Kasus Penolakan Gereja di Bantul, Masyarakat Diminta Jaga Kondusivitas
Kasus penolakan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, diharapkan tidak menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Kepolisian Daerah (Polda) DIY pun mengajak masyarakat untuk menjaga kondusivitas wilayah dan menghindari tindakan yang melanggar hukum.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Kasus penolakan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, diharapkan tidak menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Kepolisian Daerah DIY mengajak masyarakat menjaga kondusivitas wilayah dan menghindari tindakan melanggar hukum.
”Bagaimanapun juga kita harus selalu menjaga kondusivitas wilayah. Kita hindari hal-hal yang tidak kita inginkan bersama,” kata Kepala Polda DIY Inspektur Jenderal Ahmad Dofiri saat dimintai tanggapan terkait dengan kasus itu, Rabu (10/7/2019), di Polda DIY di Kabupaten Sleman, DIY.
Diberitakan sebelumnya, keberadaan GPdI Immanuel Sedayu di Kampung Gunung Bulu, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, Bantul, ditolak warga sekitar. Padahal, gereja yang didirikan oleh pendeta Tigor Yunus Sitorus (49) itu telah mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Kabupaten Bantul pada 15 Januari 2019.
Akan tetapi, sejumlah warga Kampung Gunung Bulu tetap menolak keberadaan gereja tersebut. Alasannya, pada 2003 Sitorus telah menandatangani surat pernyataan yang berisi perjanjian, bangunan miliknya itu hanya akan digunakan untuk tempat tinggal.
Dofiri mengatakan, untuk membicarakan hal-hal terkait dengan hubungan antar-agama sudah ada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Oleh karena itu, masalah penolakan GPdI Immanuel Sedayu diharapkan bisa diselesaikan melalui komunikasi antara FKUB, aparatur pemerintahan setempat, masyarakat, dan pihak-pihak terkait.
”Saya kira ada FKUB dan lain-lain. Itu yang menjadi komunikasi di antara mereka. Jadi, nanti akan dikomunikasikan bersama antara FKUB dengan aparat pemerintah setempat dan warga masyarakat di lingkungan sana,” ujar Dofiri.
Sementara itu, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, apabila GPdI Immanuel Sedayu telah mengantongi izin sesuai dengan aturan yang berlaku, keberadaan tempat ibadah itu telah sah. ”Tempat ibadah, kalau memang sudah disetujui, bangun saja,” katanya.
Sultan menambahkan, masyarakat tidak bisa menggunakan kearifan lokal sebagai alasan untuk menolak keberadaan tempat ibadah yang telah memiliki izin sah. Raja Keraton Yogyakarta itu mengingatkan, masyarakat juga mesti taat dengan hukum yang berlaku. ”Kearifan lokal tidak boleh melanggar hukum. Kalau melanggar hukum, itu pidana,” ujarnya.
Surat pernyataan
Sebelumnya, tokoh masyarakat Kampung Gunung Bulu, Hanif Suprapto (46), mengatakan, pada 2003 Sitorus telah menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa bangunan miliknya itu hanya digunakan untuk tempat tinggal. Oleh karena itu, menurut Hanif, warga merasa keberatan dengan penggunaan bangunan tersebut sebagai tempat ibadah.
”Warga keberatan dengan keberadaan tempat ibadah di tempatnya Pak Sitorus karena dari awal kesepakatannya, tempat itu bukan untuk tempat ibadah,” ungkap Hanif.
Akan tetapi, Sitorus mengatakan, ketika menandatangani surat pernyataan pada 2003 itu, dirinya merasa tertekan. ”Kami merasa berada di dalam tekanan. Yang membuat pernyataan itu bukan saya, tetapi saya disuruh tanda tangan. Sampai sekarang saya juga tidak pernah punya salinannya,” ujarnya.
Sitorus mengatakan, bangunan GPdI Immanuel Sedayu dibangun sejak 2003 di atas lahan seluas 335 meter persegi. Awalnya, bangunan itu hendak digunakan sebagai tempat ibadah. Namun, dalam proses pembangunan, muncul penolakan dari warga setempat.
Bahkan, Sitorus menambahkan, pada 2003 bangunan miliknya yang tengah dalam proses pembangunan itu sempat dirobohkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Setelah perobohan itu, Sitorus diminta menandatangani surat pernyataan yang berisi perjanjian bahwa bangunan miliknya hanya digunakan untuk tempat tinggal.
Pada 2017, Sitorus mengajukan permohonan IMB GPdI Immanuel Sedayu kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul. Permohonan IMB diajukan setelah terbit Peraturan Bupati (Perbup) Bantul Nomor 98 Tahun 2016 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadat. Dalam perbup itu dinyatakan, Pemkab Bantul memfasilitasi penerbitan IMB rumah ibadat yang sudah berdiri sebelum 21 Maret 2006.
Pada 15 Januari 2019, IMB GPdI Immanuel Sedayu akhirnya terbit. Beberapa bulan setelah itu, gereja tersebut mulai dipakai untuk ibadah rutin yang dipimpin Sitorus. Ibadah biasanya dilakukan pada hari Minggu dan diikuti sekitar 50 jemaat. Aktivitas itulah yang kemudian memicu reaksi penolakan warga.
Mediasi
Setelah kasus itu mencuat, digelar mediasi yang mempertemukan warga Kampung Gunung Bulu dan pengelola GPdI Immanuel Sedayu, Selasa (9/7/2019), di Kantor Kecamatan Sedayu. Namun, mediasi itu batal mencapai titik temu karena kedua belah pihak berkukuh pada sikap masing-masing.
Menurut Sitorus, pihaknya tetap akan melanjutkan peribadatan di GPdI Immanuel Sedayu sebab gereja tersebut sudah memiliki IMB yang sah. ”Peribadatan itu adalah hak semua orang karena itu hak asasi. Bagi saya, beribadah itu wajib karena itu adalah kebutuhan spiritual. Saya serahkan kepada aparat untuk menengahi karena kami membutuhkan perlindungan untuk beribadah,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Bantul Helmi Jamharis menyatakan akan memeriksa kembali prosedur penerbitan IMB GPdI Immanuel Sedayu untuk mencari tahu apakah penerbitan IMB itu telah sesuai dengan aturan atau tidak. Pemkab Bantul juga akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengecek keabsahan IMB gereja tersebut.
”Agar nanti semua clear (jelas), kami akan mencermati tentang prosedur penerbitan IMB itu. Nanti akan kami kumpulkan dokumen-dokumen yang mendasari terbitnya IMB itu, apakah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan bupati atau tidak,” ujar Helmi.