Menjadi pengungsi bukanlah harapan setiap orang, tetapi konflik dan kekerasan memaksa mereka pergi. Dalam ketidakpastian, mereka terdampar di negara-negara asing.
Tangis Jasmine (2) pecah di atas sepenggal trotoar Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (9/7/2019). Ia ingin mengikuti ayahnya yang hendak berkumpul dengan pengungsi Afghanistan lainnya di seberang Kantor Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), Menara Ravindo, yang berada sekitar 20 meter dari tempat ia duduk bersama Jamila (30), ibunya.
Keluarga kecil Jamila tidak sendirian di atas trotoar Jalan Kebon Sirih. Setidaknya ada sekitar 100 pengungsi yang turut duduk dan bermalam di situ. Mereka, antara lain, berasal dari Afghanistan, Sudan, dan Somalia. ”Ada pengungsi yang awalnya lajang, lalu menikah dan memiliki anak. Anak saya masih kecil ketika tiba di Indonesia dan sekarang sudah besar. Berapa lama kami harus menunggu hak kami?” kata Jamila.
Pengungsi asal Sudan, Adam Ali (29), mengaku sudah lelah diminta menunggu dan bersabar oleh UNHCR. Jika boleh memilih, ia sesungguhnya tidak ingin hidup berminggu-minggu di trotoar. Malam hari tidurnya tak nyenyak lantaran dingin yang menyergap dan serangan nyamuk ganas. Untuk mandi, ia hanya mengandalkan kamar mandi milik warga sekitar atau di masjid. Itu pun harus mengantre terlebih dahulu.
”Persediaan susu juga hampir tidak ada. Bayi-bayi kami tidak dapat susu. Hidup di jalan seperti ini sesungguhnya tidak bagus bagi bayi,” katanya. Fasilitas obat-obatan juga terbatas. Karena tidur beratapkan langit, tak jarang beberapa di antara para pengungsi terserang demam dan batuk.
Lagi-lagi rasa kemanusiaan yang menyelamatkan mereka. Para pengungsi dibantu puskesmas sekitar sehingga bisa berobat secara cuma-cuma. Di tengah tekanan seperti itulah, dari pinggiran Jalan Kebon Sirih itu, mereka menginginkan UNHCR dapat memberikan bantuan dan mempercepat proses penempatan di negara ketiga.
Sulit dipenuhi
Namun, harapan tersebut tampaknya tidak mudah dipenuhi. Perwakilan UNHCR di Indonesia, Thomas Vargas, dalam konferensi pers bersama Kementerian Luar Negeri, Selasa, mengatakan, UNHCR menghadapi banyak kendala.
”Banyak pengungsi berharap bisa ditempatkan di negara ketiga dan kami terus mendorong negara penyedia permukiman ulang untuk menyediakan perlindungan. Sayangnya, beberapa negara tradisional mengurangi kuota jumlah penerimaan pengungsi,” tutur Vargas.
Ia melanjutkan, UNHCR berupaya untuk menawarkan solusi alternatif kepada para pengungsi, seperti repatriasi (pemulangan kembali). Namun, solusi ini juga menghadapi kendala karena kondisi negara asal kebanyakan masih belum aman. Selain itu, satu solusi tidak dapat diterapkan ke semua individu mengingat setiap individu memiliki latar belakang berbeda-beda.
Solusi yang dianggap paling masuk akal adalah memberdayakan pengungsi di negara transit. Di Indonesia, misalnya, UNHCR bekerja sama dengan pihak ketiga dan pemerintah setempat untuk meningkatkan kapasitas pengungsi sekaligus memberikan sumbangsih kepada komunitas.
”Mereka akan mendapat sertifikat. Ini akan membantu mereka mencari pekerjaan di masa depan, baik di negara ketiga maupun ketika mereka kembali ke rumah,” ujarnya.
Di sisi lain, penurunan komitmen negara-negara yang terlibat dalam ratifikasi konvensi 1951 berimbas terhadap negara-negara transit, seperti Indonesia. Sejauh ini, Indonesia menampung lebih kurang 14.000 pengungsi dan pencari suaka dari negara konflik.
Peran Indonesia
Menurut Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib, Selasa, dalam jumpa pers di Jakarta, situasi ke depan terkait pengungsi akan semakin sulit dan menjadi tantangan untuk Indonesia.
Habib mengatakan, ketika kuota penerimaan di negara tujuan dipangkas, waktu tunggu pun semakin lama. Sebagai catatan, saat ini jumlah pengungsi global mencapai lebih kurang 70 juta orang, tetapi pada saat yang sama negara tradisional yang menjadi tujuan pengungsi semakin menutup diri.
Akibatnya, negara-negara transit, seperti Indonesia, Turki, dan Bangladesh, harus menanggung beban tambahan. Meskipun demikian, sebagaimana dikatakan Pelaksana Tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah, Indonesia menaruh perhatian besar mengenai isu pengungsi dan masalah kemanusiaan.
”Indonesia mencoba memberikan yang terbaik dan berkomunikasi dengan UNHCR untuk menyelesaikan tantangan yang ada berdasarkan
hak asasi manusia,” kata Faizasyah. Selain memberikan penampungan sementara, Indonesia bersama sejumlah lembaga juga memberikan bantuan kepada para pengungsi.
(I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA/Elsa Emiria Leba/Kris Mada/*)