Generasi milenial, sebagai salah satu motor penggerak ekonomi digital, ternyata lebih memilih produk aplikasi buatan dalam negeri. Namun, itu bukan karena nasionalisme, melainkan karena produk dalam negeri memberikan manfaat lebih besar.
Oleh
Maria Clara Wresti
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Generasi milenial, sebagai salah satu motor penggerak ekonomi digital, ternyata lebih memilih produk aplikasi buatan dalam negeri. Namun, pemilihan itu bukan karena nasionalisme, melainkan karena produk dalam negeri memberikan manfaat lebih besar dan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Demikian hasil survei Alvara Strategic Research terhadap 1.204 responden milenial di Jabodetabek, Bali, Padang, Yogyakarta, dan Manado.
”Momentum milenial lebih memilih aplikasi e-dagang buatan Indonesia harus dijaga agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi menjadi pemain utama di era ekonomi digital,” kata CEO dan Founder Alvara Research, Hasanuddin Ali, di Jakarta, Selasa (9/7/2019).
Menurut Hasanuddin, generasi milenial memilih aplikasi berdasarkan kualitas layanan yang lebih mudah digunakan, lebih cepat, dan murah.
”Milenial banyak memilih aplikasi yang memberikan banyak promosi sehingga menimbulkan persepsi lebih murah,” ujar Hasan.
Dari survei yang dilakukan dengan cara tatap muka pada awal April hingga pertengahan Juni 2019 tersebut, diketahui perusahaan teknologi yang paling banyak dipilih generasi milenial adalah Go-Jek. Perusahaan ini menguasai tiga dari lima kategori e-dagang mobile yang paling diminati milenial, yakni transportasi, pesan antar makanan, dan pembayaran.
Sementara Traveloka memimpin di kategori pemesanan hotel dan tiket. Adapun kategori aplikasi belanja masih dikuasai Lazada yang berasal dari Singapura.
Penelitian ini bertujuan mengetahui kebiasaan dan perilaku konsumen milenial dalam menggunakan aplikasi e-dagang di gawai, baik buatan Indonesia maupun asing. Parameter yang diukur adalah brand awareness, perilaku dan kebiasaan konsumen, serta tingkat kepuasan pelanggan.
Peningkatan ekonomi digital Indonesia oleh e-dagang lokal akan mencetak pemain baru. Oleh karena itu, pemain baru harus siap dengan inovasi yang menciptakan skalabilitas dalam mengejar pertumbuhan yang cepat.
”Hal ini penting untuk memastikan agar Indonesia tidak tergusur dari persaingan global dengan mendorong pertumbuhan dan peningkatan performa e-dagang asal Indonesia,” ujar Hasan.
Ketua Bidang Ekonomi Digital Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga mengatakan, kendati jumlah responden yang disurvei hanya sekitar 1.200 orang, itu bisa menjadi acuan bagi pelaku usaha mengembangkan usahanya.
”Saat ini di Indonesia sudah terbentuk segmen pasar. Jika pemasarannya tepat, konsumen akan lebih loyal. Jika loyal, berarti dia akan lebih sering membeli. Dari survei diketahui, banyak produk Indonesia yang dinilai baik oleh milenial dan milenial loyal,” katanya.
Bima mengakui, saat ini banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mengembangkan produk, antara lain infrastruktur, pajak, keamanan siber, pendanaan, dan sumber daya manusia.
Lebih banyak
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, apabila pelaku usaha ingin mengembangkan pasar di kalangan generasi milenial yang sudah akrab dengan teknologi digital, yang digabungkan dengan data raksasa di Biro Pusat Statistik dan Bank Indonesia, pelaku usaha bisa menciptakan lebih banyak barang yang sesuai dengan keinginan masyarakat.
”Jadi, kita tidak melarang barang impor masuk, tetapi lebih banyak memproduksi barang yang sesuai dengan cita rasa Indonesia,” ujar Semuel.
Para produsen harus menciptakan tren dengan memanfaatkan data yang ada. Ekonomi digital adalah melakukan kegiatan ekonomi berdasarkan data, bukan menebak-nebak atau hanya sekadar mengembangkan yang sudah ada.
”Produsen harus menciptakan produk-produk baru sehingga terjadi diferensiasi produk yang sangat luas,” katanya.
Transaksi e-dagang di Indonesia pada 2020 akan mencapai 130 miliar dollar AS atau setara Rp 1.700 triliun. Angka ini naik tajam dibandingkan dengan 2016 yang sebesar Rp 261 triliun dan 2013 yang sebesar Rp 104 triliun.