Perubahan kebijakan terkait investasi dinilai perlu dilakukan segera. Dengan tingkat pemanfaatan EBT saat ini, Indonesia memerlukan investasi sebanyak 62 juta dollar AS atau 8 juta dollar AS per tahun (sejak 2018-2025) agar bisa mengejar target di 2025.
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Indonesia sulit mencapai target penggunaan energi baru dan terbarukan hingga 23 persen tahun 2025. Salah satu hambatannya adalah aturan pemerintah yang terus menyubsidi bahan bakar fosil dibandingkan energi baru dan terbarukan untuk pembangkit listrik.
Prediksi tersebut menjadi salah satu hasil analisa konsultan manajemen global, AT Kearney, dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dalam laporan terbaru berjudul "Indonesia\'s Energy Transition: A Case of Action". Laporan ini diluncurkan di Jakarta, Rabu (10/7/2019).
Presiden Komisaris AT Kearney yang juga salah satu penulis laporan, Alessandro Gazzini, mengatakan, sebagai negara penghasil listrik tertinggi keempat di dunia, Indonesia sangat lambat mengadopsi teknologi energi baru dan terbarukan (EBT). Berdasarkan analisis pertumbuhan pemanfaatan EBT oleh AT Kearney, Indonesia menempati urutan ke 39 dari 50 negara penghasil listrik tertinggi.
Prestasi rendah itu didapat karena pertumbuhan pembangkit EBT yang hanya sekitar 1,7 Giga Watt (GW) hingga 1,8 GW dalam periode 2015-2019. Saat ini, sumber EBT juga baru menyumbang 12 persen dari total kebutuhan listrik, yang lebih banyak dipasok batu bara, gas, dan minyak bumi. Sementara, pada 2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta PT PLN (Persero) menargetkan pemanfaatan EBT sampai 23 persen.
Sejauh ini, EBT di Indonesia diadopsi untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 5.400 Mega Watt (MW) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi sebesar 1.900 MW, pembangkit listrik tenaga surya sebesar 20 MW, dan pembangkit listrik tenaga bayu 1 MW.
"Saya kira, perlu ada penilaian kembali mengenai kelayakan batas tarif yang disepakati sebelumnya berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017, untuk memastikan pengembangan energi terbarukan menarik minat PLN dan investor," ujarnya Gazzini.
Kebijakan tersebut mengatur pembelian tenaga listrik berupa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm), pembangkit listrik tenaga biogas (PLTBg) paling tinggi 85 persen dari biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat.
Tidak menarik investor
Harga pembelian tenaga listrik akan sama dengan BPP Pembangkitan setempat, jika BPP Pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP Pembangkitan Nasional. Saat ini, BPP nasional Rp 1.119 per kWh.
Kebijakan itu, menurut Gazzini, tidak menarik bagi investor karena akan mematok biaya murah untuk pembangunan proyek pembangkit listrik bertenaga EBT. Apalagi, biaya produksi listrik yang bersumber energi fosil, khususnya batubara, masih akan murah karena terus disubsidi pemerintah.
"Bahan bakar EBT tidak bisa lebih murah daripada bahan bakar fosil. Harusnya pemerintah juga mau mensubsidi EBT, yang pemanfaatannya akan bisa meningkatkan rasio elektrifikasi negara dengan biaya yang kompetitif," pungkasnya.
Adopsi EBT di Indonesia juga dilaporkan terhambat kebijakan terkait investasi di dalam negeri. Sayak Datta, penulis laporan dan Prinsipal AT Kearney, mengatakan, tidak efisiennya kebijakan terkait persyaratan konten lokal dan proses persetujuan yang lebih transparan untuk pembangunan pembangkit listrik dengan EBT.
"Persyaratan konten lokal saat ini menghambat terciptanya lingkungan yang layak untuk pengembangan energi terbarukan. Persyaratan itu harusnya jadi pertimbangan setelah pasar energi terbarukan mencapai tingkat kesiapan dan adanya insentif yang substansial," tuturnya.
Perubahan kebijakan terkait investasi dinilai perlu dilakukan segera. Dengan tingkat pemanfaatan EBT saat ini, Indonesia memerlukan investasi sebanyak 62 juta dollar AS atau 8 juta dollar AS per tahun (sejak 2018-2025) agar bisa mengejar target di 2025.
Insentif pembiayaan
Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani, yang hadir pada kesempatan sama, mengatakan, banyak perusahaan dalam negeri yang mengeluhkan minimnya insentif pembiayaan untuk pemanfaatan EBT dari pemerintah. Padahal, dukungan dan permintaan dari pihak swasta di dalam dan luar negeri terus meluas.
"Dari para pelaku usaha sebenarnya sudah banyak yang mau bergerak di energi terbarukan. Tapi, banyak proyek mandeg, karena pilihan pembiayaan yang terbatas. Saat ini, belum ada bank yang mau membiayai proyek EBT, karena belum ada insentifnya," kata dia.
Ketersediaan pembiayaan swasta dinilai penting karena pengembangan EBT memerlukan total tingkat investasi modal sebesar Rp 113 triliun per tahun. Namun, laporan AT Kearney menyebutkan, pembiayaan swasta sulit didapatkan untuk saat ini antara lain karena kurangnya pemahaman bank-bank di Indonesia mengenai perkembangan kebutuhan EBT. Selain itu, bank masih lebih memilih mekanisme pinjaman korporasi daripada mekanisme pembiayaan proyek, yang membatasi rasio hutang terhadap modal proyek.