Bus listrik yang mulai hadir di Jakarta sangat diapresiasi. Jakarta menjadi selangkah maju dan setidaknya mengikuti kebijakan positif yang telah diadopsi oleh banyak kota dari negara-negara maju di dunia.
Oleh
J Galuh Bimantara/Helena F Nababan/Neli Triana
·4 menit baca
Mewujudkan sistem pelayanan publik ramah lingkungan perlu dukungan dan jaminan keberlanjutan ketersediaan sarana dan prasarana serta payung hukum yang diperlukan.
JAKARTA, KOMPAS — Bus listrik yang mulai hadir di Jakarta sangat diapresiasi. Jakarta menjadi selangkah maju dan setidaknya mengikuti kebijakan positif yang telah diadopsi oleh banyak kota dari negara-negara maju di dunia. Langkah ini menunjukkan keberpihakan pemerintah untuk mulai mewujudkan sistem layanan publik yang terjangkau sekaligus ramah lingkungan.
Akan tetapi, diharapkan bus listrik ini bukan sekadar ikut euforia dan jadi proyek sesaat. Butuh payung hukum untuk memastikan sistem angkutan publik ramah lingkungan dapat terus beroperasi kini dan nanti. Selain itu, sarana dan prasarana yang dibutuhkan agar sistem itu berjalan, terutama infrastruktur fisik, harus pula dipastikan ada dan dapat dikembangkan sesuai dinamika kebutuhan di masa akan datang.
Di Jakarta, mewujudkan angkutan umum ramah lingkungan sudah sejak beberapa tahun lalu dirintis. Ini dimulai dari penggunaan bahan bakar gas untuk bus Transjakarta, bajaj, juga taksi.
Bahan bakar gas atau dulu dikenal sebagai BBG bahkan sempat identik dengan bus Transjakarta. Namun, bus-bus Transjakarta BBG itu kini menyusut jumlahnya.
Dari laman resmi www.bumn.go.id, pada berita bertanggal 15 Maret 2017 diketahui bahwa konsumsi gas di Jakarta turun sejak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengubah kebijakan bus Transjakarta kembali ke solar (minyak).
Saat itu, konsumsi gas menurun menjadi 2,8 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau hampir 30 juta liter pada Februari 2017. Bulan sebelumnya, konsumsi gas mencapai 3,8 MMSCFD atau 44 juta liter.
Data PT Pertamina yang dikutip dari laman www.bumn.go.id tersebut juga menyebutkan bahwa infrastruktur pendukung, seperti stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG), yang disediakan oleh Pertamina terbilang mencukupi.
Namun, jumlah kendaraan, termasuk bus Transjakarta, yang menggunakannya masih rendah, bahkan menurun jumlahnya. Pada 2016 tercatat 1.200 bus Transjakarta menjadi pelanggan SPBG, lalu turun menjadi 800 bus pada 2017. Pada 2018, jumlah itu pun dikatakan bakal berkurang lagi.
Kemungkinan karena kekurangan pelanggan, SPBG di Jakarta banyak yang tutup. Data Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta 2018, terdapat 27 SPBG dan 4 mobile refueling unit (MRU) untuk pengisian BBG pada kendaraan di Jakarta. Namun, 10 SPBG dan 2 MRU tidak beroperasi.
Butuh sistem terpadu
Direktur Operasional PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) Daud Joseph menyebutkan, kendaraan berbahan bakar gas memang sempat ditetapkan sebagai spesifikasi bus Transjakarta, salah satunya karena lebih ramah lingkungan. Namun, faktor keselamatan membuat pihaknya mengurangi penggunaannya.
”Khususnya sejak 2016, kami melakukan analisis mendalam. Kami mendapati, bus BBG ini memiliki beberapa kelemahan,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan Dewan Transportasi Kota Jakarta, pekan lalu.
Khususnya sejak 2016, kami melakukan analisis mendalam. Kami mendapati, bus BBG ini memiliki beberapa kelemahan.
Pertama, kualitas gas alam terkompresi (CNG) yang didistribusikan Pertamina dan PT Jakarta Propertindo, kata Joseph, berkualitas kurang baik.
Tahun 2016, Transjakarta membeli 60 bus BBG Hino. Setelah setahun beroperasi, Hino menyampaikan, di dalam tangki bahan bakar bus terdapat endapan residu kotoran dengan jumlah signifikan sehingga menurut Hino berbahaya bagi operasional bus. Dampaknya bisa memicu ledakan tangki gas.
Dari informasi yang dihimpun Joseph, kualitas BBG buruk disebabkan oleh tidak dioperasikannya perangkat dryer di SPBG. Konon, harga jual BBG Rp 3.100 per liter terlalu rendah sehingga Pertamina dan Jakpro harus efisiensi di segala hal, termasuk tidak mengoperasikan dryer di SPBG.
Dari informasi yang dihimpun Joseph, kualitas BBG buruk disebabkan oleh tidak dioperasikannya perangkat dryer di SPBG. Konon, harga jual BBG Rp 3.100 per liter terlalu rendah sehingga Pertamina dan Jakpro harus efisiensi di segala hal, termasuk tidak mengoperasikan dryer di SPBG.
Padahal, dryer amat penting untuk mengeringkan gas dari uap air ataupun kotoran lain. ”Ini bukan hanya masalah kerugian konsumsi bahan bakar, tetapi juga keselamatan. Setiap bus mengangkut 800-1.000 orang sehari,” ujarnya.
Kedua, konsumsi BBG ternyata tidak lebih irit dibanding bahan bakar minyak (BBM). Harga 1 liter solar Rp 5.150, tetapi bus bisa menjelajah hingga 2 kilometer per 1 liter solar. Adapun konsumsi BBG 1 liter hanya memungkinkan bus menjangkau jarak 1,1 km. Artinya, biaya bahan bakar per km tidak terlampau jauh.
Ketiga, harga bus BBG lebih mahal sekitar 30 persen dibandingkan bus BBM. Bus berbahan bakar solar dibanderol dengan harga Rp 1,7 miliar-Rp 1,9 miliar per unit. Harga 1satu bus BBG bisa Rp 2,3 miliar.
Djoko Setijawarno, pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranata, Semarang, Selasa (9/7/2019), menjelaskan, terkait bus berbahan gas yang sempat dikembangkan PT Transportasi Jakarta, sebenarnya program itu sempat berjalan. Namun, kemudian BUMD milik Pemprov DKI Jakarta itu kembali beralih ke BBM dengan berbagai pertimbangan.
Dalam pengamatan Djoko, kembalinya Transjakarta ke kendaraan berbahan bakar minyak karena penyediaan infrastruktur stasiun gas yang tidak bisa memenuhi keperluan.
Berkaca dari kasus BBG ini, untuk mengembangkan bus listrik, DKI butuh keseriusan dukungan semua pihak, termasuk pusat dan instansi lain terkait. Di tengah kondisi Jakarta yang kian terpolusi, kendaraan berbahan bakar listrik ini perlu dikembangkan karena minim polusi. Bahan bakar tinggal diisi ulang seperti telepon genggam. Meski begitu, aturan hukum hingga sarana dan prasarananya harus diperjelas sebelum diterapkan.