Mereka merupakan pakar hukum pidana dan hukum tata negara. Pakar hukum pidana memberikan penjelasan mengenai kasus yang menimpa Nuril. Adapun pakar hukum tata negara menjelaskan soal amnesti dan bagaimana melakukannya.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama pakar hukum pidana dan tata negara akan memfinalisasi pertimbangan hukum untuk pengajuan amnesti terpidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Baiq Nuril, kepada Presiden Joko Widodo. Mereka diagendakan bertemu kembali untuk menyatukan pendapat sekaligus mempertajam pertimbangan hukum sehingga pengajuan amnesti bisa diserahkan kepada Presiden pekan ini.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, di Jakarta, Rabu (10/7/2019), menyampaikan, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) direncanakan mengundang kembali para pakar hukum untuk konsinyering argumen.
Konsinyering argumen dilakukan karena saat diskusi pertama pada Senin (7/7/2019) malam ada beberapa pandangan yang berbeda dari pakar hukum terkait tepat atau tidaknya pengajuan amnesti Baiq Nuril. Nantinya, pendapat dan pandangan yuridis dari pakar hukum akan disatukan menjadi satu dokumen pendapat hukum saja dan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
”Tapi, belum tahu kapan akan dilakukan (konsinyering). Saya belum dapat undangan dari Kemenkumham. Baru ajakan secara lisan saja,” ujar Bivitri.
Sebelumnya ada delapan pakar hukum yang dilibatkan dalam diskusi penyusunan argumentasi yuridis. Mereka adalah Muladi, Gayus Lumbuun, Nospianus Max Damping, Ganjar Laksmana, Andi Saputra, Bivitri Susanti, Oce Madril, dan Feri Amsari.
Mereka merupakan pakar hukum pidana dan hukum tata negara. Pakar hukum pidana memberikan penjelasan mengenai kasus yang menimpa Nuril. Adapun pakar hukum tata negara menjelaskan soal amnesti dan bagaimana melakukannya.
Keterangan serupa disampaikan kuasa hukum Baiq Nuril, Joko Jumadi. Menurut Joko, pihak Kemenkumham dalam satu atau dua hari ke depan mengagendakan konsinyering dengan para pakar hukum. Menurut Joko, dalam pertemuan tersebut, para pakar hukum bakal memfinalisasi alasan-alasan pertimbangan untuk menguatkan mengapa Baiq Nuril layak untuk mendapatkan amnesti.
”Pakar hukum sudah sepakat bahwa amnesti yang akan diajukan ke Presiden. Hanya nanti pertimbangan-pertimbangan hukumnya saja yang akan dipertajam,” ujar Joko.
Pertimbangan-pertimbangan yang dipertajam salah satunya terkait dengan pertimbangan kepentingan negara. Kepentingan negara yang dimaksud Joko menyangkut soal substansi perkara dan bukan terkait apakah terpidana merupakan narapidana politik.
Ketua Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) Widodo Dwi Putro berpendapat, ada dua alasan mengapa perkara ini sangat kuat berdimensi kepentingan negara.
Pertama, berdasarkan catatan tahunan Komisi Nasional Perempuan tahun 2018, kekerasan terhadap perempuan meningkat 14 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menjadi 406.178 kasus. Dari angka itu, 3.915 adalah kekerasan terhadap perempuan di ranah publik, 64 persen adalah kekerasan seksual.
Kedua, pemerintah sejak 1984 meratifikasi Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Hal itu menunjukkan pemerintah sudah berkomitmen untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan.
Pengarusutamaan jender
Komitmen ini kemudian diwujudkan dalam berbagai kebijakan pengarusutamaan jender ataupun pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan.
”Pertimbangan perlu diberikannya amnesti terhadap Nuril merupakan langkah hukum politik yang penting oleh Presiden untuk menguatkan kembali komitmen ini dan menunjukkannya secara luas kepada publik,” ujar Widodo melalui keterangan tertulis.
Dihubungi terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menerangkan, pada pertemuan kedua nanti, para ahli hukum akan dikumpulkan untuk menyusun kembali alasan yuridis, sosiologis, dan filosofis mengapa Presiden harus memberikan amnesti kepada Baiq Nuril.
Pada pertemuan itu, pandangan dari para ahli hukum bakal disusun menjadi satu agar lebih rapi sehingga mudah dibaca Presiden dan dipahami publik. Menurut Feri, hal itu penting karena saat ini masih banyak kesalahpahaman dalam mengartikan kewenangan Presiden dalam memberikan amnesti.
”Mudah-mudahan (amnesti) bisa diserahkan pekan ini,” kata Feri.