Patroli bersama dan pembuatan sekat bakar yang melibatkan masyarakat disiapkan untuk mengantisipasi bahaya kebakaran di kawasan Gunung Ciremai, Jawa Barat.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS — Memasuki musim kemarau, risiko kebakaran hutan dan lahan mengancam Gunung Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat. Patroli bersama dan pembuatan sekat bakar yang melibatkan masyarakat pun disiapkan untuk mengantisipasi bahaya kebakaran.
”Kami menyiagakan sekitar 300 personel gabungan bersama polisi hutan hingga masyarakat setempat untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan di Ciremai. Saat ini, ’bahan bakar’, seperti alang-alang, melimpah,” ujar Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Kuswandono di Kabupaten Kuningan, Jabar, Rabu (10/7/2019).
Di Bukit Seribu Bintang (BSB), Desa Padabeunghar, Kecamatan Pasawahan, Kuningan, misalnya, alang-alang tampak berwarna coklat mengering. Rerumputan itu tumbuh setinggi lebih dari setengah meter. Batang pohon pinus juga menghitam, sisa kebakaran pada tahun sebelumnya.
Menurut Kuswandono, wilayah utara Gunung Ciremai tersebut rawan terdampak kebakaran hutan dan lahan. Tahun lalu, 1.300 hektar lahan terbakar di kawasan itu.
Tidak hanya merusak pepohonan, kebakaran juga menghanguskan penginapan berkapasitas 64 orang dan enam motor ATV di tempat wisata BSB. Kala itu pemadaman melalui udara juga dilakukan untuk menghentikan kebakaran yang berlangsung sekitar dua pekan tersebut.
Kebakaran itu merupakan yang terbesar dalam lima tahun terakhir di Ciremai, gunung seluas 15.000 hektar. Balai TNGC mencatat, lahan yang terbakar pada 2013 seluas 14,96 hektar. Pada 2014 meningkat menjadi 266,034 hektar dan melonjak lagi menjadi 666,9 hektar setahun kemudian.
Setelah tak ada kebakaran sepanjang 2016, api muncul lagi setahun kemudian. Saat itu luas lahan terbakar 107 hektar. Padahal, gunung setinggi 3.078 meter di atas permukaan laut itu memiliki sejumlah sumber mata air.
Untuk mencegah kebakaran berulang, pihaknya telah berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kuningan, Polres Kuningan, dan Kodim 0615/Kuningan. ”Sudah disepakati, patroli bersama diintensifkan. Patroli beranggotakan empat sampai tujuh orang akan tersebar di beberapa titik,” ujar Kuswandono.
Patroli yang melibatkan masyarakat itu tidak hanya memantau titik api, tetapi juga meminta warga waspada saat membakar lahan. ”Api biasanya datang dari wilayah luar, perbatasan hutan dan lahan masyarakat. Bisa juga api bersumber dari usaha pencarian madu di balik batu yang menggunakan api. Kalau ada yang terbukti sengaja membakar hutan, kami serahkan kepada polisi,” ujarnya.
Pihaknya juga membuat sekat bakar di daerah rawan kebakaran. Metodenya, ilalang dibabat hingga menyisakan tanah dan batu dengan lebar 2 meter hingga 10 meter. Ilalang ditumpuk di sepanjang jalur bekas pangkasan. Dengan begitu, api hanya akan membakar ilalang yang sudah terpisah dengan parit sehingga api tidak menjalar ke pepohonan lainnya.
Sekat bakar juga menjadi jalur bagi warga untuk memadamkan api. ”Kami melibatkan masyarakat dengan mengajak mereka mengelola 64 obyek destinasi wisata. Dengan begitu, mereka akan menjaga kawasannya agar tidak kebakaran,” ujar Kuswandono.
Kelompok Pujangga Manik Batu Luhur (KPMBL), yang mengelola kawasan wisata di Padabeunghar, misalnya, berjaga pada siang dan malam ketika kemarau untuk mengantisipasi kebakaran. Kelompok itu beranggotakan 300 orang.
”Namun, kami masih kesulitan mengantisipasi kebakaran karena sumbernya bukan dari wilayah kami. Pelibatan masyarakat melalui sektor pariwisata perlu diperbanyak,” ujar Ketua KPMBL Dodo Darsa.
Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Meteorologi Jatiwangi Ahmad Faa Iziyn mengatakan, kemarau pada tahun ini diprediksi hingga Oktober. Pihaknya juga meminta masyarakat mewaspadai angin kencang yang dapat meningkatkan risiko kebakaran lahan.