Pengetahuan UMKM Timpang
JAKARTA, KOMPAS
Penetrasi usaha mikro, kecil dan menengah atau UMKM ke pasar digital masih terhambat akses dan infrastruktur penunjang. Padahal, akses digital penting untuk memperluas pemasaran UMKM.
Tantangan utama UMKM untuk masuk ke pasar digital adalah pengetahuan. Saat ini, masih ada kesenjangan pengetahuan di antara pelaku UMKM terkait teknologi maupun infrastruktur penunjang digital.
“Seringkali ada daerah-daerah yang blank spot (susah sinyal). UMKM sudah maju, tetapi jaringan kurang. Kondisi ini menjadi kendala,” kata Kepala Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen Bank Indonesia Budi Hanoto dalam konferensi pers Pameran Karya Kreatif Indonesia (KKI) 2019 bertema "Mendorong Pertumbuhan Ekonomi melalui UMKM Go Export dan Go Digital", di Jakarta, Selasa (9/7/2019).
Budi menambahkan, pengetahuan untuk masuk kanal digital menjadi penting bagi UMKM. Oleh karena itu, BI membina pelaku UMKM dengan cara menggandeng perusahaan e-dagang. Ajang KKI ke-4 diharapkan menjadi pemicu bagi UMKM yang belum terakses perdagangan elektronik atau e-dagang agar berkolaborasi.
UMKM sudah maju, tetapi jaringan kurang. Kondisi ini menjadi kendala
KKI 2019 yang akan berlangsung pada 12-14 Juli 2019 menghadirkan UMKM binaan Bank Indonesia dengan target 12.000 pengunjung atau meningkat 20 persen dibandingkan dengan KKI 2018.
Sampai dengan awal Juli 2019, UMKM binaan dan mitra binaan Bank Indonesia berjumlah 898 unit. Dari jumlah itu, BI mengelompokkan menjadi 4 level, yakni level potensial sebanyak 401 UMKM, level sukses 51 UMKM, level sukses digital 355 UMKM, dan level potensi ekspor 91 UMKM. UMKM didominasi produk kain dan makanan minuman olahan.
Budi mengungkapkan, sebagian UMKM binaan yang telah mengakses kanal digital masih sebatas menggunakan media sosial untuk pemasaran, seperti Facebook dan Instagram. Nantinya, kondisi ini akan dibenahi agar UMKM bisa mengakses e-dagang, permodalan elektronik, dan pembayaran elektronik secara nontunai.
“Digital merupakan perangkat untuk mendekatkan UMKM dengan pembeli sehingga UMKM di pelosok bisa terhubung dan direkatkan,” tambah Budi.
Adapun untuk mendorong UMKM masuk pasar ekspor, kualitas dan kuantitas produk menjadi kunci. UMKM diharapkan mampu memenuhi permintaan pasar. Upaya yang dilakukan BI, antara lain membina kualitas dan kuantitas produksi, serta memberi pelatihan manajemen, kewirausahaan, dan akses digital.
BI juga mendatangkan kurator asal Amerika Serikat, Eropa, dan diaspora untuk produk UMKM binaan yang akan diekspor serta pelatihan untuk prosedur ekspor.
Desainer busana Toton Januar mengemukakan, kolaborasi dengan perajin UMKM berangkat dari keinginan untuk menghadirkan busana siap pakai yang kaya nilai-nilai budaya Indonesia, hingga mendapatkan pengakuan internasional. Toton bekerja sama, antara lain, dengan perajin kain dari Garut (Jawa Barat) dan Nusa Tenggara menggarap busana tenun.
Toton menilai, sebagian perajin belum terbiasa dengan sistem produksi sesuai standar karena sebagian masih berskala rumah tangga. Hal itu menjadi kendala untuk masuk ke skala industri.
Perajin antara lain dapat mengembangkan nilai tambah produk dengan menggunakan bahan baku yang berbeda, misalnya dari katun menjadi sutera. Dengan cara itu, hasilnya dapat diterima pasar yang lebih luas. Disamping itu, UMKM juga bekerja dengan waktu produksi yang diharapkan.
Toton menambahkan, kekayaan budaya Indonesia bisa diolah untuk menghasilkan nilai tambah sehingga produk yang dihasilkan dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan dihargai di tingkat internasional. (LKT)