.
Untuk bisa disebut pengungsi atau pencari suaka, seseorang harus melewati verifikasi lalu disahkan UNHCR. Para migran itu belum selesai diverifikasi UNHCR. Status sebagai pengungsi membuat mereka bisa mengajukan permohonan ke Organisasi Migrasi Internasional (IOM) untuk mendapat bantuan biaya hidup bulanan. Status itu juga membuka jalan bagi mereka agar bisa ditempatkan ke negara ketiga.
Habib mengatakan, pemangkasan kuota penerimaan pengungsi di negara-negara tujuan semakin terbatas. Hal itu menjadi penyebab waktu tunggu penempatan semakin lama.
Pekerjaan
Keterbatasan dana juga jadi masalah. Sejak Mei 2018, IOM sudah tidak menerima permohonan baru dari pengungsi di Indonesia.
Persoalan itu menjadi rumit karena, seperti di negara lain, pengungsi tidak berhak bekerja sehingga tidak bisa punya penghasilan dan terpaksa bergantung pada bantuan. Padahal, penting bagi para migran untuk mandiri, terutama untuk pendanaan kebutuhan sehari-hari. UNHCR menyiasatinya dengan mengupayakan agar para migran bisa berbagi pengetahuan dan keterampilan dengan penduduk di negara penampung. Di Indonesia, UNHCR membuat proyek percontohan dengan menggandeng sejumlah pihak. UNHCR, antara lain, bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi dan organisasi kemasyarakatan untuk proyek itu.
Habib mengatakan, Indonesia bukan peratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Semua negara yang tidak meratifikasi konvensi itu tidak punya perangkat hukum soal pekerjaan bagi pengungsi.
Peraturan ketenagakerjaan Indonesia hanya mengatur soal pekerjaan bagi WNI di dalam dan luar negeri. Para migran itu juga tidak bisa bekerja dalam status tenaga kerja asing. Sebab, mereka tidak datang ke Indonesia sebagai tenaga terampil yang diundang perusahaan tertentu.
Perwakilan UNHCR Indonesia, Thomas Vargas, mengatakan, dunia kini menghadapi krisis pengungsian terbesar. Kini tercatat hampir 70 juta pengungsi di seluruh dunia. ”Jika mereka dimasukkan ke suatu negara, maka negara itu akan menjadi negara terbesar ke-22 atau ke-23 di dunia (dalam hal jumlah penduduk,” ujarnya.
Tidak ada solusi tunggal untuk seluruh pengungsi itu. Untuk mereka yang berasal dari negara-negara yang sudah relatif terkendali situasinya diupayakan pemulangan. Sementara untuk mereka yang belum mungkin pulang, UNHCR berupaya menempatkan di negara baru.
Penempatan di negara baru memang tidak mudah. Pemangkasan kuota penerimaan pengungsi oleh banyak negara menjadi penyebab utama kesulitan itu.
Selama proses itu, para migran ditampung di negara transit seperti Indonesia. ”Kami mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang sejak lama menyediakan bantuan kemanusiaan. Sejak Indochina hingga krisis manusia perahu di Andaman, Indonesia telah menyediakan tempat aman bagi mereka yang melarikan diri dari situasi mengerikan di negara asal,” kata Vargas.
Punya perangkat hukum
Meski tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, Indonesia punya perangkat hukum untuk penanganan pengungsi. Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 menjadi payung hukum penanganan pengungsi di Indonesia.
Menurut Vargas, tidak banyak negara seperti Indonesia, yakni negara yang punya aturan hukum soal pengungsi walau tidak meratifikasi konvensi pengungsi. Negara lain diharapkan mencontoh Indonesia.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah mengatakan, ratifikasi konvensi adalah keputusan nasional. Pemerintah tidak bisa secara sepihak meratifikasi tanpa persetujuan elemen lain di dalam negeri.
Meskipun demikian, Indonesia tetap menangani para pengungsi dalam kerangka kemanusiaan. Selama ini penanganan dikoordinasikan dengan pemerintah daerah yang ditempati para migran. (RAZ)
------------
Catatan: Koreksi dilakukan pada versi lama artikel ini, pada paragraf kutipan Perwakilan UNHCR Indonesia Thomas Vargas. Sebelumnya, tertulis "Kini tercatat hampir 70 pengungsi di seluruh dunia". Yang benar adalah "Kini tercatat hampir 70 juta pengungsi di seluruh dunia", sebagaimana tertera pada versi yang telah dikoreksi ini. Terima kasih -- Redaksi