Malam belum larut ketika Amin (44) memulangkan metromini yang disewanya. Pilihan yang harus diambil karena tak ada lagi penumpang yang menanti di jalur Lebak Bulus-Blok M, trayek yang biasa dilintasinya sehari-hari.
Oleh
Aditya Diveranta
·3 menit baca
Malam belum larut ketika Amin (44) memulangkan metromini yang disewanya. Pilihan yang harus diambil karena tak ada lagi penumpang yang menanti di jalur Lebak Bulus-Blok M, trayek yang biasa dilintasinya sehari-hari.
”Kalau malam sudah enggak banyak penumpang yang naik metromini. Mungkin juga karena macet sehingga penumpang sekarang lebih memilih angkutan lain, misalnya, naik kereta MRT,” kata Amin saat ditemui Kompas di Jakarta, Selasa (9/7/2019) malam.
Jalur Lebak Bulus-Blok M memang dilewati oleh kereta MRT. Tidak sampai 20 menit, penumpang yang naik MRT dari Lebak Bulus sudah bisa tiba di Blok M. Tak hanya MRT, metromini juga harus bersaing dengan moda transportasi Transjakarta dan ojek daring yang kian banyak jumlahnya.
Sejak mulai bekerja sekitar pukul 09.00, Amin memperoleh penghasilan sekitar Rp 285.000. Namun, Rp 200.000 harus disetorkan kepada Muji (49), pemilik metromini, sebagai biaya sewa.
Alhasil, Amin hanya menerima penghasilan bersih Rp 85.000. Penghasilan itu, menurut pria asal Jombang, Jawa Timur, ini terbilang lumayan. Sebab, tidak jarang dia menerima tidak lebih dari Rp 60.000.
Dengan penghasilan yang minim tersebut, otomatis dia harus memutar otak untuk bisa menghidupi keluarganya. Hal yang tidak mudah karena dia punya lima anak, dan dua di antaranya masih sekolah.
Padahal, di masa keemasan metromini, sebelum tahun 2014, Amin bisa membawa pulang uang sampai Rp 200.000 setiap hari.
”Waktu itu sehari bekerja bisa dapat sampai Rp 500.000. Kemudian Rp 300.000 di antaranya untuk biaya sewa sehingga saya bisa bawa pulang uang Rp 200.000,” ujarnya mengenang.
Kalah bersaing
Kondisi Amin menjadi cerminan bahwa moda bus metromini kini semakin ditinggalkan oleh penumpang. Metromini kalah bersaing dengan moda transportasi umum lainnya.
Di pangkalan tempat Amin menyewa metromini, kondisi itu juga jelas terlihat. Total hanya ada lima metromini di sana. Padahal, sebelum 2014, jumlahnya lebih dari sepuluh metromini.
”Kondisi bus sekarang sudah tidak sebanyak dulu. Sekitar tahun 2014 masih ada belasan bus metromini yang mangkal di sini. Kondisi di tiga pangkalan lain di Ciputat juga tidak jauh berbeda, sepi seperti ini,” kata Muji.
Bahkan, bisa dibilang kondisi pangkalannya kini sudah sekarat. Muji mengatakan, sulit untuk merawat bus-bus yang usianya sudah tua bermodalkan setoran dari setiap bus yang setiap hari hanya berkisar Rp 180.000 hingga Rp 200.000.
”Bus sudah tua, rusak terus, jadi harus diperbaiki hampir setiap malam. Sepertinya memang metromini saat ini dibiarkan mati perlahan, bahkan untuk mengurus izin trayek pun semakin sulit,” ucap Muji.
Minitrans
Terkait kondisi itu, Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono mengatakan, metromini sebagai moda transportasi sebenarnya telah diberi solusi alternatif.
Solusi itu berupa tawaran kerja sama dari PT Transjakarta berbentuk business to business dengan pihak pengelola metromini.
Bentuk kerja sama itu diwujudkan dalam bentuk moda bus pengumpan Minitrans yang dijalankan sejak 2017. Integrasi antarmoda tersebut semestinya menguntungkan operator bus karena pendapatan dihitung dengan sistem rupiah per kilometer. Di sisi lain, masyarakat pun diuntungkan karena membayar satu kali untuk tujuan jarak jauh ataupun dekat.
”Kebijakan yang menjadi solusi saat ini adalah mereka diminta untuk bergabung dengan Transjakarta. Hal tersebut saya pikir sudah cukup membuktikan bahwa pemerintah tidak menelantarkan metromini,” kata Bambang.
”Perkara metromini yang tidak ingin bergabung, itu menjadi kewenangan mereka masing-masing yang tidak bisa dipaksakan. Tetapi, pada akhirnya pun nanti mereka yang akan kehilangan penumpang. Saya pikir tawaran kerja sama dari pemerintah tidak merugikan mereka,” ujar Bambang.
Meski tahu tentang tawaran kerja sama itu, Muji memilih untuk tidak bergabung. Alasannya, tawaran kerja sama justru memberatkan pengelola metromini. Sebab, dia harus terlebih dulu membayar Rp 150 juta sebagai uang muka untuk pembelian bus baru Minitrans.
Akhirnya, metromini yang sudah puluhan tahun melayani publik Jakarta kini semakin terdesak. Bukan tidak mungkin, satu saat nanti, metromini tak akan lagi hadir di jalanan Ibu Kota.